Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19.


Sinar terik matahari terasa menyengat memasuki kulit. Debu berdebaran, hingga sesekali membuat Adel terbatuk-batuk. Dengan langkahnya yang pasrah, ia berjalan. Menendang sesuatu yang bisa ditendang. Bebatuan, kaleng-kaleng yang sudah berubah menjadi sampah itu adalah korban kekesalan Adel hari ini. Menumpahkan segalanya, hingga dadanya yang perlahan sesak itu menjadi lega. Kepalanya terus menunduk, membiarkan semua orang berjalan melewatinya.

Bagaimana mungkin Arkhan tega menyuruhnya untuk menaiki angkutan umum, sedangkan kakinya saja masih terluka akibat terkilir saat seleksi lari tadi?

Bola mata Adel membulat saat menatap sepatu yang sedang dikenakan itu adalah milik Arkhan. Jika sepatu milik Arkhan ia pakai, lalu Arkhan memakai sepatu apa?

Adel tersenyum, hanya memikirnya cowok tersebut saja mampu merubah mood-nya hari ini. Betapa perempuan itu sangat mencintai kekasihnya. Namun, senyuman itu berubah masam saat ia mengingat janji Arkhan yang akan membelikannya sepatu baru saat pulang sekolah. Mana buktinya? Nyatanya dengan tega cowok itu lebih mementingkan urusan pribadi daripada omongan yang telah terlanjur diucapkan.

Adel menendang keras kaleng yang berada di hadapannya, membayangkan bahwa itu adalah Arkhan yang dengan bebas Adel bisa memukulinya dengan leluasa. Tiba-tiba Adel merasakan ada pengendara sepeda motor yang sedang mengikutinya. Cepat-cepat ia melangkah dengan irama jantung yang terus berdetak lebih cepat tidak seperti biasa.

Adel melirik si pengendara motor itu yang kini berada di sampingnya. Adel tidak berani menatap, takut bila ia adalah penjahat, takut bila nanti ia akan dilukai. Perlahan Adel berjalan pelan, gerakannya melamban saat rasa lelah menghampiri dirinya. Sebuah bebatuan kecil Adel tendang dengan keras, hingga mendarat di sebuah motor yang menghentikan langkah Adel.

Perlahan tapi pasti, Adel mendongak. Pengendara sepeda motor yang sedari tadi mengikutinya itu sekarang sedang berada di hadapan Adel. Beberapa kali Adel menggigit bibir bagian bawah sambil mencengkeram kuat lengannya dengan seragam. Sebuah senyuman teduh yang membuat Adel selalu candu untuk menatapnya lama-lama itu ternyata dia. Arkhan.

"Maaf." Sebuah kata terlontar begitu saja saat Adel sudah berada di jok belakang. Adel diam tanpa respons, bahkan mereka terlihat duduk saling berjauhan.

"Oh, iya. Kita jadi ke mana? Beli sepatu?"

"Pulang!" ucap Adel datar. Sebenarnya hatinya begitu girang saat Arkhan tiba-tiba saja muncul menjemputnya. Namun, bibirnya terlalu gengsi untuk mengakui itu.

"Eem, baiklah!" balas Arkhan tak kalah pasrah.

Kini semuanya hening. Suasana terlihat canggung, hingga Arkhan memutuskan untuk mempercepat motornya. Menyalipi kendaraan-kendaraan besar di sana, bus, truks dengan kecepatan tinggi ia terjang begitu saja. Membuat Adel yang berada di belakangnya merasa ketakutan hingga memaksakan dia untuk memeluk Arkhan dari belakang. Tenang, hanya ketenangan yang Adel rasakan. Ia seperti menemukan sebuah rumah baru. Aroma parfum yang begitu khas langsung memanjakan hidung Adel. Ia menyukai semua hal yang berhubungan dengan Arkhan. Oh, beginikah rasanya jatuh terlalu cinta?

Adel semakin erat memeluk tubuh Arkhan dari belakang. Sepertinya perasaan kesal yang sejak tadi terasa mengendap dalam dadanya berangsur hilang.

"Katanya latihan band, kok jemput aku?" tanya Adel membuka kecanggungan di antara keduanya.

"Tadi temen-temen banyak yang belum datang. Jadi, ya mending aku anterin kamu pulang."

"Masak?"

Arkhan hanya berdeham sambil terus memperhatikan jalan, sedangkan Adel menatap kekasihnya itu dari belakang. Memperhatikan bentuk wajahnya bagaikan malaikat, hidung mancungnya, bulu mata lentiknya, bahkan bibir merah ranum milik Arkhan yang mampu membuat Adel berpikir liar di sana. Adel menggeleng-gelengkan kepalanya saat berusaha menghilangkan pikiran negatif tersebut.

Jarak antara sekolah dan rumah Adel memang kurang lebih lima belas menit dengan melewati satu kecamatan. Saat memasuki kecamatan rumah Adel, tiba-tiba langit berubah menjadi gelap, angin yang berlawanan arah membuat Arkhan kesulitan untuk melihat.

Adel berlindung di punggung Arkhan saat hujan deras yang tiba-tiba saja membasahi bumi. Terlihat genangan air di sepanjang jalan, membuat kendaraan lain yang melewati akan menyemburkan larvanya. Adel dan Arkhan tertawa terbahak-bahak saat terkena percikan air tersebut, hingga membuat seragam mereka basah kuyub.

***

Arkhan membelokkan motornya di gang perumahan Adel. Sebenarnya Adel masih belum siap membawa Arkhan ke rumahnya. Takut bila harus ketahuan Wirya, takut akan terjadi kenapa-kenapa, lalu ditambah pikiran buruk lainnya. Namun, apa boleh buat. Kondisi yang membuat Adel memberanikan diri. Ia juga tidak tega melihat Arkhan yang masih basah kuyub di cuaca yang masih hujan deras. Cara lain yang harus Adel pikirkan sekarang adalah mencari alasan-alasan yang membuat Wirya tidak marah.

Sesampainya di rumah Adel berjalan mengendap memasuki rumah dengan Arkhan yang masih mematung di depan pintu masuk. Saat dirasa aman, Arkhan dipersilakan menunggu Adel di ruang tamu, sedangkan perempuan tersebut pergi ke kamarnya untuk berganti pakaian.

Setelah itu Adel datang membawa handuk dengan teh hangat dan sepiring biskuit.

"Nih, keringin dulu rambutmu, Ar," ucap Adel sambil menyodorkan handuknya kepada Arkhan.

"Makasih. Rumahnya kok sepi? Ayah sama ibumu ke mana?"

Begitulah mereka. Menjalin hubungan tetapi tidak mengetahui informasi-informasi yang berkaitan dengan kekasihnya.

Adel diam tidak merespons. Bingung harus menjawab apa. Wirya memang belum pulang dari kantor. Iya, Adel merasa lega saat ia mengecek ke seluruh rumah dan Wirya tidak ada di sana. Seperti terlepas dari jeratan-jeratan yang memilukan. Pikiran buruk yang menakutkan itu ternyata hanyalah sekadar pikiran. Namun, bila Arkhan bertanya tentang keberadaan Rose? Iya, bahkan perempuan itu juga tidak tahu ke mana sekarang bundanya berada.

"Em, minum dulu tehmu, Ar," ucapnya mengalihkan pembicaraan sambil tersenyum kepada Arkhan yang sejak tadi menunggunya memberi jawaban.

"Oh, iya. Makasih."

Setelah itu hanya keheningan. Sepi, sunyi, senyap. Memang di rumah ini Adel hanya tinggal berdua dengan Wirya, sedangkan pembantu rumah tangga hanya datang di waktu pagi saja. Biar hemat, dan tidak memerlukan banyak biaya karena hanya membayar separuhnya saja. Itu yang dikatakan Wirya beberapa hari yang lalu kepada Adel. Biasanya juga di sore hari guru private-nya datang ke rumah. Namun, izin telat dikarenakan hujan deras.

Cicak-cicak yang menempel di dinding itu yang menjadi kebisingan dengan suara hujan yang jatuh ke bumi begitu memekakan telinga. Beberapa kali Arkhan menatap jam tangannya lalu mencocokkan dengan jam dinding yang berada di ruang tamu tersebut. Salah satu kaki Arkhan bergerak seperti mendengar suara alunan musik, lalu badanya berbalik. Mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah laptop, lengkap dengan charge ia letakan di pangkuan dan melepaskan jam tangan lalu ia masukkan ke dalam tas tersebut.

Sedangkan Adel hanya diam, menatap sekeliling rumahnya seperti tidak ada kerjaan atau memainkan Hp-nya yang sekadar menggeser-geserkan layar.

"Del."

Sebuah suara menghentikan aktivitas tersebut. Adel mendongak. Sebuah senyuman lagi, lagi mampu membiusnya dengan pesona yang luar biasa. Entah, mengapa pasangan tersebut jarang sekali mengucapkan kata 'sayang' sebagaimana pasangan semestinya.

"Iya?"

"Em, aku titip laptop dulu ya? Hujannya udah reda, aku mau pulang."

"Yah, nggak mau nunggu ayah dulu ta?"

Bohong, Adel berbicara tersebut hanya sekadar tawaran saja. Di lain sisi ia ingin Arkhan berlama-lama di sini. Namun, di sisi lain ia takut bila Wirya pulang dari kerja melihat Arkhan yang berada di rumahnya bisa semakin gawat.

"Udah sore. Oh iya baru inget, tadi nggak jadi ke tokoh sepatu ya, kapan-kapan aj-"

"Itu sepatumu, Ar," ucap Adel sambil menunjuk ke sebuah kresek hitam di ambang pintu. Entah sejak kapan Adel menaruh sepatu yang sejak tadi ia pakai.

Adel baru menyadari, bahwa dari tadi Arkhan memakai sendal dan meminjamkan sepatu miliknya. Namun, Adel terlalu gengsi untuk bertanya terlebih dahulu. Ia hanya ingin Arkhan terbuka dan langsung bercerita masalah yang sedang di hadapi.

Arkhan diam dan mengambil sepatunya. "Oke deh. Aku pamit pulang dulu."

Adel hanya tersenyum dan mengangguk lalu ia mengantarkan Arkhan sampai ke motornya hingga melaju meninggalkan rumah.

Beberapa menit setelah itu Wirya datang dan bersalipan dengan Arkhan saat berada di gang rumahnya. 

Jangan lupa meninggalkan jejak 🌟🌟🌟


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro