Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 3 - Cahaya Berkobar

Pengunjung C: "Karena itu merupakan sekolah untuk golongan berdarah biru, aku yakin, satu-satunya alasan dia bisa menjadi jenderal di usia muda karena jenderal tua itu menyalahgunakan wewenangnya."

Pengunjung D: "Aku tidak akan berpikir begitu. Lagipula, Jenderal Li Muda pernah memimpin pasukan mengepung bangsa iblis. Dalam hitungan hari, dia telah menang dengan gemilang. Hari ketika dia pulang, ada banyak orang menyambut dia di gerbang. Apakah itu yang disebut menyalahgunakan wewenang?"

Pengunjung C: "Jika dia memang sehebat yang kaubilang, lalu mengapa dia meninggalkan tugasnya lalu berubah menjadi iblis? Kurasa, dia hanya mengejar kekuasaan, tak peduli berapa harga yang harus dibayarkan!"

Semua orang mulai berspekulasi tapi tak dapat mencapai titik temu. Satu persatu, mata mereka kembali tertuju pada si pendongeng.

Pendongeng: "Ceritanya belumlah usai. Pendengar yang terhormat, izinkanlah aku melanjutkan .... "

"Apakah kau mendengarnya? Jenderal Li Muda telah membawa kemenangan besar pada pasukan kita!"

Berita kemenangan itu menyebar di Kota Yan seperti wabah. Seluruh kota bergembira ria. Ketika pasukan kembali ke kota, dengan penduduk pergi berduyun-duyun ke gerbang kota untuk menyambut.

Sejak fajar, gerbang kota sudah penuh sesak. Di kerumunan, orang berdiri berjinjit, berusaha memanjangkan leher, berharap dapat melihat sekilas rupa sang jenderal muda kesatria ini.

Penduduk B: "Jenderal muda ini benar-benar bak buah jatuh tak jauh dari pohonnya! Suatu hari nanti, dia mungkin bisa melebihi sang jenderal tua!"

Penduduk A: "Di samping prestasi militernya, kurasa jika menyangkut kekuatan gaib, dia bahkan bisa disandingkan dengan para Master Gaib Kerajaan yang sombong itu!"

Penduduk: "Tunggu, aku baru sadar kalau sang jenderal tidak pernah terlihat saat Upacara Fuyin beberapa tahun belakangan ... Oh!!! Lihat!!! Mereka memasuki gerbang kota!"

Kalimat ini disusul oleh seru-seruan meriah pecah membahana seperti tetes air berjatuhan di atas minyak panas.

Hari ini, Kota Yan terlihat sibuk seperti biasa.

Anak Muda: "Pak Jiang!"

Baru saja Pak Jiang membuka tirai kedai tehnya, seseorang sudah menyerbu masuk.

Pak Jiang terkejut. Yang datang adalah anak lelaki tukang roti di depan.

Pak Jiang: "Ada apa grasa-grusu sekali ke sini, Bocah Cilik? Bukankah seharusnya kau bergabung dengan kegembiraan jalan depan?"

Anak muda itu menggeleng prihatin. Dia membuka mulut, tapi berhenti. Ketika dia melihat senyuman pak tua di depannya itu, wajahnya mulai memucat.

Anak Muda: "Aku punya surat untukmu. Kau bisa membacanya sendiri!"

Dia menaruh surat ke tangan Pak Jiang dengan buru-buru, lalu berbalik pergi. Ketika dia mencapai pintu, dia berbalik karena hatinya tak tahan lagi.

Anak Muda: "Turut berduka cita."

Malam itu, restoran terbaik di Wisma Tiga Mimpi penuh hingga semua bangku terisi. Semua orang bersenang-senang dengan meriah.

Para prajurit pemenang memperagakan berapa banyak mereka bertarung dan para pengunjung lain akan menyemangati mereka agar bercerita lebih banyak lagi.

Prajurit: "Dalam sekejap mata, sang jenderal seorang diri menembus pertahanan musuh .... "

Pengunjung A: "Apakah kau melihat raja iblisnya? Apakah dia seekor monster seperti yang diceritakan di buku-buku cerita?"

Prajurit: "Raja iblis itu bahkan tidak menampakkan batang hidungnya!"

Pengunjung A: "Sepertinya raja iblis itu tak perlu ditakuti! Seperti kura-kura yang takut mengeluarkan kepala dari tempurung saja!"

Keramaian itu penuh obrolan bersemangat, tapi, seseorang kemudian menyelak dengan dingin.

??: "Zhang Laosan! Setiap hari kau hanya memasak nasi di dapur belakang. Memangnya berapa kali kau turun bertempur, menghunus pedangmu, atau menumpahkan darah?"

Prajurit: "Yu Gui! Hari ini hari yang baik! Kau jangan merusak suasana lah!"

Prajurit itu dengan canggung mencoba membujuk dan memberi salam pada Yu Gui dengan menuangkan arak pada perempuan itu.

Prajurit: "Oh iya, kau melihat sang jenderal bukan? Apakah dia hadir dalam perjamuan istana?"

Perempuan itu menggerakkan kepala dengan enggan.

Yu Gui: "Tidak tahu."

Saat bulan melintasi tengah langit, suara-suara kegembiraan pesta pora perlahan-lahan memudar hingga lenyap sama sekali.

Li Zeyan keluar dari gerbang istana. Koridor di belakangnya dihias semarak dan penuh cahaya berkilauan. Pandangannya tertuju ke jalan dan melihat cakrawala yang disinari cahaya redup.

Di luar gerbang kota, beberapa li di sebelah barat, ada sisi gunung yang berisi kuburan-kuburan terabaikan.

Li Zeyan maju mengikuti arah angin, memperhatikan nama-nama di nisan satu persatu. Beberapa nama asing, beberapa nama akrab.

Dia hanya tidak tahu, setelah arak-arakan tempo hari, ada berapa banyak nama orang ditambahkan ke sini.

Di dalam kedalaman hutan yang gelap, tiba-tiba terdengar suara ratapan dan isakan renta. Li Zeyan melihat arah suara dan menemukan seorang lelaki tua beruban.

Lelaki tua itu membawa sekeranjang uang arwah, sekeranjang buah-buahan segar, dan sekendi arak. Dia berbicara sendiri di sebelah satu kuburan baru.

Lelaki Tua: "Bahkan di dalam mimpi pun, aku tak pernah membayangkan yang berambut putih akan memakamkan yang berambut hitam."

Suara gemerisik datang dari belakangnya. Lelaki tua itu berbalik dan melihat seorang pemuda berdiri di sana.

Li Zeyan: "Saya hanya lewat untuk mengunjungi seorang teman lama, tidak bermaksud mengganggu."

Lelaki tua itu memandang pemuda di depannya dengan takut-takut. Pemuda ini paling usianya dua puluh lebih sedikit. Baju zirah dari peperangan belum dia tanggalkan. Namun, maksud kedatangannya kira-kira bisa diketahui.

Lelaki Tua: "Kau datang untuk mendoakan para prajurit ini juga? Lalu, apakah kau pernah melihat putraku?"

Dia mengusap air matanya lalu menunjuk nama yang tertulis di nisan. Dia bisa melihat wajah pemuda itu menggelap. Pemuda itu terdiam beberapa saat, lalu menggeleng dengan penuh penyesalan.

Lelaki Tua: "Ah, aku ini orang tua yang pikun ... sebegitu banyaknya pasukan, bagaimana bisa semua mengenal satu sama lain?"

Lelaki Tua: "Nak, siapa yang kau kunjungi?"

Li Zeyan: "Beberapa kawan yang berprinsip sama."

Lelaki Tua: "Tadinya, waktu mendengar kalian semua menang, aku begitu senang. Aku bergegas ke restoran dan memesan tempat untuk pesta, menyiapkan makan malam besar untuk anak bodohku. Siapa sangka .... "

Seperti sedang berusaha memberi lelaki tua itu ketenangan, Li Zeyan membiarkan lelaki tua itu bercerita tak putus-putus. Dia mendengarkan dalam diam, tak sedikit pun memotong.

Lelaki Tua: "Jika semua iblis sudah musnah, aku akan beristirahat dalam kedamaian. Apakah kau akan mengatakan hal itu?"

Li Zeyan: "Kalau dalam pandangan saya, pembantaian tidak akan membawa kedamaian di antara dua bangsa."

Lelaki tua itu memandang dengan pandangan heran.

Lelaki Tua: "Memangnya kalau bukan dimusnahkan, kau berharap bisa membuat bangsa iblis lebih beradab? Membuat mereka paham prinsip moral dan keadilan? Kulihat cara bicaramu ini tidak berakal, seperti bukan orang yang terpelajar. Kau boleh memiliki ide-ide yang tidak konservatif, tapi kau tidak seharusnya menjadi seseorang yang begitu naif! Apakah kau sedang mencoba mengatakan kalau para prajurit di medan perang itu pantas mati di tangan bangsa iblis?"

(Li Zeyan tidak menjawab untuk menghindari perdebatan)

Lelaki tua itu akhirnya sadar sedang bicara sendiri dan mulai batuk-batuk.

Li Zeyan meraih tangan lelaki tua itu dan menepuk-nepuk punggungnya. Setelah beberapa saat, napas lelaki tua itu mulai stabil dan ekspresinya menunjukkan duka.

Lelaki Tua: "Putraku meninggal di medan perang. Aku mungkin dalam perkabungan. Namun, aku tahu dia gugur demi kerajaan ini. Itu adalah kematian yang heroik. Kulihat, pakaian perangmu ini bukanlah pakaian perang biasa. Aku menebak kau tidak bertugas di garis depan. Ada berapa banyak kuburan di sini yang hanya berisi pakaian karena pemiliknya tak pernah pulang? Pada akhirnya, tulang belulang mereka pun tidak ada."

Lelaki Tua: "Manusia adalah manusia. Dan iblis adalah iblis. Mereka itu tak memiliki hati, takkan mungkin merasakan duka kita!"

Li Zeyan perlahan mengambil selembar uang arwah lalu menaruhnya ke dalam api.

Li Zeyan: "Saya baru berusia lima belas tahun saat mengikuti ayahanda saya ke medan perang. Kami terkepung musuh saat itu dan saya nyaris kehilangan nyawa. Prajurit-prajurit yang gugur itu, ada yang sebaya, ada yang seperti saudara tua. Namun, setelah perang itu, banyak dari mereka tak bisa kembali."

Li Zeyan: "Sebelum berangkat, banyak orang tersenyum dan mengatakan kalau kami harus menyerbu balik, untuk menebus kekalahan kami. Saya dulunya berpikir sama, tapi, setelah itu, saya tak bisa berpikir seperti itu lagi. Perang sulih perang, darah ganti darah, itu takkan pernah berakhir."

Lelaki tua itu terenyak dan diam sesaat. Namun kemudian, ekpresinya diwarnai kekecewaan.

Lelaki Tua: "Kau ... yang kaukatakan itu hanya omongan besar yang terdengar hebat dan mulia! Memangnya siapa yang tak ingin hidup dalam hari-hari tenang dan aman? Tapi, iblis-iblis itu terus menerus menyerang! Memangnya kita--manusia ini ada salah apa? Sudahlah! Aku harus pergi. Orang-orang berkata kalau mereka yang ingin berangkat ke langit ini tak boleh bertemu keluarga mereka di dunia. Kalau bertemu, akan jadi tak rela meninggalkan. Jika membiarkan dia melihatku, dia takkan bisa terlahir kembali menjadi manusia."

Suara lelaki tua itu melemah. Li Zeyan berdiam diri melihat lelaki tua itu pelan-pelan menghilang di jalan yang menurun.

Di atas langit hanya ada rembulan sebatang kara, angin malam meniupkan keluh kesah.

Tiba-tiba, dari dadanya seolah muncul gelombang air berpusar-pusar. Energi penuh kekacauan yang bersiap menelan kesadarannya.

Li Zeyan mengertakkan gigi dan rasa darah menyebar dalam mulutnya sementara tubuhnya gemetar tak terkendali.

Selang beberapa saat, gelombang membara itu sirna.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro