Bagian 1 - Angin dan Hujan
Senja yang ceria. Seisi Wisma Tiga Mimpi sedang bersuka ria. Beberapa puluh langkah dari gerbang, di bagian kanan, ada sebuah kedai teh kecil. Sebuah tirai usang tergantung di pintu masuk, terlihat sangat tidak menarik di tengah bagian kota yang hiruk pikuk.
Setidaknya, harga teh di sana murah. Jadi, kedai itu menarik beberapa pengunjung masuk mengistirahatkan kaki beberapa saat.
Hari ini, sekelompok kecil pengunjung duduk di meja-meja kedai. Seorang pendongeng berambut dan berjenggot putih memindai sekeliling. Dia mengambil tongkat kayu pir lalu mulai mengetuk-ngetuk bagian atas meja.
Pendongeng: "Kisah hari ini tentang Perang Jembatan Linyuan dari tahun ke-112 Xiyue .... "
Sebelum pendongeng itu melanjutkan, dia disela oleh pegawai kedai yang lewat.
Pegawai Kedai: "Dengar aku, Pak Tua, kalau aku tidak lupa, aku sudah mendengar cerita ini ratusan kali, kalau bukan ribuan kali. Masa kau tak lelah menceritakannya? Di seluruh wilayah Kota Yan, siapa yang tak tahu tentang Raja Iblis picik nan keji itu! Kau kan punya ratusan cerita untuk dipilih. Kau tak harus menceritakan kisah yang sama berulang kali!"
Pendongeng: "Nah, kalau ada ratusan cerita lain di kota ini, kau juga tak perlu ikut mendengarkan kisah ini."
Pegawai Kedai bergeming. Dia memutar mata lalu kembali ke posnya untuk menjalankan bisnis.
Setelah mendengar percakapan mereka, beberapa pengunjung itu tampak sedikit penasaran.
Pengunjung: "Ini pertama kalinya saya datang ke Kota Yan. Saya hanya mendengar sedikit nukilan dari kisah ini. Bapak bisa menceritakannya untuk kami, para pendatang ini."
Sang Pendongeng mengangguk, membasahi bibirnya, lalu mulai bercerita ....
Pendongeng: "Alkisah, ada banyak pemuda-pemudi berbakat di Kota Yan. Jika kau berjalan seraya menyebutkan satu persatu, dari bagian teratas Jalan Langit Jiuhua, kau akan sampai di ujung jalan sebelum kau selesai berhitung .... "
🔥🔥🔥
Pagi jelang siang. Sebuah kereta kuda meluncur di sepanjang Jalan Langit Jiuhua. Kereta itu melewati beberapa jalan dan gang sebelum berhenti di sebuah bangunan tersembunyi. Bagian-bagian berdinding tinggi menghalangi tempat itu dari dunia luar, hanya menyisakan celah sempit yang menampakkan biru langit di atas kepala.
Li Zeyan mengikuti ayahandanya ke luar kereta. Sebuah suara bernada rendah tiba-tiba terdengar di telinganya.
?? : "Sang Jenderal, ada di sini, di Kota Yan! Sungguh lebih jarang dari pertapa yang turun gunung!"
Ayahanda Li Zeyan: "Aku sudah pensiun di rumah selama bertahun-tahun sekarang. Hanya tahu sedikit-banyak tentang apa yang terjadi di pemerintahan. Terima kasih sudah mengingatku, Tuan Yang Baik."
Pria paruh baya yang datang menyambut mereka tersenyum. Lalu, pandangan tajamnya tertuju pada pemuda di belakang, menyidik.
??: "Silakan ikut saya."
Pintu tertutup pelan di belakang mereka. Li Zeyan mengikuti Sang Ayahanda dengan tenang seraya memerhatikan sekeliling.
Cahaya dari luar ruangan terhalang sepenuhnya. Hanya ada sedikit cahaya dari suluh di dinding, menerangi ruangan rahasia yang terkunci ini. Li Zeyan telah terlatih dalam militer dalam waktu lama. Namun, dia tak pernah mendengar Ketentaraan memiliki bagian seperti ini.
Ayahandanya membawa Li Zeyan ke mari agar Li Zeyan bisa membiasakan diri dengan struktur dan denah organisasi. Dengan begitu, dia bisa mengambil alih tanggung jawabnya.
Pria itu bicara dengan Ayahanda Li Zeyan dengan suara yang kecil seraya berjalan bersama. Ayahanda Li Zeyan sesekali berdeham sebagai respons, tapi, tak memberi jawaban pasti.
Mereka mencapai sebuah pintu. Pria itu seketika berhenti lalu melirik Sang Ayahanda.
??: "Jenderal, saya mengerti pertimbangan Anda akan hal ini. Akan tetapi, ada hal yang saat ini sebaiknya tidak diperlihatkan kepada seorang anak bujang."
Sang Ayahanda berhenti sejenak lantas mengangguk ringan.
Ayahanda Li Zeyan: "Baiklah. Kau tunggulah di sini sebentar."
Li Zeyan mengiyakan lalu menunggu di sana, sementara ayahandanya dan pria itu menghilang di koridor panjang menurun.
Walaupun di luar sana penjagaan sangat ketat, di sini malah tidak ada satu penjaga pun. Rasanya suasana menjadi hening mencekam.
Dalam keheningan ini, tiba-tiba, Li Zeyan mendengar suara gedebuk.
Sebuah obor dinyalakan. Dari belakangnya timbul suara teredam. Tidak jelas ada mekanisme apa yang sedang dijalankan, tapi, pintu yang mulanya terkunci kini mulai terbuka, menampakkan sebuah jalan rahasia.
Dia bergeming sesaat, lalu maju melangkah.
Bau busuk menguar dari celah di tembok ke udara. Hanya beberapa lilin kecil bersinar redup.
Suara gedebuk semakin terdengar intens dari waktu ke waktu, diselingi suara isak kesakitan.
Li Zeyan terus maju hingga menemukan pintu sempit di ujung jalan tadi. Dia menahan napas, mendekat seraya memegang lilin di tangan.
Pintu ini tampaknya dipasang sangat erat di tembok. Semakin dekat ke pintu, dia melihat sebuah lubang kecil di tengah.
Melalui lubang itu, dia melihat sosok seorang lelaki muda.
Lelaki muda itu kurus kering, tangan dan kakinya terbelenggu. Setiap kali dia bergerak, rantai-rantai akan menimbulkan suara gemerincing samar. Baju kumalnya penuh bercak darah layaknya seekor hewan yang meregang nyawa.
Di sudut ruangan tersebut terserak serpihan batu Yin, yang bersinar dengan dingin.
Li Zeyan mengamati semua ini. Aliran darahnya seorang terhenti dan rasa dingin menjalar di sekujur tubuhnya.
Dari koridor lalu terdengar suara langkah terburu-buru.
Li Zeyan tersadar kembali dan berbalik ke jalan rahasia tadi. Dia melalui jalan di depan pintu sementara jantungnya mulai berdetak dengan normal.
Suara percakapan kacau balau terdengar mendekat, sepertinya tengah terjadi perdebatan.
??: "Orang-orang itu memiliki kekuatan Yin dalam tubuh mereka. Jika mereka ingin menggunakan kekuatan itu untuk melenyapkan kekuatan kita, itu bukanlah hal yang mustahil dilakukan."
??: "Hm! Selama mereka tidak tahu Sang Cenayang hanyalah pengecoh, biarkan saja!"
??: "Yah, dan di mana 'bejana' itu disimpan sekarang?"
Orang-orang itu kini turun tangga. Li Zeyan menahan napas dan bersembunyi dalam bayang-bayang. Syukurlah, dua orang itu tidak menyadari kehadirannya dan hanya lewat dengan buru-buru.
Setelah beberapa saat, koridor itu hening lagi. Memikirkan apa yang baru dia dengar dan apa yang baru dia lihat, hatinya jadi terguncang.
Sementara dia berjalan ke luar bagian ketentaraan tadi, mungkin karena cahaya di dalam penjara begitu redup, saat menengadah, dia merasa langit biru begitu terang.
Di sepanjang perjalanan pulang, Li Zeyan terus menutup mulut. Ayahandanya melihat dia yang membisu dan berpikir pastilah telah terjadi sesuatu.
Ayahanda Li Zeyan: "Aku membawamu kemari jadi kau tahu kalau kau akan menghadapi hal yang pernah kuhadapi ini, cepat atau lambat. Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, utarakanlah dengan terbuka."
Li Zeyan bergeming beberapa saat.
Pemuda Li Zeyan: "Apakah Ayahanda sedang mengatakan kalau aku akan mengatur segala hal ini seperti yang Ayahanda dan lainnya lakukan?"
Sang ayahanda agak terkejut. Dia bisa mendengar nada sarkastis dalam nada suara putranya. Kilat emosi kemudian terlihat di dalam mata sang ayahanda.
Ayahanda Li Zeyan: "Aku tidak tahu apa yang kaulihat tadi, tapi, aku yakin itu adalah hal yang sulit kauterima. Ada banyak hal yang mendatangkan penyesalan di dunia. Hal-hal yang tak mampu kita ubah karena kita tak berdaya. Yang bisa kulakukan hanyalah bersikap tak melihat maka tak tahu (= membiarkan saja walau melihat kejadiannya)."
Pemuda Li Zeyan: "Namun melihat kelakuan mereka ini, benarkah Ayahanda mampu duduk tenang tanpa melakukan apapun?"
Li Zeyan bersikukuh menentang ayahandanya.
Pemuda Li Zeyan: "Sejak Ayahanda menjejakkan kaki ke dalam tempat tanpa cahaya itu, langkahmu telah terjegal."
Ayahanda Li Zeyan: "Saat seumurmu, aku juga punya banyak aspirasi aspirasi mulia, sama sepertimu. Sayangnya aku terpaksa berbalik arah. Aku tak mau kau mengambil jalan yang salah."
Sang Ayahanda berkata-kata dengan wajah penuh beban. Ada wibawa tak terbantahkan dalam setiap suku kata.
Ayahanda Li Zeyan: "Jadi, jelaskan padaku. Apa yang bisa kaucapai dengan tanganmu sendiri?"
Suara Li Zeyan lambat-lambat terdengar dari belakang. Ringan dan tegas. Tetap stabil, tak tergoyahkan.
Li Zeyan: "Ayahanda, aku takkan melangkah di jalan mereka, tak pula jalanmu."
Ayahanda Li Zeyan menggerakkan kepala dan mengamati putranya. Tiba-tiba, dia merasa putranya ini memiliki ketajaman dan ketegasan yang tak dapat disandingkan dengannya.
Suara desahan berat terdengar di jalan terpencil itu. Mereka pun menghilang ke dalam deru angin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro