Chapter 21 : Lixadian
Hallow's PoV
Kereta kuda istanaku berhenti tak terlalu jauh di depan rumah sederhana tetapi terlihat kokoh. Atap kerucut yang menjulang tinggi serta beberapa jendela yang salah satunya masih menyala dari dalam rumah tersebut.
Reo keluar dari kereta lebih dulu untuk mempersilahkan diriku keluar dari kereta. Aku pun turun dari kereta dan menyuruh pengendara kereta kudaku untuk memarkirkan kereta kuda ke tempat yang tidak terlalu bisa dilihat oleh orang lain. Walaupun kota ini sudah benar-benar sepi lantaran tengah malam menjadi waktu tidur semuanya, bisa saja ada yang sedang memperhatikan kami. Jadi, aku terus waspada.
"Reo, apa mereka sudah siap di tempat yang aku perintahkan?" tanyaku kepada Reo. Kami masih berada di depan rumah keluarga Lixadian.
"Mereka sudah siap, Yang Mulia. Tinggal menunggu perintah Anda yang selanjutnya," jawab Reo membungkuk hormat padaku.
"Bagus. Misi dimulai." Aku tersenyum tajam dan menyibak jubahku.
Kami melangkah tenang menuju rumah keluarga Lixadian. Sampainya di depan pintu rumah tersebut, Reo mengetukkan pintunya sebanyak 3 kali. 1 menit menunggu jawaban, akhirnya gagang pintu itu sedikit bergetar ditambah suara kunci pintu yang dimasukkan dan memutarnya sebanyak 2 kali.
"Siapa, ya?" Aku sedikit terkejut melihat orang yang membukakan pintu. Aku rasa ini adiknya Mocca. Rambut pirang serta manik mata nila itu tampak sama dengan milik Mocca. Hanya saja, dia laki-laki.
"Selamat malam. Apa ini rumah keluarga Lixadian?" tanyaku ramah dan hangat.
"Iya. Di sini tempat keluarga Lixadian. Ada yang bisa saya bantu? Ayah dan Ibu saya sedang tidur. Saya tidak ingin mengganggu tidur mereka," jawab anak itu disertai pertanyaan.
Aku tidak punya keluarga. Ayah, Ibu, serta adikku mengusirku dari rumah.
Apa adiknya juga menyiksa Mocca? Dari kata-kata yang aku ingat dari Mocca, sepertinya begitu. Berani sekali dia memperlakukan kasar kepada kakaknya sendiri. Untunglah, aku punya banyak rencana untuk membuat keluarga ini meriah.
"Kalau begitu, apa kau mengenal Mocca? Aku dengar, dia tinggal di sini," tanyaku lagi masih dengan senyum palsuku.
"Mocca? Siapa itu? Saya tak mengenal gadis yang bernama Mocca. Di keluarga Lixadian, saya menjadi anak pertama dan terakhir orang tua saya. Lagipula, siapa Anda? Apa yang ada di kepala Anda itu?" jawab anak itu lagi kembali disertai pertanyaan.
"Ah, ini? Ini adalah mahkota kerajaan. Fungsinya untuk menandakan bahwa aku adalah Raja," jawabku sambil menyentuh mahkota di atas kepalaku.
"Apa? Jadi, itu mahkota sungguhan? Aku pikir cuma tipuan untuk mencolokkan diri Anda."
"Ya, tentu saja ini sungguhan, karena aku adalah Raja, semua perintahku harus dilaksanakan dengan baik dan tak ada kesalahan. Kau tidak mengenal Mocca? Ah, anak pertama? Jawaban yang bagus sekali untuk bocah tengik sepertimu, nak," balasku berusaha merendam emosi sembari menghunuskan pedangku di dekat ceruk lehernya. "Ada lagi yang ingin kau katakan untuk Mocca?"
Anak itu sangat terkejut dan takut pedangku berada di dekat ceruk lehernya. Dia tak bisa melarikan diri, karena Reo telah menghalangi pintu dan aku memegang sebelah bahunya agar tidak kabur dariku.
"A-Anda se-sebenarnya si-siapa?" tanya anak itu dengan terbata-bata.
"Kan sudah aku katakan. Aku adalah Raja. Oh! Maksudmu namaku? Perkenalkan, namaku Hallow Mixolydian, seorang Raja Mixolydian yang sangat baik, tapi bisa menjadi jahat jika aku menemukan sesuatu yang tidak aku sukai. Contohnya seperti dirimu. Kau tidak menganggap Mocca sebagai kakakmu. Itu artinya, kau telah merubah diriku menjadi seorang Raja yang jahat. Terima kasih sudah mau berbohong. Kau telah berhasil membangkitkan diriku yang lain," jawabku dengan senyuman yang tidak aku lunturkan sedikit pun.
"Sa-saya mohon ampun, Yang Mulia Raja." Dia bersujud di hadapanku.
"Memangnya aku mau? Kalau kau masih ingin hidup, sekarang juga kau bangunkan kedua orang tuamu dan bawa mereka di hadapanku," perintahku pada anak itu.
Dia bangkit dari posisi sujudnya. Aku sangat kesal melihatnya lamban. "CEPAT!" perintahku lagi lebih keras dari yang tadi.
Dia pun bergerak cepat menaiki anak tangga. Aku pun menunggu kedatangan dia dengan orang tuanya dengan duduk di sebuah kursi empuk yang ada di dalam rumah ini. Reo tetap berdiri di sampingku. Dia tampak mengibas-ngibaskan tangannya padaku, bermaksud mengipasiku.
"Anda berkeringat," kata Reo masih mengipasiku. Aku menatapnya aneh.
"Anginnya sama sekali tidak terasa, Reo. Tidak perlu mengipasiku. Aku sudah cukup sabar sekarang," kataku seraya menyimpan pedangku kembali ke dalam sarung. "Hampir saja aku membunuh adiknya Mocca. Untunglah dia mirip sekali dengan Mocca, jadi aku masih punya hati untuk membiarkannya hidup. Tapi, kata-katanya tadi benar-benar membuatku marah, Reo. Kalau Mocca mendengar itu sendiri, dia pasti sangat sedih mendengar itu dari adiknya sendiri."
"Anda mau minum? Saya akan menyiapkan minuman segar untuk Anda," tawar Reo masih saja mengipasiku.
"Sudah aku katakan berhenti mengipasiku. Kau membuat tenagamu terbuang percuma. Aku tidak perlu minum. Yang aku butuhkan sekarang adalah bertemu dengan orang tua Mocca."
"Itu mereka, Yang Mulia."
Aku tetap duduk di kursi. Membiarkan mereka turun dari tangga begitu lamban. Ya ampun, apa sesusah itu mereka turun dari tangga? Atau akukah yang terlalu mengerikan untuk didekati oleh mereka? Mengesalkan.
Tanganku terulur dan mengangkat untuk mengeluarkan sihirku. Aku membuat meja yang ada di hadapanku melayang. Menggerakkan meja itu menjauh dari hadapanku. Setelah benda pengganggu itu aku jauhkan dan mereka bertiga sudah selesai menuruni tangga, aku memerintahkan mereka berdiri di hadapanku duduk.
Mereka menuruti perintahku dan berdiri di hadapanku beberapa langkah jauh. Secara serempak, mereka berlutut di hadapanku. Aku bisa melihat Ayahnya Mocca. Dia punya rambut hitam, tampak tidak beraturan dan garang. Kemudian Ibunya Mocca. Wanita itu mempunyai rambut pirang yang mencolok sama dengan Mocca, ditambah lagi rambut panjang itu sangat sama dengan Mocca. Dia benar-benar nyaris mirip dengan Mocca, hanya saja matanya berwarna hitam, sedangkan Ayahnya Mocca berwarna nila.
Wanita itu sudah menangis saja tanpa aku apa-apakan. "Mohon ampuni hamba, suami hamba, dan anak hamba, Yang Mulia."
"Aku ke sini bukan untuk memberi ampun kepada kalian. Aku ingin menanyakan banyak pertanyaan kepada kalian. Terutama, tentang anak pertama kalian, yaitu Mocca," kataku mengabaikan kata wanita itu. "Ayolah, kalian santai saja. Duduklah sepertiku di kursi. Tidak perlu terlalu banyak berlutut. Kaki kalian bisa kesemutan."
"Ampuni kami, Yang Mulia," ucap Ibu Mocca lagi memohon ampun kepadaku.
"Nah, jadi, langsung saja, ya. Kalian pasti mengenal anak pertama kalian, kan? Namanya Mocca. Sebelum aku bertemu dengan kalian, anak kedua kalian mengatakan padaku kalau dia tidak mempunyai anggota keluarga yang bernamakan Mocca. Kenapa dia berbohong padaku?" tanyaku mengeluarkan pertanyaan pertamaku.
Mereka bertiga diam dalam lututan masing masing. Tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaanku. Hm, oke, sepertinya aku harus berdiri dari kursiku.
"Hei, kau Ayahnya, kan? Cepat jawab pertanyaanku," kataku berjalan ke arahnya. Merenggut rambut hitamnya hingga wajahnya terangkat menatapku murka. "Hoh, kau berani denganku, ya. Tak apa, itu lebih baik, karena kau akan lebih cepat lenyap dari dunia ini."
"Yang Mulia Raja!!" pekik wanita itu tiba-tiba saja memeluk salah satu pergelangan kakiku. "Ampuni suami saya, Yang Mulia! Saya tidak ingin suami saya mati! Saya tidak ingin suami saya terluka!"
"Oh, jadi, anak pertamamu dibiarkan disiksa oleh kalian dan terluka beserta hatinya pun juga ikut terluka, begitukah? Penyihir zaman sekarang benar-benar pintar dalam urusan membesarkan anak," ucapku dengan senyumanku yang masih terjaga sembari berusaha menyingkirkan wanita ini dari kakiku. "Hei, kau menodai kakiku. Lepaskan sekarang juga atau aku tendang kepalamu."
"Anda mengatakan kalau kami menyiksa anak kami sendiri? Anda bahkan tak punya bukti!" protes Ayah Mocca berdiri dari lututannya.
Aku terdiam sebentar. Tapi, aku tahu apa yang harus aku balaskan. "Ah, benar juga, sih, aku tak punya bukti. Tapi, aku sebenarnya ke sini bukan untuk mengurusi kalian. Aku hanya ingin menanyakan apa Mocca berada di rumah kalian?"
"Dia kabur dari rumah karena dia membenci kami," jawab Ayah Mocca sambil menunduk. Wow, dia juga seorang aktor yang hebat.
"Benarkah? Lalu, aku dengar, ya, Mocca tidak punya kekuatan sihir. Jadi, dia hanya manusia biasa yang tak punya satu pun sihir. Benar?"
"Benar, Yang Mulia. Mocca tak memiliki sihir. Lalu, apa tujuan Anda ke sini? Menangkap kami bahwa kami sudah melakukan penyiksaan terhadap anak? Itu tidak benar, Yang Mulia. Kami tidak bisa menyiksa anak kami sendiri. Apalagi istri saya sama sekali tidak melakukan kekerasan apapun terhadap anak kami."
"Ya, aku lihat kalian terlihat tidak tega untuk menyiksa anak kalian. Oh iya, karena benar Mocca tidak ada kekuatan sihir dan dia tidak ada di sini, itu artinya aku telah menangkap orang yang tepat."
"Apa?" Ayah Mocca menatapku kaget.
"Kenapa Anda menangkap Mocca, Yang Mulia? Apa salah anak saya?? Tolong lepaskan dia, Yang Mulia. Dia masih perlu banyak belajar untuk mengenal dunia. Saya sebagai Ibu kandungnya tak akan tega membiarkan anak saya dikurung di dalam sel penjara. Saya mohon, Yang Mulia. Bebaskan Mocca." Ibu Mocca masih saja memeluk kakiku.
"Aku tak akan membebaskan dia," balasku menunduk melihat Ibu Mocca di bawahku masih bertahan memintaku untuk memberikan ampun dan kebebasan anaknya. Aku masih tidak percaya, tapi sepertinya dia tidak pernah menyakiti Mocca. "Aku akan memberi anak pertama kalian hukuman, karena yang dikatakan suamimu sudah tentu pasti benar."
"Saya setuju, Yang Mulia! Kalau bisa, hukumannya diperpanjang menjadi seumur hidup atau hukuman mati saja! Mocca sudah mempermalukan kota Mejiktorn dan keluarga Lixadian. Dia tak pantas menjadi anakku!" Kata-kata Ayah Mocca salut membuatku tersenyum lebar.
Akhirnya, dia mengatakan hal yang sedari tadi aku tunggu-tunggu.
"Tahan mereka."
Tiba-tiba aku memberikan sebuah perintah. Aku menunjuk ketiga anggota keluarga Lixadian, terutama Ayahnya Mocca. Para prajurit yang aku tugaskan untuk ikut ke dalam misiku ini sudah bersiaga di luar rumah menunggu perintahku. Mereka masuk ke dalam rumah ini mendengar perintahku keluar. Mata mereka melihat tunjukanku dan langsung menahan mereka bertiga.
"A-apa yang Anda lakukan? Kenapa menangkap kami juga??" tanya Ayah Mocca meminta penjelasan.
Aku tertawa puas dengan rencanaku yang sukses berhasil memasukkan mangsaku ke dalam jebakan. "Ah, kau belum mendengarkan hukuman apa yang akan aku berikan pada Mocca. Hukumannya adalah dia akan menjadi milikku seutuhnya. Tak ada yang bisa memilikinya untuk mendapatkan cintanya, kecuali aku. Aku mencintai Mocca. Dan tidak lama nanti, aku akan menikah dengannya. Bagaimana? Apa kalian berubah pikiran tentang kejahatan kalian terhadap Mocca? Haha! Oh iya, dia sudah punya sihirnya sendiri, lho!"
"Ampuni kami, Yang Mulia. Ampuni kami," ucap Ibunya Mocca lirih masih betah meminta ampun, walaupun sudah ditahan oleh prajuritku.
Aku memasang wajah datarku. Melunturkan senyumanku, karena aku sudah lelah tersenyum kepada mereka. Benar-benar membuang waktu saja mengurus mereka. Kalau mereka tidak menyiksa Mocca, aku tidak melakukan hal seperti ini kepada mereka. Sesuai hukum yang ada, aku harus memberikan mereka hukuman.
"Nah, hei kalian, singsingkan celana kedua orang ini sampai menyentuh lutut," suruhku kepada tiga prajurit menunjuk ke arah Ayah dan adik Mocca.
"Baik, Yang Mulia," jawab mereka bertiga yang tidak mendapat bagian untuk menahan anggota keluarga ini. Mereka melakukan apa yang aku perintahkan. "Sudah, Yang Mulia."
"Yah, lengan baju kalian pendek, jadi tidak perlu disingsing. Oke, lalu, bukakan baju mereka berdua," suruhku lagi. "Aku ingin menghukum kalian sekarang juga. Mungkin akan sedikit terasa sakit. Nanti juga akan hilang. Reo, di mana cambukku?" Aku menoleh kepada Reo.
"Ini cambuk Anda, Yang Mulia." Reo memberikan cambukku yang sudah lama sekali tak digunakan.
"Ah, kalian pasti senang sekali sedang bicara dengan calon menantu kalian, bukan? Sayangnya, kalian itu menyebalkan." Tanganku mengangkat yang tengah memegang cambuk, segera mencambuk mereka satu per satu. "Hei, kau telah membuat Mocca menderita. Apa kau sudah gila? Itu anakmu! Apa kau buta??"
TAAKK!!
Suara cambukanku yang mendarat kencang di bawah kaki pria dewasa ini dan keluarnya garis merah pada kedua kakinya. Lalu, aku berjalan menghadap adiknya Mocca.
"Siapa namamu, nak?" tanyaku kepada adiknya Mocca.
Dia menunduk takut tidak berani bertatapan denganku. Air matanya turun begitu deras. "Na-nama saya Chino, Yang Mulia. Yang Mulia boleh menghukum saya. Hukum saya sebanyak-banyaknya. Saya telah berani dan membuat Kakak tersiksa. Saya .. menyesal."
"Menghukum kau sebanyak-banyaknya? Dengan senang hati!"
TAAKK!!
Sama dengan nasip Ayahnya, dia juga terkena cambukanku. Tapi, karena dia telah menyesali perbuatannya, aku akan mengurangi cambukanku. Mungkin sisanya, dia akan menjadi pelayanku saja. Setelah mengurus adik Mocca, aku berjalan ke hadapan Ibunya Mocca.
"Saya ... saya tidak pernah menyiksa anak saya sendiri, Yang Mulia. Saya tidak akan tega melukai anak saya sendiri. Ampuni saya, Yang Mulia. Suami saya dan Chino juga. Ampuni kami, Yang Mulia," kata Ibunya Mocca terus-terusan meminta ampun. Melihatnya menangis begitu, rasanya jadi semakin terlihat mirip dengan Mocca. Ini membuatku sulit untuk mencambuknya.
Aku memberikan cambukku kepada Reo. "Pegang ini." Lalu aku kembali menatap pupil nila itu. "Kau tidak menyiksa anakmu. Tapi, kau membiarkan dia tersiksa oleh penderitaannya. Maaf."
PLAK!!
Sebuah tamparan kencang dariku melesat ke sebelah pipinya. Dia menangis dan masih berkata meminta ampun. Sementara itu, aku menyuruh dua prajuritku untuk mencambuk Ayah dan anak itu, melanjutkan hukuman kepada mereka.
"Ini hanyalah hukuman yang biasa. Untung saja kalian yang membuat Mocca ada. Jika bukan, kalian sudah aku bunuh sejak tadi. Ah, tugasku telah selesai. Oh iya, masih belum selesai. Kalian harus meminta ampun di hadapan Mocca. Menunduk, membungkuk, ataupun berlututlah padanya, karena sekarang dia adalah RATU kalian. Terima kasih sudah membuat Mocca ada dan menjadi milikku. Setelah menikah nanti, kami pasti akan memberikan kalian cucu yang banyak sekali." Aku berjalan keluar lebih dulu dari rumah keluarga Lixadian dan masuk ke dalan kereta kuda. Sisanya aku serahkan kepada Reo dan yang lainnya.
Aku menguap lebar. Mataku mengantuk sekali. Urusanku hari ini sudah selesai. Mocca, sesuai janji aku akan pulang ke istana dan kembali padamu untuk tidur bersamamu. Tunggu aku, Mocca.
🎃 TO BE CONTINUE ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro