Chapter 57 : Debat (1)
Mocca's PoV
Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Umurku sudah menginjak 20 tahun. Perang yang terakhir kalinya antara kerajaan Mixolydian dengan Ferlendian telah selesai 4 tahun yang lalu dan dimenangkan oleh kerajaan Mixolydian.
Semua terasa damai. Tak ada kerajaan yang menyatakan perang lagi. Semua kerajaan yang ada sudah memutuskan untuk menjalin ikat tali persaudaraan mencapai perdamaian.
Nenek Sihir yang meresahkan penduduk kota Mejiktorn akhirnya berhasil ditangkap oleh Violet dan Serta meski membutuhkan waktu 2 tahun. Penyihir terkutuk itu diasingkan di tempat yang sangat jauh dari sini. Raja Hallow Mixolydian memutuskan untuk tidak membunuh Nenek Sihir itu. Penyihir itu dibiarkan hidup sampai ajalnya datang menjemput nyawanya. Ya, itu hukuman yang lebih baik dari pada hukuman mati.
Violet dan Serta mendapat komentar positif yang sangat banyak dari penduduk kota. Mereka menamakan Violet dan Serta sebagai dua gadis pahlawan. Haha, aku sangat senang mendengar itu.
Hari ini aku mendebatkan sesuatu kepada Yang Mulia Raja Hallow Mixolydian. Entahlah, berdebat seolah-olah menjadi pokok kegiatan kami yang sungguh menguras tenaga. Bukan bertengkar. Hanya berdebat.
Awalnya, kami berbicara seperti biasanya.
"Mocca," panggil Hallow di belakangku membuat bulu kudukku merinding karena napasnya mengenai leherku.
Aku sedang menyirami tanaman obat yang kutanam bersama Beethov dan Greethov di rumah kaca yang dibuat 1 tahun yang lalu, hadiah ulang tahun dari Hallow untuk menampung tanaman-tanaman obatku.
"Hhh... ya ampun, Hallow. Kau mengejutkanku," helaku sambil menyentuh tengkukku untuk menghilangkan keteganganku. "Ada apa? Bukankah kau sedang sibuk dengan pekerjaanmu?"
Aku tidak membalikkan badan menghadap Hallow, karena kedua lengannya telah berada di sekeliling pinggangku. Dia menjatuhkan dagunya di bahuku kananku.
"Aku memang sibuk. Tapi, pikiranku selalu saja memikirkanmu walaupun aku sedang bekerja. Tapi, aku sudah menyelesaikan setengahnya saja. Setengahnya lagi akan aku urus malam ini. Siang ini, aku ingin menghabiskan waktu bersamamu," jawab Hallow.
Tenang, tegas, dan agak ... manja. Itulah Hallow. Sifat manja dan malas dengan pekerjaan akan kambuh jika dia mengingat dan melihatku. Apalagi kalau dia sedang memelukku seperti ini. Sepertinya dia menginginkan sesuatu dariku selain menghabiskan waktu denganku.
"Hallow, aku tahu kau sedang meminta sesuatu dariku. Jadi langsung saja katakan apa yang kau inginkan agar aku tahu," kataku sembari mengarahkan penyiram tanamanku ke arah tanaman yang tadi sempat tertunda disiram.
Hallow tidak menjawab, tetapi masih memelukku. Dengan sabar aku menunggu jawabannya sambil menyirami tanaman obatku.
"Mocca."
"Ya?"
"Aku ... em ..."
"Katakan saja, Hallow."
Hallow kembali diam. Aku menghela napas. Tanganku berhenti menyirami tanaman. Aku melepaskan kedua tangan Hallow dari sekeliling pinggangku dan berbalik melihatnya segera bersuara.
"Aku ingin ... aku ingin kita punya anak."
Aku sedikit terkejut mendengar Hallow mengatakan itu. Wajahnya bersemu merah ketika dia mengungkapkan keinginannya. Aku sangat senang mendengar Hallow menginginkan anak.
Awalnya, aku juga berpikir umur kami sudah seharusnya membuat anak. Tapi, aku malu untuk mengatakan itu. Akhirnya Hallow yang lebih dulu mengatakannya.
Aku tidak tahu harus membalas apa. Jadi aku memilih memeluk dirinya dengan rasa maksimal bahagia.
"Aku juga," balasku. Setetes air mata lolos dari mataku.
Hallow membalas memeluk diriku dengan erat. Debaran jantungku begitu terasa aku rasakan. Hangatnya pelukan Hallow membuat tubuhku nyaman.
"Kalau begitu, aku akan menyelesaikan semua pekerjaanku siang ini juga," kata Hallow langsung berubah pikiran yang pada awalnya ingin menyelesaikan pekerjaannya pada malam hari. "Dan malam ini akan aku gunakan waktu sebaik-baiknya denganmu."
Kalimat akhirnya membuat pikiranku melayang ke mana-mana. Hari ini akhirnya datang juga. Tidak lama lagi, kami akan mempunyai anak.
"Hallow."
"Ya, Mocca?"
"Kau ingin punya berapa anak?"
Hallow terdiam sebentar. Sedang berpikir. Tidak lama kemudian, dia pun menjawab. Oh iya, kami masih berpelukan.
"Sembilan."
"A-apa?! Sembilan??"
"Iya. Memangnya kenapa? Oh, kau mau punya sepuluh anak? Boleh juga."
Mataku semakin terbuka lebar. Aku terpaksa melepas pelukan dan menatap Hallow yang sedang tersenyum senang. Bagaimana itu? Sembilan anak?! Sepuluh?! Astaga, Hallow!
"Apa itu tidak terlalu banyak? Apalagi sepuluh?" tanyaku memastikan kalau dirinya masih waras dalam hal berhitung.
"Iya. Sembilan," jawab Hallow sambil mengacungkan sembilan jarinya. Lalu menambah satu jari lagi. "Atau sepuluh."
"Hallow, kau serius?" tanyaku lagi menatap lebih lekat ke matanya.
"Tentu saja aku serius. Aku ingin kita membuat sebuah keluarga bangsawan yang paling besar dan bahagia yang pernah ada!" jawab Hallow sambil melambaikan kedua tangannya ke udara.
Aku menatap datar. "Hallow, khayalanmu itu terlalu tinggi. Kau bisa lihat wajahku lekat-lekat, apa aku setuju dengan hal itu?"
Hallow melihat wajahku. Dia melunturkan senyumannya dan menyentuh wajahku. "Kau ... tidak setuju?"
"Nah, kau sudah tahu jawabannya. Sembilan anak itu banyak jumlahnya, Hallow. Apalagi sepuluh anak," kataku memberikan pendapatku mengenai Hallow ingin aku melahirkan anak yang terlalu banyak.
"Tapi, lebih banyak lebih ramai. Dan anak-anak kita akan menjadi penerus kita yang selanjutnya," bantah Hallow dengan lembut. Dia menggenggam kedua tanganku. "Mocca, aku mohon. Kita buat anak yang banyak. Jadikan mereka sebagai penerus kita suatu hari nanti. Aku jamin, kita akan selalu bahagia bersama mereka karena mereka akan segera hadir di kehidupan kita untuk mengisi keluarga yang kita bangun selama ini."
Aku menghela napas setelah mendengar kata-katanya yang memelas itu. Dia pandai meluluhkanku.
"Baiklah," jawabku membuat Hallow tersenyum lebar. "Tapi, lima anak saja."
Hallow kembali merengut jelek. Astaga, jelek sekali. "Tambah empat!"
Aku menatap tajam. "Jadi sembilan, dong!"
Hallow tertawa. "Iya."
"Tidak. Lima saja cukup, Hallow."
"Aku inginnya sembilan anak."
"Aku hanya mau melahirkan lima anak."
Hallow semakin mengeratkan pegangannya di tanganku. Dia tidak menyerah dengan keputusannya.
"Sembilan anak."
"Lima anak."
"Sembilan anak!"
"Lima anak!"
"Sembilan."
"Lima."
"Sembilan!"
"Lima!"
Itulah yang kami debatkan sepanjang hari ini. Keributan kami sampai membuat para pelayan yang lewat sedang bekerja, terheran-heran dan penasaran dengan apa yang sedang kami bahas.
Sepanjang jam makan malam berlangsung, kami juga masih saja mendebatkan soal anak.
Jika target kami sembilan anak, aku berharap nyawaku akan baik-baik saja. Lima anak saja rasanya sudah cukup banyak.
Memang benar, kalau mempunyai banyak anak, maka keluarga Mixolydian akan menjadi sebuah keluarga bangsawan yang besar. Membayangkannya saja aku sudah merasa begitu bahagia. Tapi, apa aku bisa melahirkan sembilan anak? Apa Tuhan mau memberikanku banyak kekuatan untuk melahirkan mereka nanti?
Keraguanku membuat perdebatan ini tidak kunjung selesai.
🎃TO BE CONTINUE ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro