Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24.


Mereka berdua kini berjalan menuruni tangga. Adel masih pasrah saat tangannya ditarik oleh seseorang, ia menganggap itu adalah Arkhan. Namun, seketika ekspresinya berubah saat Adel mengetahui siapa sosok tersebut.

Dugaan Adel ternyata salah, perempuan itu tersenyum paksa saat menyadari kebodohannya yang berharap bahwa Arkhan akan datang untuk menemuinya. Nyatanya semua itu hanya ilusi, padahal Adel paham bahwa Arkhan tidak akan melakukan perbuatan sekonyol itu.

"Harris? Lepasin! Lo bukannya disk—"

Dengan segera Adel menepis, melepaskan genggaman Harris.

"Diem, bawel!" ucap Harris tak kalah sarkas, kini mereka berdua berdiri di anak tangga terakhir.

"Lo kok di sini, sih?"

"Kenapa? Kaget ya! Dasar tante-tante ...."

"Eh apaan, sih!"

"Apa namanya kalau bukan tante-tante yang macarin juniornya sendiri, hah?"

Damn ....

Seketika Adel terdiam membisu. Perasaan malu, kesal semua bercampur menjadi satu. Ucapan tersebut seakan menyangkut di tenggorokan. Sesak, seperti ada sesuatu yang menahan.

Seharusnya Adel bisa menerima kenyataan bahwa Arkhan hanyalah adik kelasnya di sekolah. Namun, berapa kali pikiran itu muncul, berapa kali juga Adel akan menyangkal dalam dirinya bahwa mereka seumuran. Mengingat Arkhan memiliki tahun kelahiran yang sama, bahkan bulan kelahiran mereka lebih tua Arkhan dari pada Adel.

Hal tersebut terjadi saat berada di taman kanak-kanak, Arkhan yang seharusnya ditempuh selama dua tahun, malah ditempuh tiga tahun. Apalagi kalau bukan karena kesibukan kedua orangtuanya sehingga menelantarkan anak semata wayang dan melupakan pendidikan anaknya.

Seakan kehabisan kata, Adel memilih pergi dari tempat tersebut. Namun, tiba-tiba saja Adel terjatuh saat terbelit kedua kakinya sendiri. Dengan sigap Harris menarik lengannya, hingga berada di pelukan. Adel menelan salivanya kasar saat kedua bola mata mereka beradu. Ada sedikit berbeda dari tatapan Harris—yang tidak seperti biasanya—tetapi entah apa. Adel sendiri tidak mengerti.

Ketika kesadaran Adel pulih, cepat-cepat Adel melepaskan pelukkan tersebut dan mencoba kabur. Namun, pergelangan tangan Adel berhasil ditangkap oleh Harris yang menyebabkan perempuan itu menoleh.

"Gue mau bilang sorry kalau ucapan gue kemarin nyakitin lo, Del ... dan selamat ya, buat buat perlombaan kemarin," ujar Harris terdengar tulus, hingga Adel bisa merasakannya melalui bola matanya yang tampak berbinar.

Adel hanya melebarkan kelopak mata, bingung dengan situasi yang terjadi. Tidak biasanya Harris bertingkah seperti ini. Dengan segera Adel melepaskan cengkeraman Harris dan berlari meninggalkan tempat tersebut.

***

Harris mengembuskan napasnya pasrah dan mengacak rambutnya frustasi. Sejak kejadian kemarin yang mengakibatkan Adel tersinggung dengan ucapannya, lelaki itu tidak berhenti memikirkan Adel.

Bagaimana pun Harris tetaplah manusia yang memiliki sisi empati. Mungkin Harris terlalu keterlaluan dengan ucapannya, mungkin ... mungkin ... dan mungkin. Terlalu banyak kata mungkin yang bersarang di kepala, hingga Harris memutuskan Nyomen untuk memata-matai Adel dari kejauhan agar mencari momen pas supaya lelaki tersebut bisa meminta maaf secara langsung selama hukuman skorsing ini sedang berlangsung. Maka dari itu sekarang Harris berada di sini. Mendapat modal info dari Nyomen dengan pakaian hoodie, persis seperti maling yang menyamar.

Dengan cara ini ia bisa menebus rasa bersalahnya dan bisa terbebas dari pikiran Adel yang terus menghantui isi kepala. Iya, meskipun Harris kasar, suka melakukan perundungan dengan kaum adam. Namun, melukai perasaan perempuan jauh lebih cocok dikatakan sebagai pecundang. Harris tidak akan setega itu, meskipun terkadang kelepasan karena memang kebiasaannnya berbicara pedas tanpa bisa mengontrol.

Harris memutuskan untuk mampir ke warung ibuk sebelum ia pergi dari tempat ini.

"Heh, Bro! Gimana? Berhasil?" tanya Nyomen yang dari tadi sudah duduk di sana. Mengambil sebatang rokok dari saku celaka, lalu menyalakan korek dan menghirupnya.

Harris duduk, lalu membuka topi yang berasal dari hoodie-nya. Terbatuk-batuk saat kepulan asap itu disemburkan tepat di wajah. "Berengsek lo," bukannya marah, Harris malah tertawa, "sini!" Lelaki itu merebut seputung rokok milik Nyomen. Lalu tatapannya teralihkan saat menatap bayangan seseorang yang berjalan masuk dari pintu, hingga bayangan tersebut tampak jelas bahwa ia adalah Abe.

Melihat siapa sosok itu, kelopak mata Harris sontak melebar. Ia langsung berdiri dan menggebrak meja. Menghirup dalam-dalam rokok tersebut, lalu mengeluarkannya melalui hidung. Seseorang yang Harris tatap terlihat ketakutan saat berdiri di ambang pintu, dan memilih berbalik, pergi dari tempat tersebut. Cepat-cepat Harris membuang rokoknya di lantai, lalu menginjaknya dengan penuh penekanan dan berlari menyusul Abe. Melihat hal tersebut, tanpa aba-aba Nyomen langsung mengekor di belakang.

Harris langsung menyeret Abe di kamar mandi, sedangkan Nyomen berjaga di depan, takut ada seseorang yang melihat dan melaporkan perbuatan mereka. Mengingat Harris masih berada di masa skoring—yang tak seharusnya pergi ke sekolah.

"Bagi duit!"

"A-apaan sih, Bang! Ng-nggak ada, Bang!"

Abe tampak ketakutan, bibirnya terlihat bergemetar. Kedua tangannya mencengkeram kuat-kuat celana seragam. Beberapa kali mengadu kesakitan saat Harris tanpa ampun memukuli lelaki tersebut karena tidak mengabulkan permintaannya. "A-ampun, Bang!"

"Makanya jangan pelit! Gue tau duit lo banyak, sini!"

Dengan paksa Harris mencari sendiri keberadaan benda tersebut, memeriksa di setiap saku baju, celana hingga uang berpuluh ribu ia temukan di dalam sepatunya. "Ini apa? Lo udah belajar bohong ya sama gue?"

"Ja-jangan, Bang. Jangan diambil semua. Gue lapar, mau beli makanan!" Bersusah payah Abe ingin mengambil benda miliknya yang dirampas secara paksa, tetapi tetap saja gagal.

"Ris, gimana? Udah belum?" teriak Nyomen dari luar sana.

"Belum, sabaran ngapa!" ucap Harris tak kalah berteriak, lelaki itu kini mendorong tubuh Abe hingga terjatuh, lalu berbalik mengangkat uang tersebut ke atas. "Thanks, ya!" Disusul dengan suara tawa yang mengejek.

Tiba-tiba saja langkah Harris terhenti saat mendengar suara. "Bang. Pulang, Bang! Mama kangen ... papa juga."

Deg.

Satu kata yang membuat Harris terenyuh, mama. Seperti ada sebuah video yang disetel ulang, sebuah kilas balik masa lalu menghinggap di ingatan. Sebuah senyuman terukir di sana. Bagaimana pun ibunya dulu mencintai dan merawat dirinya. Berlarian ke sana-sini, tertawa tanpa beban saat masih kecil. Namun, kenangan tersebut cepat teralih saat mengingat suatu kejadian di mana ia diusir paksa oleh ayahnya. Mengingat kejadian tersebut seperti membuka kembali luka mengaga yang menyakitkan.

Sendi-sendi kaki Haris seakan lumpuh mengingat kenangan tersebut. Sekujur tubuhnya bergemetar. Rahangnya mengeras dengan gigi yang bergemelatuk hebat. Peluh keringat membanjiri seakan sudah berlari berpuluh-puluh kilometer.

"Jangan sebut nama itu di hadapan gue!"

"Mama pengin ketemu, Bang! Dia cuman kepengin memastikan keadaan lo baik-baik aja."

Sebenarnya Harris juga ingin berteriak dan mengatakan bahwa ia rindu sosok itu, lebih tepatnya merindukan keluarganya yang dulu bukan sekarang. Bagaimana pun Harris tetaplah keluarga Kusuma, meskipun ia benci terlahir di sana.

"Lo budek, ya, Dek? Gue bilang stop sebut-sebut nama itu!" Harris berbalik, menatap tajam Abe yang masih terduduk di lantai.

"Apa, Bang? Lo panggil gue dengan sebutan ade—"

"Nggak! Sampai kapan pun lo bukan keluarga gue!"

Harris melemparkan uang yang tadi ia ambil, lalu berbalik meninggalkan tempat tersebut dengan napasnya yang terdengar berat.


Jangan lupa meninggalkan jejak 🌟🌟🌟

Rabu, 3 Juli 2019

Minggu, 7 Februari 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro