17.
Adel berjongkok, merapikan tali sepatunya. Semua peserta sudah berada di tempat seleksi. Melihat fasilitas sekolah yang tidak mempunyai lapangan untuk lari Marathon, maka seleksi lari ini akan diadakan di jalan raya kecil dengan melewati perkampungan warga.
Panitia OSIS sebagai penunjuk jalan, berangkat terlebih dahulu dan berhenti di setiap perempatan jalan agar memastikan peserta tidak tersesat. Arkhan menoleh kepada Adel sebelum menyalakan mesin motor, sedangkan Adel mendongak retina mereka beradu. Adel tersenyum dengan kebinaran saat Arkhan memutuskan penglihatan tersebut dan melajukan motornya bersamaan dengan panitia OSIS yang lain.
Setelah pembina olah raga tersebut menjelaskan route lari. Adel mengerjap, kesadarannya telah kembali. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatap lurus ke depan. "Fokus, Del. Fokus!"
"Bersiap-siap!"
Suara tersebut membuat detak jantung Adel semakin berdenyut. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya. Mencoba menetralkan dadanya yang terus kembang-kempis, padahal lari itu belum dimulai.
"Bersedia!"
Dengan ancang-ancang, tangan Adel mencengkeram kuat.
"Mulai!"
Bendera kecil yang daritadi menutupi jalan, kini diayunkan dengan suara peluit yang menandakan seleksi dimulai. Adel terus berlari tanpa memedulikan sekitar. Pandangannya hanya fokus ke jalan. Membiarkan suara sorak-sorai penonton yang mungkin itu adalah murid jadwal kelas lain yang sedang berolah raga.
Satu per satu peserta lain berlari mendahului Adel, sedangkan Adel dengan tenang mengatur pernapasannya agar tidak segera habis dikarenakan perlombaan lari ini memiliki jarak tempuh yang jauh.
Telapak tangannya melebar dengan mengayunkan lengan tangan untuk lurus di bagian dada. Udara dibiarkan masuk melalui mulut agar mempermudahkan bernapas saat berlari.
Di setiap tikungan Adel melihat Arkhan sedang tersenyum kepadanya. Tatapan itu mampu membius Adel hingga seluruh raganya terasa turun ke bawah dan mengakibatkan salah satu kaki Adel terkilir.
"Aau!" teriaknya sambil memegangi kaki.
Hal itu langsung membuat Arkhan terbelalak. Dengan segera ia menghampiri Adel dengan perlengkapan P3K yang memang menyediakan untuk keperluan peserta.
"Lo nggak apa?" ucap Arkhan sambil memapah perempuan itu untuk duduk di tepian jalan.
Adel tertegun mendengar penuturan Arkhan dengan sebutan 'lo'. Bukankah mereka sudah resmi jadian? Dan bukankah kemarin Arkhan memanggilnya dengan kata 'aku dan kamu'?
Adel tak membalas. Ia masih berada dalam pikirannya. Lalu, beberapa detik setelah itu panitia OSIS lainnya menghampiri mereka berdua. Memang kebanyakan yang menjadi panitia OSIS juga bagian dari anggota PASKIBRA.
"Ini biar gue yang ngurus, Ar. Lo ngawasi peserta yang lain aja," ucap Liana sebagai panitia Osis juga. Lebih baik perawatan dilakukan bila sesama jenis, bukan?
"Siap, Senior!"
Dengan segera Arkhan bangkit sambil menatap Adel datar, lalu memberi hormat dan berbalik mengikuti perintah.
Perlakuan Arkhan barusan sungguh menyisakan luka terdalam baginya. Dengan sekuat tenaga, Adel menahan air mata sambil mencengkeram kuat rerumputan yang berada di sekitarnya ia duduk. Apa sebegitu disiplin organisasi itu, padahal ini di luar ranahnya untuk meghormati senior?
***
Suara tepuk tangan bergemuruh hebat saat kurang beberapa langkah lagi garis finis sudah berada di depan mata. Untung saja saat salah satu kaki Adel terkilir itu sudah berada dekat dengan garis finis. Di sisa-sisa tenaganya yang hampir habis, Adel semakin mempercepat langkah hingga tali finis itu berhasil terputus, sedangkan suara botol-botol yang berisi bebatuan terdengar indah dalam pendengaran Adel.
"Selamat ya, Del. Kamu yang akan mewakili sekolah kita dalam perlombaan tersebut."
Adel tersenyum sambil menjabat tangan pembina olah raga itu dengan senyuman bangga.
"Terima kasih, Bapak. Semoga saya bisa memberikan yang terbaik untuk sekolah kita."
Setelah itu Atta dan Ifa langsung memeluk tubuh Adel secara bersamaan, membuat perempuan tersebut terkaget sambil menoleh ke arah sahabatnya. "Ih kalian. Bikin gue kaget aja tau!"
"Duh, selamat ya, Del. Nggak nyangka banget gue, lo yang akan mewakili sekolahan kita di acara yang bergengsi itu," ucap Atta dengan perasan haru.
"Bakalan ada yang teraktiran, nih!" timpal Ifa dengan lirikannya yang menakutkan.
Obrolan itu hanya ditanggapi candaan oleh Adel dan disusul tawa dari ketiganya. Setelah itu banyak dari murid di sana yang tidak dikenalinya mengucapkan kata 'selamat' kepada Adel. Namun, bola mata itu terus mencari ke penjuru arah, saat Arkhan tidak terlihat hanya untuk mengucapkan kata 'selamat' kepadanya.
Tiba-tiba lengkungan tipis di bibir Adel terbentuk, bola matanya berganti berbinar saat Arkhan datang dari gerbang sekolah sedang turun dari motornya dan menuntunnya masuk ke parkiran sekolah. Adel terus menatap pemuda tersebut. Nihil! Tidak ada tanda-tanda pemuda itu berhenti dan menghampirinya. Seakan tulang-belulang penyangga kaki Adel lemas tak berdaya, bila saja dengan sigap Atta dan Ifa langsung menangkapnya.
"Lo, nggak kenapa-kenapa kan, Del?"
Adel hanya mengangguk saat menjawab pertanyaan dari Atta. Seharusnya ini akan menjadi momen kebahagiaannya. Seharusnya hari ini ia bisa tertawa saat penjuru sekolah mengucapkan kata 'selamat' kepadanya. Sial, hanya satu orang dari sekian banyaknya penghuni sekolah mampu merubah mood-nya berubah buruk.
Apakah Arkhan barusan tidak lihat gue saat berdiri di dekat gerbang sekolah? Apakah Arkhan tidak tau, bahwa gue yang akan mewakili sekolah diperlombaan bergengsi itu? Mengapa dengan seenaknya ia nyelonong masuk tanpa ucapan atau sekadar basa-basi saja untuk sekadar menatap?
Entahlah, pikiran itu terasa berkecamuk di dalam pikiran Adel secara bertubi-tubi, hingga Atta dan Ifa menarik lengannya menuju kantin sekolah.
***
Jam istirahat adalah surga bagi anak sekolah. Di mana banyaknya penjual dan pembeli yang berlalu-lalang. Mencoba mengisi perut setelah aktivitas menguras pikiran dan tenaga. Kebahagiaan terlihat tercipta di setiap sudut kantin saat mereka dengan tawanya mengisi cacing-cacing pita yang bersarang dalam perut.
Berbeda halnya dengan Adel. Ia menatap makanannya kosong, seperti tidak memiliki gairah untuk menyantapnya. Bakso itu hanya dijadikan mainan yang diaduk tanpa niat untuk memakannya.
"Lo kenapa sih, Del? Murung gitu wajah lo."
"Eh, ini makanan jadi diteraktir kan, Del?"
Suara itu langsung membuat Atta menepuk kepala Ifa yang secara gamblang berkata demikian.
"Lo itu, Fa. Makanan mulu, nggak lihat apa Adel lagi sedih."
"Ya, maap," ucap Ifa sambil mengunyah makanannya yang terasa penuh di mulut.
Tiba-tiba banyak murid yang berdatangan menghampiri meja Adel dengan semangkok bakso sambil mengucapkan, " Selamat ya, Del. Makasih baksonya."
"Selamat ya, Del. Sering-sering teraktiran."
Ucapan tersebut justru membuat Adel bingung, apalagi Atta dan Ifa yang dibuat melongo sambil saling menatap satu sama lain seolah berkata, "Hah, maksudnya apa?"
"Dih, jahat amat lo, Del. Teraktiran tapi nggak ngajak-ngajak kite. Iya, nggak, Fa?"
Ifa hanya diam sambil menatap Adel, lalu dengan sigap Ifa bertanya pada salah satu orang yang kini sedang mengantre ingin mengucapkan kata 'selamat' kepada Adel.
"Eh, maaf nih ya. Kalian kata siapa kalau Adel yang neraktir ini semua?"
"Kata penjual bakso itu," ujar salah satu di antara yang lainnya sambil menunjuk arah penjual bakso tersebut.
Tanpa basa-basi lagi Adel langsung menghampiri penjual bakso. Namun, sebelum Adel bertanya. Penjual bakso tersebut langsung berkata, "Ini dari Nak Arkhan, Mbak. Katanya syukuran karena, Mbak Adel. Bakalan mewakili sekolah. Selamat ya, Mbak."
Bluuush. Terasa sekarang kedua pipi Adel merah seperti kepiting rebus. Benarkah ini semua dari Arkhan?
Cowok yang dianggap tidak peduli dengannya itu ternyata melakukan perbuatan di luar dugaan. Namun, mengapa tadi Arkhan saat bertemu dengannya seolah tidak saling mengenal?
Jangan lupa meninggalkan jejak 🌟🌟🌟
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro