Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25.


Sepanjang pelajaran Adel tidak fokus. Raganya di sana, tetapi jiwanya berkeliaran di mana-mana. Bahkan Adel tidak mendengarkan guru yang sedang mengajar di depan. Ia hanya membuat coretan asal di buku catatan sambil beberapa kali mengecek ponselnya. Berharap ada sebuah keajaiban Arkhan akan menghubungi dirinya.

Teeet ... teeet.

Terdengar suara bel pulang sekolah. Guru tersebut mengakhiri pertemuannya dan melangkah keluar kelas.

Sepulang sekolah Adel berniat pergi ke rumah Arkhan. Sejak kemarin lelaki itu tidak bisa dihubungi, hilang kabar seakan lenyap ditelan bumi. Membuat harinya berantakan, kosong. Ada kegundahan tersendiri bila Arkhan mengabaikan pesan darinya. Seperti ada sebuah benda yang membuat dadanya sesak dan membuat harinya berat. Padahal setelah dipikir-pikir lagi, sebelum Adel bertemu dengan Arkhan semuanya baik-baik saja.

"Del! Bengong aja!" Sebuah suara menyentakkan Adel, menyadarkannya dari lamunan. "Lo mikirin apa, sih? Kaya orang susah gitu?"

"Em—iya?"

"Kelas udah sepi ini. Ayo balik! Hari ini gue kan nebeng lo."

"Ikut gue dulu, yuk?"

"Ke mana?"

"Di kelas belakang, nemuin Abe!" Adel berniat untuk bertanya kepada Abe terkait alamat rumah Arkhan, mengingat mereka berdua adalah teman dekat dan Adel sama sekali tidak mengetahui rumah Arkhan bahkan silsilah keluarga pacarnya saja, ia mana paham.

Adel dan Ifa sekarang sedang berlarian ke koridor kelas belakang, sunyi. Sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Hanya ada beberapa anak aktivis yang sedang mengadakan perkumpulan semacam rapat di kelas-kelas. Iya, di sekolah ini tidak memiliki fasilitas lengkap untuk menyediakan ruangan ekstrakulikuler tersendiri. Namun, berbeda untuk Osis. Mereka diberi keterkecualian karena sudah membantu pihak sekolah untuk mengatur kegiatan yang ada di sekolah ini. Iya, meskipun hanya memiliki ruangan sempit—muat untuk menyimpan beberapa peralatan yang dibutuhkan.

Adel berhenti tepat di depan kelas yang bertuliskan palang X-IPS 1 begitu juga dengan Ifa yang mengekor di belakangnya. "Sial!"

"Kenapa sih, Del?" tanya Ifa kebingungan karena sejak tadi Adel belum menjelaskan  apa-apa terkait situasi ini, mengapa ia mencari sosok Abe?

Perempuan itu tidak merespons, wajahnya terlihat gelisah sambil melihat ke arah jendela kelas yang tampak sepi dengan pintu yang sudah digembok. Beberapa menit setelah itu ponsel Adel berdering, perempuan itu tersenyum saat melihat nama Arkhan muncul di layar. Dengan segera Adel menarik tombol hijau hingga terdengar suara yang amat ia rindukan di seberang sana.

"H-hal—"

"Temuin aku di zebra cross Mampang Prapatan Raya—"

Tut ... tut ... tut.

Sambungan terputus. Telepon dimatikan secara sepihak, padahal Adel belum selesai mengucapkan sepatah kata pun. Ia mengacak rambutnya frustrasi, firasat buruk tiba-tiba saja menghantui. Tidak seperti biasanya Arkhan bertingkah seperti ini.

***

Melihat kondisi Adel yang tidak stabil, maka Ifa yang mengambil alih untuk menyetir motor. Mereka melaju ke tempat yang Arkhan maksud. Namun, sebelum ke tempat tujuan, mereka terjebak macet. Mau, tidak mau akhirnya Adel nekat untuk turun dari motor, melepas helm dan menyerahkannya kepada Ifa. Mereka saling tatap lalu Ifa mengangguk, seperti memberi isyarat bahwa Ifa menyetujui keputusan Adel untuk berlari ke tempat tersebut.

Adel benar-benar dihantui rasa penasaran yang tinggi. Ia ingin menanyakan semuanya yang terasa mengganjal di benaknya, sekaligus ingin berbagi cerita saat lelaki yang sangat dicintainya itu tidak ada di sisi.

Sekarang Adel berdiri di seberang jalan. Menunggu kedatangan Arkhan, hingga sorot matanya menangkap sesuatu. Arkhan berada di ujung seberang yang berbeda. Saat Adel ingin melangkah untuk menyeberang jalan, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Adel melihat nama Arkhan di layar, sontak perempuan itu mengeryit. Menatap Arkhan dari kejauhan dan lelaki itu langsung memejamkan kelopak matanya, seperti paham kode yang dimaksud.

Buru-buru Adel mengangkat panggilan telepon itu ragu-ragu. Sejuta tanya bersarang di kepala, ia tidak memahami situasi yang sedang terjadi.

'I-iya, Ar?'

'Gue mau ngomong sesuatu, tapi nggak kuat kalau ketemu langsung. Nggak apa-apa kan ya, gue ngomong lewat telepon?'

Adel termenung, mencoba mencerna kata demi kata yang terlontar dari mulut Arkhan. Ungkapan kata 'gue' seakan menusuk hatinya, sesak dan menyakitkan.

'Hm.'

Adel tidak kuasa menahan diri, hingga ia hanya mampu berdeham tanpa berani bersuara. Entah, tiba-tiba saja Adel ingin menangis tetapi ia menahannya.

'Gue bingung mau ngomong dari mana, tapi intinya itu ... hubungan kita kayaknya nggak bisa berlanjut, Kak ... sorry.'

Adel melotot mendengar pernyataan tersebut. Firasat buruk itu ternyata terjadi. Bisa-bisanya Arkhan mengatakan kalimat kramat yang seharusnya sejak awal harus dihindari.

'Ma-maksudmu? Kamu nggak bercanda kan, Ar?'

Seakan sendi-sendi tulangnya melemah, ia mencakar bajunya sekuat tenaga sebagai bentuk pelampiasaan dengan mata yang berkaca-kaca. Bibirnya bergemetar sewaktu mengucapkan hal itu. Jantungnya berdegup semakin kencang tidak seperti biasa.

'Gue bingung harus mulai cerita dari mana, tapi asal lo tahu, Kak. Ini bukan keinginan gue.'

'Apanya, Ar? Makanya cerita. Gimana gue mau tahu kalau lo sendiri aja nggak pernah cerita. Lo tertutup sama gue, Ar! Gue berasa bukan pacar lo karena gue nggak tau apa-apa tentang lo!' Kali ini Adel terlihat murka, hingga mengganti sapaannya menjadi lo-gue. Sebenarnya yang dikatakan Adel adalah benar. Perempuan itu selalu mencari informasi sendiri mengenai pacarnya, dari sosial media atau dari mulut orang lain.

'Iya, gue emang tertutup, Kak. Gue bukan pacar yang baik. Karena lo nggak akan tahu gimana jadi gue. Gue nggak punya pilihan lain selain putus dari lo! Nggak ada yang paham sama perasaan gue'

'Kenapa, Ar? Siapa yang nyuruh putus sama gue? Mama? Papa lo? Atau ... Paskib?' Entah, tiba-tiba saja kata itu terlontar dari benaknya. Mengingat hubungan mereka sudah terekspos dan banyak yang sudah mengetahui. 'Kalau iya, kita bisa bicarain ini baik-baik.'

Hening, tidak ada tanggapan atau apa pun itu dari mulut Arkhan.

'Nggak, Ar,' ucapnya terdengar lirih, 'gue nggak mau putus sama lo!' teriaknya tiba-tiba yang membuat orang melintas menoleh ke arah Adel. Perempuan itu sudah terbakar emosi. Berteriak seperti orang kesetanan di pinggir jalan.

Adel berusaha menghampiri Arkhan yang berada di seberang sana, tetapi sial. Kendaraan tiba-tiba saja banyak yang melintas, hingga membuat Adel berjalan mundur—tidak jadi menyeberang. Perempuan itu mondar-mandir di pinggir jalan, terlihat kebingungan sambil mengacak rambutnya frustrasi , menggigiti kuku jempol tangannya lalu berjongkok. Mencoba menenangkan diri, menenggelamkan wajahnya di antara ruas kaki. Menangis sejadi-jadinya, memeluk dirinya sendiri dan mencoba mengeluarkan uneg-uneg yang sempat tertahan.

'Ar, jawab! Kita bisa bicarain ini baik-baik, Kan?' Runtuh sudah pertahanan Adel yang ia bangun selama ini. Buliran bening terus mengucur tanpa henti.

Tuut ... tuut ... tuut.

Terdengar suara panggilan ditutup, Adel mendongak dan mendapati Arkhan sudah tidak ada lagi di seberang sana.

"Apakah ini akhir dari kisah kita, Ar?" gumamnya pelan.

*** 

Jangan lupa meninggalkan jejak 🌟🌟🌟

Kamis, 4 Juli 2019

Rabu, 10 Februari 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro