Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 39 : Lucu

Mocca's PoV

Sudah lima pukulan dari Serta aku terima secara paksa. Serta menjeda aksinya. Sebentar dia meregangkan otot tangannya. Setelah menurutnya terasa cukup, dia kembali mengepalkan tangan. Melanjutkan pukulannya yang ternyata belum selesai.

BUGH!!

“Hei! Apa yang kalian lakukan dengannya??”

Teriakan seorang laki-laki terdengar lantang dari kejauhan. Dia berlari ke tempat di mana kami bertiga berdiri. Tapi, Serta dan Greyina tidak diam sepertiku. Mereka langsung melepaskanku dan berlari cepat meninggalkanku.

Laki-laki itu ingin mengejar mereka, namun melihatku sedang meringis, dia menghampiriku.

“Hei, apa yang mereka lakukan padamu? Kau tidak apa-apa?” tanyanya seraya memeriksa bagian fisikku seperti wajah dan tangan.

Mereka hanya meninju perutku. Rasa sakit di perut tidak akan kunjung reda jika tidak aku obati. Secepatnya aku mengangguk dan berterima kasih. Lalu berlalu pergi meninggalkannya begitu saja.

Aku baru saja melihat laki-laki itu. Mungkin beda kelas. Kalau tidak ada dia, mungkin wajahku juga akan dihajar Serta. Untuk sementara, tidak apa-apa.

DUG!

“Aduh, kalau jalan jangan pakai kaki saja. Pakai mata juga!” kata seorang laki-laki yang aku tabrak. Suaranya tidak asing.

Aku juga kesal kenapa bisa sampai ketabrak orang. Ini membuang-buang waktuku. Mataku menengok siapa yang telah aku tabrak.

Oh!! Ya ampun! Ya ampun! Kakak kelas!!

“K-Kak Ashtan, maafkan aku karena sudah menabrak Kakak,” kataku meminta maaf.

Dia Kak Ashtan, lebih lengkapnya Ashtan Hergydian, kelas 3-1. Terkenal dijuluki sebagai penjaga perpustakaan sekolah.

“Oh, Mocca. Tidak apa-apa. Kau adik kelas yang rajin. Jarang aku melihatmu menabrak seseorang di koridor nyaris sepi seperti ini. Sepertinya kau sedang terburu-buru,” kata Kak Ashtan mendadak ramah.

Setahuku, Kak Ashtan tidak akan mudah ramah kepada orang yang jarang dia temui. Entahlah, yang penting sekarang adalah ruang kesehatan. Aku harus ke sana untuk memberikan obat kepada Hallow.

“Iya, Kak. Aku memang sedang terburu-buru. Sudah dulu, ya, Kak!”

Aku kembali berlari. Meninggalkan Kak Ashtan yang melihatku dengan tatapan bingung. Dia mengangkat bahu dan kembali berjalan keluar dari gedung sekolah. Untunglah Kak Ashtan tidak terlalu menyita waktu. Kalau aku menabrak kakak kelas yang galak, mungkin masalahku akan terus berkepanjangan.

Langkah kaki cepatku berhenti tepat di depan pintu ruang kesehatan. Setelah napasku yang terengah-engah kembali teratur, aku pun membuka pintu.

Di kasur tipis itu, ada seorang laki-laki terbaring tenang. Dahinya masih ditutup oleh kain basah. Matanya tertutup tenang, namun matanya perlahan terbuka. Setengah terbuka, dia mengarahkan wajahnya ke arah pintu, di mana diriku sedang berdiri memandangnya dalam diam.

Astaga untuk apa aku diam saja? Aku harus memberinya obat penurun panas segera! Tapi sebelum itu, aku akan memeriksa warna lidah dan detak jantungnya terlebih dahulu.

Bergegas aku mengambil stetoskop yang tergeletak begitu saja di atas meja. Mungkin sebelumnya ada yang memakai ini untuk memeriksa detak jantung seseorang. Setelah itu aku mengambil sebuah senter kecil khusus memeriksa bagian dalam mulut di lemari peralatan dokter.

Aku menatap pilu pada Hallow. Napasnya terengah-engah seperti baru saja selesai berlari cukup jauh. Dia ingin mengatakan sesuatu, namun aku melarangnya berbicara.

“Sementara, jangan bicara dulu. Aku akan memeriksamu.”

Aku membuka jas dan beberapa kancing bajunya.  Menampakkan dadanya, tepat di mana aku harus mendengarkan detak jantungnya. Aku melekatkan stetoskopku di dada bagian kirinya. Mendengarkan beberapa kali detak jantungnya, keadaan baik. Untunglah. Setelah itu, aku memeriksa warna lidahnya.

“Oke, aku telah memeriksa tubuhmu. Detak jantungmu stabil. Warna lidahmu sedikit pucat. Apa kau memakan sesuatu yang tidak diperbolehkan? Seperti ... kau tidak boleh makan makanan yang akan berdampak buruk. Tunggu. Jangan-jangan, ini dari cokelat buatanku yang kau habiskan kemarin?”

Baiklah, aku sudah tahu apa penyebab Hallow sakit. Tidak salah lagi. Dia memang alergi cokelat. Jika dia makan cokelat sedikit saja, dia akan terkena demam tinggi dan mual. Seharusnya dia tidak perlu memakan cokelatku. Kalau dia tidak makan cokelat, dia tidak akan menderita seperti ini.

Hallow tidak menjawab. Matanya tetap melihat ke arahku. Sejak awal aku memeriksa jantungnya, tangannya terus menggenggam tanganku sampai sekarang.

“Aku ingin mengambil obat penurun panas buatanku di dalam tasku,” kataku padanya agar dia melepaskan genggamannya.

Perlahan, Hallow melepaskan tanganku. Dia tersenyum lemah. Seperti orang sekarat saja. Oke, aku balas saja senyumannya, mungkin bisa membuatnya lebih baik.

Aku menghampiri tasku yang aku letakkan di kursi. Menggeledah tasku mencari barang yang kucari. Tidak lama aku mengangkat tanganku keluar dari tas. Obat berbentuk serbuk yang telah dibungkus rapi. Obat ini sudah lama aku racik di ruangan ini. Ya, dalam artian ekskul kesehatan diselenggarakan di ruang kesehatan.

Segera aku beralih ke meja. Berjalan mengambil gelas bersih diisi air matang dan sendok makan. Serbuk obat aku campurkan ke sendok yang sudah aku isi dengan air. Mengaduk rata obat itu dengan sendok teh. Air ini pun telah menjadi obat.

“Kau bisa duduk?” tanyaku kembali menghampirinya. “Obat ini akan menurunkan suhu tubuhmu. Satu tambahan dari obat ini—tidak memakai sihir.”

Hallow mencoba duduk. Sedikit bantuan dari tanganku, dia berhasil mendudukkan diri. Dia bersandar di punggung kasur yang telah aku beri bantal.

Aku menyuapkan obatku ke mulut Hallow. Setelah dia menenggak obatnya, aku memberinya segelas air.

“Mau pulang sekarang?” tanyaku.

Hallow menggeleng. Ya sudahlah, turuti saja apa yang dia inginkan.

Aku menyeret sebuah kursi, meletakkan kursi ini di samping kasur.

Perutku sudah tidak terlalu sakit. Tapi, aku tidak tahu apa di dalamnya ada perubahan seperti tumbuhnya warna biru ataukah tidak.

Hallow melepas kain basah yang tadi berada di dahinya. Kain itu dia berikan padaku.

“Gatal.”

Alasan itu membuatku tertawa, sedangkan Hallow hanya tersenyum tipis.

“Hallow, kalau misalnya aku buatkan cokelat lagi, apa kau mau memakan cokelatnya?” tanyaku basa-basi.

Dia mengangguk.

Aku menatap datar.

“Begonya kelewatan.”

Setelah mengatakan itu, tidak lama mendadak aku tertawa kencang. Aku dengar Hallow hanya tertawa kecil.

“Sebesar apapun kebegoanku, aku tidak akan pernah menyesali kebegoanku ini.” Hallow meraih tanganku.

Aku membalas menyentuh tangannya, meletakkan tanganku yang satunya di atas tangannya. Mengelus tangannya yang masih terasa sangat hangat. Diam tidak membalas perkataan gilanya. Melihat Hallow sakit, perasaanku sedih dan sedikit kesal, karena dia sakit berkat memakan semua cokelatku. Seharusnya dari awal aku sudah tahu.

“Aku tidak akan membuatkanmu cokelat lagi. Kalau aku tahu kau alergi cokelat, ini tidak akan terjadi,” kataku sambil menunduk.

“Jangan berpikir begitu.” Hallow memindahkan tangannya ke atas tanganku. “Karena cokelat itu, aku jadi bisa merasakan obat racikan Mocca. Aku yakin tidak lama lagi diriku akan segera sembuh hanya dengan sekali meminum obatmu. Aku mendapatkan banyak hadiah dari Mocca.”

“Tentu saja kau akan segera sembuh, Hallow. Tidak lama lagi. Sebab, kau telah menjadi pasienku dan aku adalah doktermu. Dengan mengandalkan dokter sepertiku, kau tidak perlu memanggil dokter lain. Hanya aku yang bisa menghilangkan rasa sakitmu,” imbuhku kembali menegakkan kepala. “Kau melindungiku. Sedangkan aku menyembuhkan lukamu.”

* * *

Besoknya, Hallow kembali sehat sedia kala. Nafsu makannya baik-baik saja. Suhu tubuhnya telah normal kembali. Berkat obatku dan menyuruhnya melepaskan pekerjaan di meja kerjanya untuk sementara, dia pun sembuh. Syukurlah.

Hari ini pelajaran Matematika cukup memakan beberapa lembar buku tugas. Guru Matematika itu menyuruhku membantu membawakan semua buku-buku tugas kelas 2-3 ke ruangannya. Tentu saja aku bersedia membantu.

Langkah guru itu lebih cepat dibandingkan dengan langkahku. Aku lihat ke depan tidak ada guru itu di depanku lagi. Aku tertinggal. Jadi, aku mempercepat langkahku dan tidak sengaja diriku menabrak seseorang yang ada di depan buku yang aku bawa. Semua buku pun bertaburan ke mana-mana.

Entah kenapa, akhir-akhir ini aku selalu saja menabrak orang.

“Astaga! Astaga! Maafkan aku!!” pekik seseorang yang aku tabrak.

Padahal sebenarnya aku yang menabraknya secara tidak sengaja. Laki-laki. Sepertinya aku pernah mendengar pemilik suara ini. Dan menurutku, kata 'astaga'nya lebih baik dibilang satu kali saja.

“Seharusnya aku yang meminta maaf karena aku tidak melihat orang di depanku,” kataku tanpa melihat siapa yang aku tabrak. Sibuk memunguti buku-buku di lantai.

Dia juga ikut memunguti buku-bukuku. Dan sampailah tinggal satu buku yang tersisa, tanpa rencana tanganku dan tangannya memegang buku itu secara bersamaan. Karena penasaran, aku mengangkat wajahku melihat siapa yang membantuku.

Laki-laki ini ... orang yang menyelamatkanku dari siksaan Serta dan Greyina. Aku tidak mengenalnya, namun sepertinya dia masih ingat wajahku. Terlihat dari mata jingga miliknya, terkejut melihatku.

“Ini.”

Dia melepas pegangan dari buku itu setelah cukup lama terdiam.

“Terima kasih.” Aku menerima buku itu. “Sini berikan padaku sisa buku yang kau pungut tadi.”

“Tidak usah, aku saja yang akan membawakan sisanya. Kau tampak kesusahan membawa semua buku ini. Jadi, kau akan membawa buku-buku ini ke mana?”

“Ke ruang Bu Heren.”

“Baiklah. Akan aku bantu.”

“Sekali lagi terima kasih.”

“Sama-sama. Hei, siapa namamu? Kau tampak tidak sekelas denganku.”

Kami berjalan menelusuri koridor sembari berbincang.

“Sepertinya kita memang tidak sekelas. Perkenalkan, namaku Mocca Lixadian, kelas 2-3,” kataku memperkenalkan diri.

“Perkenalkan juga, namaku Mocciyato Zertidian. Dari kelas 2-4. Senang bisa berkenalan denganmu, Mocca. Duh, sepertinya acara jabat tangannya ditunda dulu, deh,” katanya terlihat risih melihat tumpukan buku di tangannya. “Buku-buku ini telah membatalkan acara jabat tangan kita! Sayang sekali.”

Lantas aku tertawa mendengarnya. Dia lucu. Ekspresi sok kesal itu juga menambah rasa geliku.

“Senang juga bisa berkenalan denganmu, Mocci. Haha!”

“Mocci?” ulangnya.

Aku mengangguk. “Namamu Mocciyato, kan? Aku ingin memanggilmu Mocci saja. Boleh, kan?”

Giliran dia yang mengangguk.

“Hehe, biasanya aku dipanggil Yato. Tapi, Mocci juga bagus. Terdengar imut-imut gituuuu.”

Kami terus tertawa sepanjang perjalanan menuju ruang Bu Heren. Kembali ke kelas pun, rasa geli di perutku masih terasa. Karena Mocci, aku jadi melupakan luka yang ada di perutku.

Tawa kecilku tercipta setelah aku mendaratkan diri di kursiku, di mana aku duduk sebangku dengan Hallow.

Hallow melihatku dengan tanda tanya. Melihatku tertawa sendiri, dia pun mengeluarkan pertanyaannya.

“Kenapa tertawa terus?” tanya Hallow to the point.

“Cowok itu ahli sekali berkata-kata lucu. Tawaku sampai susah redanya. Mengasikkan sekali!” jawabku.

Mata Hallow membelalak sebentar. Kemudian menatapku menyelidik.

“Siapa cowok itu? Apa dia tampan dari pada aku? Apa dia sekelas dengan kita? Apa dia suka denganmu? Jawab!” Hallow mendadak memborong pertanyaan yang tidak penting.

Semudah itukah dia cemburu?

“Ya ampun, Hallow, pertanyaanmu terlalu banyak. Satu-satu, dong! Dia Mocciyato. Dia tidak sekelas dengan kita. Dia di kelas 2-4, kelas sebelah. Suka denganku? Aku baru saja berkenalan dengannya di koridor. Dia membantuku membawakan semua buku bawaanku sampai ke meja Bu Heren. Mana mungkin dia suka denganku. Kenapa, Hallow? Kau cemburu?” jawabku diselingi balasan.

“Ti-tidak!” jawab Hallow memutuskan kontak mata dan malah berpaling muka ke depan.

Aku menyenggol lengannya, bermaksud menggodanya untuk mengakui perasaannya yang sebenarnya.

“Benarkah? Terus, kenapa tadi tanyanya begitu? Seolah aku akan selingkuh dengan cowok itu.”

Hallow tetap tidak mau kembali berpaling dariku. Tapi, pipinya merah, tuh, kenapa ya? Hahaha!

“Hallow percaya Mocca tidak akan pernah jahat seperti itu. Dan tentu saja Hallow tidak akan jahat kepada Mocca.”

Hehe, rasanya mau peluk Hallow. Tapi, karena ini di kelas dan banyak sekali saksi mata, hasratku memeluk cowok bego ini biar kusimpan untuk nanti.

🎃 TO BE CONTINUE ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro