Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18.


Adel, Atta, dan Ifa kembali di kelas saat jam pelajaran akan dimulai. Baru juga Adel sampai di ambang pintu, teman-teman sekelasnya berjalan mendekat sambil bersalaman bagaikan antre pembagian sembako dari pemerintah.

"Selamat ya, Del."

"Gue bangga sama lo!"

"Akhirnya di kelas kita ada yang hebat di bidang non akademik, bukan perwakilan lomba olimpiade terus," ucap salah satu di sana, hingga membuat gelak tawa di penjuru ruangan.

"Iya, terima kasih semuanya. Mohon doanya ya, agar gue bisa mempersembahkan yang terbaik untuk sekolah." Bola mata Adel berkaca-kaca. Terlihat jelas dari tatapan teman-temannya yang penuh harap bahwa Adel akan memberikan juara di perlombaan itu bagaikan beban yang tiba-tiba saja berada di pundak.

Hatinya seolah menjerit agar harapan yang tumbuh dari teman-temannya dapat terwujud. Karena ini untuk pertama kalinya sekolah SMA Pelita Bangsa mengikuti perlombaan tersebut, sekali ikut langsung ditunjuk sebagai tuan rumah.

Sekarang Adel sudah duduk di mejanya. Ada perasaan bangga yang menyelimuti jiwa. Perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dadanya mengembang lalu mengecil saat embusan napas itu terasa berat. Bibirnya melengkung sambil berucap, "Oh, begini rasanya menjadi pusat perhatian."

Beberapa menit setelah itu terdengar suara fantopel mendekat ke arah kelas. Buru-buru semua murid bergegas ke tempat mejanya masing-masing. Mengambil posisi siap, sebelum pelajaran itu dimulai.

Hari ini adalah jadwal Pak Oman mengajar. Guru Fisika yang terkenal akan kesadisannya saat belajar di kelas. Namun, mengapa Bu Sarah yang datang dan menempati meja guru tersebut?

Liana sebagai anak yang paling pintar di kelas mengangkat tangannya ke atas. Penghuni kelas dengan segera menghadap ke arahnya. Begitu juga dengan Bu Sarah yang baru saja mendaratkan bokongnya di kursi.

"Iya, Liana. Ada apa?"

"Maaf, Bu. Sekarang jadwalnya Fisika, bukan Sejarah," ucap Liana dengan tegas dan berani, tanpa basa-basi langsung menjelaskan maksud dan tujuannya.

Sedangkan penghuni kelas mengembuskan napas pasrah sambil sesekali menatap Liana dengan tatapan sinis bahwa mereka gagal untuk tidak bertemu dengan Pak Oman yang mengerikan tersebut.

"Oh, iya. Ini bukan kelas XI-IPA 5, ya?"

"Siap, Bu. Bukan."

Mendengar nada suara tersebut mengingatkan Adel tentang Arkhan. Ia benci dengan organisasi tersebut, ia benci dengan aturan dan anak-anak yang terlibat di dalamnya, pengecualian untuk Arkhan karena ia terlanjur jatuh hati kepadanya.

"Baik, Maafkan Ibu, sepertinya salah kelas." Dengan segera Bu Sarah berjalan meninggalkan kelas.

Sementara itu, Adel dengan sigap izin ke kamar mandi sebelum bertemu dengan Pak Oman, sebelum pelajaran membosankan itu dimulai.

***

Cermin adalah tempat untuk menenangkan pikiran bagi sebagian orang. Itu sudah menjadi kebiasaan Adel untuk berbicara sendiri dengan cermin. Menatap bagaimana ekspresi wajahnya sendiri. Bercerita bagaikan orang gila bila terlihat oleh orang. Namun, percayalah kegiatan itu mampu menghilangkan pikiran negatif dan pesimis dalam jiwa. Bercermin mampu menyadarkan diri akan kesalahan yang telah diperbuat.

Sekarang Adel membasuh wajahnya di wastafel dengan cermin besar di atasnya. Bulu mata yang lentik ia gerakkan perlahan lalu ia bersihkan sisa air yang berada di wajah dengan tisu yang disimpan di saku seragam.

Perbuatan Arkhan barusan masih melekat dalam hati. Bagaimana ia menolongnya sewaktu kaki Adel terkilir di jalan, bagaimana sikap tak acuhnya Arkhan saat mengetahui atau tidak bahwa kekasihnya yang mewakili sekolah dalam perlombaan. Namun, mendadak sifat romantisnya muncul saat tiba-tiba semua orang ditraktir olehnya sebagai ucapan selamat karena telah menjadi yang terbaik dalam pertandingan. Iya, meskipun Arkhan tidak mengatakan ke semua orang kalau itu adalah pemberian darinya secara langsung dan terbuka.

Sebenarnya yang Adel butuhkan bukanlah itu semua. Ia hanya ingin Arkhan menemui Adel dan mengucapkan kata 'selamat' secara langsung padanya. Permintaan sederhana yang mungkin tidak akan pernah terwujud. Permintaan bahwa Arkhan mengakui ke semua orang bahwa Adel adalah kekasihnya. Mengatakan dengan bangga bahwa Adel adalah perempuan paling beruntung dari sekian banyaknya perempuan yang mendekati dia, Arkhan tetap memilihnya.

Sial, mengapa Adel bisa jatuh hati dengan bocah yang belum bisa memiliki sikap tegas dalam hidup? Mengatakan dengan tegas ke semua orang agar jangan mendekatinya karena ia sudah ada yang punya.

Seandainya bila manusia dengan mudah bisa mengontrol perasaannya agar jatuh hati ke siapa, Adel tidak akan memilih kisah ini dimulai. Bagaimana mungkin ia memberikan cinta pertamanya dengan seorang bocah adik kelasnya di sekolah?

Iya, tiba-tiba saja buliran bening merembes membasahi pipi. Dengan segera Adel membasuhnya agar tidak ada orang tahu, meskipun di toilet itu memang hanya ada Adel seorang diri.

Saat dirasa perasaannya jauh lebih tenang, Adel memutuskan untuk kembali di kelas sebelum Pak Oman memberikan hukuman lebih karena terlalu lama berada di luar kelas sewaktu jam pelajarannya.

Buugh.

Adel mematung di tempat. Sepertinya ia telah menabrak dada bidang seseorang karena terlalu terburunya ia keluar dari kamar mandi.

Dengan segera Adel melepaskan diri dari tubuh itu, tetapi pemuda tersebut malah mempererat pelukannya. Adel mendongak, bola mata mereka beradu.

"A-Arkhan," keluh Adel dengan tatapan tidak percaya. Matanya melotot dengan bibirnya yang dipaksa tersenyum, tetapi dalam hati ia kegirangan bukan main.

Perlahan Arkhan mengelus puncak kepala Adel dengan penuh cinta. "Selamat ya," ucapnya sambil mengecup kening Adel.

Sebuah lengkungan indah terbit dari mulut Adel. Bila ini sebuah mimpi, Adel berharap jangan pernah ada orang yang membangunkannya. Tiba-tiba kupu-kupu yang berterbangan itu menghilang dalam pandangan saat Arkhan melepaskan pelukannya.

"Ma-maaf, Del. Nanti pulang sekolah bisa balik sendiri, kan? Gue ada jadwal nge-band hari ini."

Runtuh sudah bayangan indah tentang Arkhan yang Adel bangun. Apa katanya? Gue? Sebegitu malunya kah Arkhan mengakui Adel sebagai pacarnya di sekolah?

"Oh, iya." Tanpa berlama-lama lagi Adel langsung berlari meninggalkan Arkhan yang masih mematung di tempat, berlari dengan menahan isakan menuju kelasnya.

***

Bel pulang sekolah berbunyi. Semua murid berbondong-bondong keluar kelas dengan perasaan bahagia. Ada yang langsung ke parkiran mengambil motor, ada yang masih nongkrong di warung Ibuk, dan ada yang berjalan kaki menuju gerbang sekolah.

Sepulang sekolah Arkhan menatap Adel dari kejauhan dengan perasaan iba saat menuntun motornya hingga gerbang. Di sekolah ini memilki aturan bila berada di lingkungan sekolah dilarang menaiki motor karena masih banyak murid yang berkeliaran, apalagi memiliki halaman yang sempit.

Ia mengendarai motornya dengan Abe dan tanpa perasaan bersalah, Arkhan membiarkan Adel berjalan kaki sendiri diteriknya sinar matahari. Bahkan saat motor itu melewati Adel, Arkhan tidak ada niatan untuk menoleh atau sekadar menyapa, hingga terlihat dari kaca spion. Perempuan tersebut hanya berjalan pasrah dengan ekspresi yang murung. Karena sekolah ini berada di pedesaan, sehingga bila harus sampai di jalan raya untuk menaiki angkutan umum kurang lebih membutuhkan waktu setengah jam.

Sekarang Arkhan dan Abe sudah sampai di studio musik. Di mana itu adalah tempat latihan mereka yang sebenarnya adalah rumah guru pelatihnya yang ada di sekolahan. Tanpa basa-basi lagi mereka berdua langsung bergabung dengan teman-temannya di sana.

Suara musik yang sangat keras memenuhi ruangan. Arkhan sebagai bassis, Abe sebagai drummer, Udin sebagai gitaris. Mereka masih belum mempunyai vokalis tetap dikarenakan masih band baru di sekolah tersebut. Namun, Latihan hari ini terasa berantakan. Entah, masih ada saja yang kurang dalam alat musik yang dihasilkan.

"Ayolah, Ar. Lo ada masalah? Kenapa main lo jelek banget!" ucap Pak Ryan sebagai guru seni dan pelatih mereka di sana.

"Fokus, fokus, fokus, Ar!" kata Udin.

"Lo mikirin apa, sih? Atau jangan-jangan jiwa lo masih sama Kak Adel karena lo tadi berangkat bareng dan pulangnya lo tinggal?"

"Adel?" tanya Pak Ryan.

"Oh, bukan siapa-siapa, Mas. Izin keluar bentar, nanti gue ke sini lagi," ucap Arkhan bangkit, lalu meletakkan Bass-nya. Anak-anak band memang menganggap Pak Ryan sebagai teman. Bahkan guru tersebut sendiri yang meminta anak didiknya bila berada di luar sekolah untuk berkata demikian.

"Be, Din. Kalian latihan aja dulu ya. Gue mau cabut bentar. Ada urusan!" ucap Arkhan sambil terburu mengambil jaket yang tadi ia taruh asal di kursi dan pergi mengendarai motornya.

Waaah kelanjutannya apa yaaa. Tinggu part selanjutnya yaa. Heheheh.

Jangan lupa meninggalkan jejak🌟🌟🌟

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro