Chapter 24 : Hukuman
Hallow's PoV
Selama satu hari ini aku tidak tidur. Kantung mata sama sekali tidak tercipta, namun mataku terasa sangat mengantuk. Aku ingin sekali tidur, tapi ini bukan waktunya untuk beristirahat di kamar. Pada jam yang terlalu pagi ini, aku harus duduk di kursi singgasanaku untuk melakukan salah satu pekerjaanku. Di sampingku, ada satu kursi singgasana untuk Ratu Mixolydian. Kursi itu kini telah diduduki oleh Ratuku, Mocca.
Sejak tadi, Mocca terus memproduksi keringat di pelipis dan lehernya. Di sampingnya, ada Hella yang selalu siap mengelap keringat Mocca. Di sampingku, sudah ada Reo yang juga siap setia melayani dan menjagaku. Aku memegang tangannya yang bertengger di lengan kursinya. Mocca menoleh, menangkap tatapanku.
"Apa perlu pelayan-pelayan lain mengipasimu agar kau tidak berkeringat?" tanyaku.
Mocca menggeleng. "Hehe, tidak perlu mengipasiku. Dielapkan saja aku sudah merasa aneh. Apalagi dikipasi, bisa-bisa keringatku semakin sulit dihilangkan."
"Baiklah kalau kau berkata begitu. Tapi, kalau ada masalah, katakan saja padaku atau Hella," kataku sambil menepuk-nepuk punggung tangannya. "Ini pertama kali kau duduk di sini menjadi Ratuku. Ini baru permulaan. Kalau kita sudah menikah, setiap seminggu sekali kita harus duduk di sini seharian."
"Se-seharian? Hanya duduk di singgasana dalam waktu yang sangat lama? Apa itu pekerjaanmu selama menjadi Raja?" kejut Mocca melebarkan mata dan Hella semakin kerepotan saat Mocca lebih banyak memproduksi keringat di bagian dahi.
Aku mengangguk. "Kau akan terbiasa. Selain duduk, kau juga akan dihadang banyak sekali laporan yang harus disetujui olehmu. Ratu hanya akan menerima laporan sekali dalam seminggu. Sedangkan Raja menerima laporan setiap harinya."
"Terdengar merumitkan. Apalagi denganmu. Kau tidak merasa jenuh? Ah, mungkin tidak, karena kau tahan terhadap hal-hal yang merumitkan seperti soal-soal Matematika yang membuat otakku pusing." Mocca memutar bola matanya.
Aku tertawa. "Maksudmu, aku terlahir pintar? Tapi tetap saja, aku bukan seorang penyihir yang sempurna. Aku harua belajar dari kesalahan yang aku lakukan. Seperti, aku pernah mengatakan, kalau aku tidak akan pernah jatuh cinta dengan siapapun. Tapi ternyata, aku membohongi diriku sendiri."
Aku beranjak sebentar dari kursi. Masih memegang tangan Mocca, aku mencium punggung tangannya yang terasa lembut dan wangi seperti bunga. "Karena dirimu." Aku melepas tangan Mocca dan duduk kembali di singgasanaku, mendengar salah satu prajuritku berucap dengan lantang kalau orang tua Mocca akan segera masuk ke dalam ruangan.
Orang tua beserta adik Mocca berjalan masuk diikuti oleh dua orang penjaga yang aku suruh untuk mengawasi mereka. Sampainya mereka di depan kami dengan jarak yang memisahkan oleh anak tangga, karena peraturannya tidak boleh terlalu dekat berhadapan dengan Raja dan Ratu kecuali atas izin dari kami. Mereka berlutut hormat. Aku mengangkat tanganku menuju pada mereka, bertanda akan memberikan mereka kata.
"Aku Raja Hallow Mixolydian, beserta Ratu Mocca Lixadian yang akan berganti nama belakang menjadi nama keluarga terhormat Mixolydian, telah memutuskan hukuman kalian bertiga. Selanjutnya, akan dibacakan hukuman kalian oleh Reo, pelayan juga penjagaku," kataku lantang, lalu menurunkan tanganku menunggu Reo yang akan melanjutkan.
Reo maju selangkah. Membuka dengan tegas gulungan kertas biru yang isinya akan dibacakan olehnya. Semua diam tanpa ada suara apapun. Reo pun mulai membacakan.
"Orang tua dan anak kedua dari keluarga Lixadian sudah melanggar salah satu hukum yang dibuat dan disepakati baik oleh seluruh kerajaan yang ada di dunia secara tertulis maupun tidak tertulis. Kekerasan pada anak. Maka untuk itu, diadakannya hukuman yang pantas agar tidak mengulangi hal yang sama. Zein Lixadian, Ayah dari Ratu Mocca Lixadian, dan Nethany Lixadian, Ibu dari Ratu Mocca Lixadian, hukuman kalian berdua adalah selama 5 tahun, kalian tidak diperbolehkan bertemu dengan Ratu Mocca Lixadian. Chino Lixadian, anak kedua dan adik Ratu Mocca Lixadian, hukumanmu adalah menjadi pelayan di istana kerajaan Mixolydian untuk selamanya." Reo menggulung kembali kertas biru bertali itu, karena semua isinya sudah dia bacakan. "Terima kasih."
Reo melangkah mundur satu kali, kembali berdiri tegak di sampingku duduk. Setelah Reo membacakan hukuman, aku pun kembali mengeluarkan suaraku dengan lantang.
"Hukuman sudah disepakati dan tidak bisa dibantah dalam bentuk apapun. Jika keberatan, aku dan Ratu Mocca tidak akan menanggapi. Hukuman sudah diringankan dan itu tidak bisa diubah lagi. Hukum yang dilanggar haruslah dibayar dengan hukuman yang setimpal."
Aku beranjak dari singgasanaku. Berjalan menuruni anak tangga kecil dan telah berada di depan ketiga anggota keluarga Lixadian. "Aku perintahkan Zein dan Nethany Lixadian untuk bangkit dari lututan kalian. Lalu, Chino Lixadian, kau menghadaplah pada Ratu Mocca untuk meminta ampun padanya."
Zein dan Nethany Lixadian berdiri dari lututan dan telah menghadap tegak di depanku. Chino berjalan ke depan Mocca yang masih duduk di singgasana dan berlutut meminta ampun. Aku berlutut di depan kedua orang tua Mocca. Penjaga serta pelayan yang melihatku mengeluarkan suara gaduh mereka tatkala terkejut dengan apa yang aku lakukan. Seorang Raja sedang berlutut untuk penyihir biasa yang tak memiliki kepemimpinan besar.
"Orang tuaku meninggal karena penyihir hitam. Aku sangat menyayangi mereka. Kalian terlihat sama seperti orang tuaku. Melihat kalian bersama, aku selalu teringat kedua orang tuaku selalu lekat tak bisa memisahkan. Kekerasan yang aku berikan kepada kalian waktu itu adalah berkat emosiku. Emosi dan sosokku yang dulu membuatku berubah sementara menjadi seseorang yang liar tak terkendalikan. Kalian berdua adalah orang tua Mocca. Kalian melahirkan dan membesarkan Mocca seperti orang tuaku membesarkanku hingga besar dengan kasih sayang. Ini adalah permintaan maaf untuk kalian berdua dariku, Raja kalian. Maafkan aku sudah menyiksa kalian."
"Mohon ampuni kami, Raja. Bangkitlah dan jangan berlutut untuk kami. Kami mohon bangkitlah. Anda yang menerima hormat, bukan kami. Dan jangan meminta maaf," kata Ayahnya Mocca menyuruhku untuk tidak berlutut untuk mereka. "Tidak, Nethany tidak pernah melakukan hal buruk kepada Mocca. Sayalah yang membuat Mocca tersiksa. Saya begitu bodoh membuat anak saya sendiri menderita dari Ayahnya sendiri. Saya sangat malu. Hukuman apapun itu, saya terima dan akan menjalaninya. Saya memohon ampun pada Yang Mulia Raja dan Ratu."
Aku bangkit dari lututanku. Giliran mereka yang berlutut seraya berkata memohon ampun dan maaf atas segala yang mereka lakukan. Kepalaku menoleh sekilas ke arah Mocca yang sedang memeluk adik satu-satunya.
"Yang Mulia Raja, jika kami boleh lakukan, apa saya boleh menyentuh Anda?" tanya Ibunya Mocca.
Aku mengangguk. Nethany beranjak dari lututannya dan meraih kepalaku. Mengecup dahiku hingga aku tak tahu apa yang harus aku katakan. Ini mengingatkanku pada Ibuku. Beliau sangat gemar mencium dahi dan kedua pipiku. Setetes air mataku jatuh. Mengingat sosok lembut Ibuku, bahkan Ibu Mocca sudah terasa seperti Ibuku sendiri. Di tambah lagi, Zein menepuk sebelah pundakku. Aku teringat pada sosok Ayahku yang tegar dan tidak mau menampakkan kelemahan. Zein sudah terlihat seperti Ayahku.
"Jagalah Mocca untuk kami. Buatlah dia bahagia. Dia akan bahagia dengan orang yang dia cintai dibandingkan bersama kami. Dan, jika Chino melakukan kesalahan, hukumlah dia agar dia menjadi orang yang benar seperti Kakaknya. Kami akan menjadi orang tua yang baik untuk kedua anak kami. Hukuman kami adalah kebaikan Anda untuk kami. Kami menyayangi Mocca dan Chino," ucap Ayahnya Mocca.
"Aku sama usia dengan Mocca. Mungkin, terlalu cepat bagiku tidak mempunyai orang tua lagi dan menggantikan mereka memimpin kerajaan. Jadi, aku ingin kalian juga menganggapku sebagai anak kalian," balasku memberikan mereka senyum yang mungkin saja bisa menutupi air mataku ini.
Mereka berdua lantas memeluk tubuhku. Semua penjaga dan pelayanku terkejut. Termasuk Mocca dan Chino. Aku menerima pelukan itu membalas pelukan mereka. Sudah lama sekali aku tak merasakan ini. Kehangatan dari orang tua. Rasanya damai sekali. Apalagi kata-kata dari mereka berdua. Aku menangis lagi tanpa suara.
"Kami menyayangimu."
"Ikut!!!"
Suara dari Mocca dan Chino, membuat kami bertiga melepaskan pelukan dan menoleh ke arah mereka yang sedang menuruni tangga menuju ke arah kami.
"Anak-anakku!" ucap Nethany menangkap mereka ke dalam pelukannya. "Jaga diri kalian, Mocca dan Chino. Ibu dan Ayah menyayangi kalian. Sampai jumpa."
Mocca melepaskan pelukan dan segera menghampiri Ayahnya yang sedang menatapnya dalam diam. Dia berjalan cepat seperti berlari kepada Ayahnya lalu memeluknya. Zein membalas pelukan Mocca.
"Maafkan Ayah, sayang. Ayah .. Ayah gagal menjadi seorang Ayah untukmu. Ayah sangat menyayangimu."
"Mocca sudah memaafkan Ayah. Ayah, Mocca juga menyayangi Ayah. Dari Mocca kecil sampai sekarang, Mocca selalu menyayangi Ayah."
Pemandangan ini membuatku merasa iri. Ayah dan Ibu Mocca masih hidup dalam keadaan sehat sedang memeluk kedua anak mereka. Seandainya Ayah dan Ibuku masih hidup, mereka pasti akan senang dengan orang tua Mocca. Mereka pasti akan banyak bicara dan membuat pembicaraan panjang sampai larut malam. Sayang sekali, mereka tidak mendapatkan peran itu. Mereka sudah tidak ada di sini. Ayah, Ibu, aku harap kalian bisa melihat ini. Orang tua Mocca mengatakan kalau mereka menyayangiku. Apa Ayah dan Ibu juga menyayangiku?
Air mataku tidak bisa berhenti. Hella menyodorkan tisu padaku. Tapi, aku tidak menanggapi tawaran Hella dan malah terasa betah menangis. Rasa sedih dan bahagia tercampur menjadi satu. Begitu anehnya, aku sampai tidak mau menyapu air mataku sendiri.
"Hihihi, ini pertama kali aku bisa melihatmu menangis, Hallow. Kau terlihat menggemaskan."
Hah? Suara itu. Suara dari seorang gadis yang begitu aku kenal. Dua tahun berlalu dan aku mendengar suara itu terdengar olehku lagi. Suara yang hanya bisa didengarkan olehku. Aku pikir, dia tidak akan menggunakan komunikasi batin lagi, karena aku selalu mengabaikan apa yang dia sampaikan padaku. Sangat tidak penting.
Ratu Ferlendian. Dia benar-benar serius. Sejauh ini, sepertinya dia sudah lama memperhatikan gerak-gerikku dari jauh. Atau mungkin, dia sudah mulai menjalankan rencananya yang entah apa.
"Bersiap-siaplah, Hallow. Papan permainanku akan membawamu menuju jalan kematian yang paling indah. Indah kenapa? Karena kau akan mati dengan RATUMU. Ahh, kau pria yang aku cintai. Bagaimana cara aku membunuhmu, ya?"
Astaga, dia sudah tahu kalau aku sudah punya Ratu. Aku terkekeh sambil mengusap air mataku. Berkat kata-kata darinya, tanganku mampu bergerak menghapus air mata. Kembali tersenyum cerah seperti tak habis menangis.
Dia ingin membunuhku dan Mocca? HAHA. Menghibur sekali, Ratu Ferlendian. Aku tak sabar rencana apa yang akan dia lakukan untuk menghancurkan kerajaanku. Kalau begitu, apa aku juga harus menyusun rencana? Terlalu merepotkan. Kalau sampai bertemu dengannya, aku akan langsung membunuhnya saja.
🎃 TO BE CONTINUE ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro