Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

33

Rasa kecewa yang paling terdalam adalah saat kita sudah merasa bodoh amat terhadap persepsi orang. Sebagaimana Adel yang sedang berdiri sambil sesekali menyeka buliran bening yang tanpa henti menetes membasahi pipi. Ia sudah meninggalkan kota Jakarta dengan menaiki bus angkutan umum. Jam menunjukkan pukul dua belas siang. Cuaca hari ini sangat terik, apalagi berdiri berdesakan di antara penumpang lain dengan salah satu tangannya ke atas—untuk berpegangan pada suatu trelis—agar tubuhnya seimbang.

Beberapa kali perempuan itu mengernyit, kedua kakinya yang ada di bawah dihentakkan sesekali. Jiwanya gusar, ia merasa tidak tenang dan gelisah. Tubuh perempuan itu ada di sana, tetapi pikiran yang ada dalam otaknya seakan berkelana menyebutkan satu nama sambil sesekali menggigit bibir bagian bawahnya. Bunda ke mana?

Adel tiba-tiba saja tersentak saat tubuhnya terhuyung ke depan, disusul dengan penumpang lainnya yang terdengar mengucapkan kata umpatan, dan kata protes yang ditangkap oleh gendang telinga.

"Bisa nyetir nggak sih, Bang?"

Adel memanjangkan leher sambil melihat kondisi sekitar. Perempuan itu mengangguk-angguk saat menyadari bahwa macet ini diakibatkan oleh lampu merah.

Salah satu ujung bibirnya terangkat saat melihat ada salah satu penumpang yang turun, sehingga dengan gerakan cepat Adel langsung mengambil alih tempat duduk penumpang sebelumnya karena takut didahului oleh orang lain.

Akhirnya Adel bisa bernapas lega. Berdiri sambil berdesak-desakkan dengan penumpang lain ternyata cukup menguras tenaga. Adel bersyukur sekarang bisa duduk di samping jendela. Entahlah, dulu saat Wirya belum menjual mobilnya, duduk di samping jendela adalah bagian favorit. Dengan leluasa Adel bisa melihat pemandangan dari arah luar, apalagi bisa menaik-turunkan kaca adalah kebiasaannya hingga suara teguran dari mulut Wirya menghentikkan aktivitas tersebut. Sedangkan Rose tanpa henti selalu mengingatkan Adel, supaya tidak membuka kaca mobil terlalu lebar agar tidak masuk angin. Mengingat kejadian itu membuka Adel tersenyum getir. Ternyata hal sederhana bisa sangat berarti bila sudah merasakan arti kehilangan. Adel merindukan momen tersebut.

Sebuah petikan gitar—lebih tepatnya ukulele—menyadarkan lamunan Adel yang sedang bersandar pada kaca bus. Terlihat pengamen jalanan yang sedang membelakangi Adel, dan salah satu di antaranya berkeliling menyodorkan kaleng kepada pengendara yang sedang berhenti karena lampu merah.

Bagaimana cara mereka berpakaian menggunakan spike, rantai, sepatu boots, dan jaket changcuter mengingatkan Adel pada seseorang, tapi siapa? Hingga suara klakson bus yang bertanda bus itu sudah melaju pelan, bertepatan dengan seseorang yang amat Adel kenali menoleh memakai pakaian yang sudah Adel sebutkan dan membawa gitar yang berukuran mini.

Adel terbelalak dan menempelkan wajah bersamaan tangannya ke arah kaca tersebut. "Hah,bukankah itu Arkhan?"

Sedangkan di lain sisi situasi di rumah sepertinya tampak kacau saat Atta dan Ifa berlarian sambil berteriak, "Om Wirya, Adel kabur!"

Suara tersebut langsung menghentikkan aktivitas sang pemilik nama. Dengan segera pria itu mendongak, menatap kedua teman anaknya yang berlarian ngos-ngosan saat sudah berdiri di hadapannya.

"Maksud kalian apa?"

"Kamar Adel kosong, Om."

"Dan saya menemukan surat ini di kamar tidurny—"

Dengan cepat Wirya menghentikan ucapan Ifa dan merebut benda yang berada digenggaman.

Dear, Ayah.

Sebelumnya aku mau ngucapin minta maaf kalau Adel banyak salah. Maaf bila umur 16 tahun Adel masih menjadi beban keluarga. Selalu menyusahkan Ayah. Masih belum bisa menjadi anak yang berbakti dan mengabulkan semua keinginan Ayah. Tapi, asal Ayah tahu bahwa Adel juga manusia yang mempunyai perasaan dan emosi juga. Adel bukan robot yang bisa dikendalikan semau Ayah sendiri. Adel juga ingin merasakan masa remaja kayak teman-teman Adel yang lain, sesekali, Yah. Adel cuma pengen Ayah memahami sedikit saja jadi Adel. Menurut Adel sikap Ayah kemarin itu berlebihan, Adel sudah tidak kuat. Maka dari itu Adel pengen pergi mencari Bunda sebentar saja. Aku mohon Ayah mengerti dan jangan cariin Adel ya, Yah.

Salam hangat.

Adel.

Dengan emosi yang meluap Wirya langsung meremas secarik kertas tersebut bersamaan dengan tangisnya yang meledak. Sedangkan Atta yang memahami kondisi tersebut langsung menarik tangan Ifa dan membawanya pergi dari rumah itu.

***

Adel terbelalak dan menempelkan wajah bersamaan tangannya ke arah kaca bus. "Hah, bukankah itu Arkhan?"

Dengan cepat Adel berdiri sambil menjinjing tas punggungnya dan menghampiri supir bus dengan tergesa.

"Bang, kiri-kiri, Bang."

Bukannya berhenti, Pak Supir malah melajukan gasnya, seakan tak mendengarkan perkataan Adel.

Melihat hal itu membuat Adel menghela napasnya kasar sambil berkata dengan menaikkan suaranya satu oktaf. "Bang, kiri. Gue mau turun sini!"

Pak Supir itu tampak kesal karena beberapa detik yang lalu bus berhenti di lampu merah, dan Adel malah meminta busnya berhenti lagi sekarang, hingga mau tidak mau Pak Supir tersebut menurut.

Dengan segera Adel turun dari angkutan umum, kemudian kelopak mata Adel mencari ke penjuru tempat, mencari sosok Arkhan. Namun hasilnya nihil. Laki-laki itu tidak ada di sana. Tempat tersebut sudah sepi, tidak ada pengamen jalanan yang berkeliaran di sekitar lampu merah.

"Arkhan! Lo di mana, sih!" teriak Adel penuh frustrasi. Namun, tiba-tiba saja dari arah belakang seorang laki-laki merebut tasnya dan membawanya kabur.

Sontak melihat hal itu Adel berteriak, "Copeet!" Tidak mau tasnya diambil begitu saja, Adel berlari mengejar laki-laki tersebut.

Tas itu adalah harta paling berharga satu-satunya yang dimiliki Adel sekarang. Bagaimanapun juga, Adel harus mendapatkan kembali tas tersebut. Ia berlari secepat mungkin, mencoba mengikuti langkah pencuri itu. Iya, ternyata menjadi atlit pelari Marathon 5000 M sangat berguna untuk momen seperti ini.

"Sial!" Adel mengumpat saat kehilangan jejak, dan berhenti di sebuah perkampungan warga. Pencuri itu sudah hilang dari sudut pandang.

Adel langsung berjongkok di tempat sambil mengacak rambutnya frustrasi. Namun, tiba-tiba saja sebuah uluran tangan terlihat memberikan tas miliknya.

Melihat hal itu Adel terlonjak kaget, ia mengikuti pemilik tangan tersebut dan kelopak matanya berhasil membulat sempurna saat seseorang berdiri di sampingnya.

"A-Arkhan?"

Tanpa ekspresi, laki-laki itu tetap mematung dan memandang Adel dengan tatapan datar. Di lain sisi Adel terlihat bingung sambil meraih tas tersebut. Ada yang aneh tapi entah apa. Penampilan Arkhan sekarang bukan seperti Arkhan yang biasa Adel kenal.

"K-kamu Arkhan, kan? Aldiano Arkhan Mahendra?"

Tidak ada jawaban, hal itu membuat Adel bertambah bingung. Namun, di detik selanjutnya sosok yang Adel panggil 'Arkhan' tersebut tiba-tiba saja tersenyum.

"Iyalah. Siapa lagi, emang? Arkhan cie cowok yang celalue cetia cama Adel," ucapnya seketika dengan nada alay di akhir kalimat.

Mendengar hal itu langsung membuat Adel berdiri dan segera memeluk Arkhan, erat. Sangat erat, pelukan yang Adel berikan sangat dalam.

Bagaimana tidak? Terakhir kali mereka bertemu adalah saat kondisi Arkhan yang tidak sadarkan diri dengan badannya yang babak belur karena perbuatan ayahnya. Ada perasaan takut yang menghinggap di benak Adel, semuanya bercampur menjadi satu.

Sedangkan Arkhan yang menerima pelukan itu secara mendadak membuat tubuhnya terkesiap. Rencana Arkhan yang berniat untuk melawak, ternyata gagal total saat mendengar suara tangis Adel yang sesenggukan di pundaknya.

Dengan perlahan Arkhan memeluk perempuan itu, mencoba menenangkan kekasihnya.

"Tenang, ada aku di sini," ucap Arkhan sambil memperdalam pelukannya.

*** 

Jangan lupa meninggalkan jejak ⭐⭐⭐

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro