Bagian 1 - Getaran Nada
Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat. Seiring suara seruling terdengar, senjakala pun tiba. Dari kejauhan, pohon-pohon beringin tinggi lebat bagaikan barisan awan bertumpuk-tumpuk. Di antara pepohonan itu, duduklah seorang pemuda berambut perak. Kakinya bersilangan, dia bersandar di batang pohon. Rambutnya berkibar-kibar tertiup angin.
Embusan angin hangat melintas di antara ladang gandum subur. Gelombang demi gelombang tercipta oleh rumpun yang meliuk-liuk, sementara aroma wangi terbawa ke udara.
Pemuda itu lanjut meniup cincin seruling di tangannya. Matanya menerawang kejauhan, seolah-olah sedang mencari sesuatu di antara gelombang-gelombang gandum.
(Cincin seruling, foto by pinterest)
Melodi yang mulanya tercerai-berai kini mulai berbentuk. Namun kemudian, ingatannya gagal lagi. Nada-nada itu kembali tak terjangkau olehnya.
Di suatu tempat, di suatu masa, entah kapan, ada orang lain yang memainkan nada-nada yang sama. Sang pemuda mengerutkan alis, tak berhasil mengingat siapakah orang itu.
Saat itu juga, melodi dari serulingnya tiba-tiba terhenti.
Melodi dari hari-hari dahulu itu telah terkerat pupus bersama masa lalu yang melenyap.
🎶
Tahun ke-105, penanggalan Xiyue. Saat itulah aku bertemu dengan seorang anak lelaki berambut emas di Jalan Langit Jiuhua. Saat itu, dia sedang dirisak oleh segerombolan anak yang lebih tua. Dia bertubuh kurus dan kecil. Usianya kira-kira sebaya denganku. Wajahnya kotor oleh lumpur dan jelaga. Meski demikian, garis-garis elok wajahnya masih terlihat. Aku tak tahu di dunia ini bisa ada anak lelaki setampan itu. Itulah kesan pertamaku tentangnya. Biarpun orang luar daerah bukanlah hal baru di Kota Yan, ini pertama kalinya aku melihat anak lelaki seperti dia, yang rupawan bak boneka.
Anak Gelandangan: "Hei, Bocah Tengik, di mana sisa uang itu?"
Anak yang sedikit lebih tua memiting tangan seraya menjambak rambut anak lelaki tadi. Anak berambut emas itu mengernyit menahan sakit. Namun, dia tak bersuara sama sekali. Reaksi ini jelas menyinggung anak-anak lebih besar tadi. Satu dari mereka mengangkat tinju dan bersiap mengayunkannya. Di sisi lain, anak berambut emas tadi sedikit pun tak berniat menghindar. Dia hanya mengangkat kepala tinggi untuk menantang.
Youran: "Lepaskan dia!"
Suaraku menarik perhatian beberapa pasang mata. Mereka langsung mengalihkan pandangan kepadaku. Anak lelaki berambut emas memandangku dan pandangan kami bertemu. Manik mata biru bagaikan permata itu sedikit membuatku terkesima.
Anak Gelandangan: "Ini bukan urusanmu! Pergi! Pergi!"
Aku hendak mendebat anak itu. Namun, saat itu kulihat mangkuk tembaga kecil berisi koin-koin perunggu di tanah. Jadi, orang-orang ini tadi menggelar pertunjukan di jalan untuk mencari nafkah. Mendadak, satu ide melintas di kepalaku.
Youran: "Sebenarnya, aku tidak ingin mengganggu, hanya saja ... barusan, aku baru melihat para prajurit sedang berpatroli. Kalau kalian melakukan pertunjukan di Wisma Tiga Mimpi, itu takkan jadi masalah, tapi, di Jalan Langit Jiuhua ini ... aduh, omong kosong apa yang kubicarakan ini? Aku akan pergi sekarang."
Seperti yang kuperkirakan, wajah para anak gelandangan itu berubah.
Anak Gelandangan: "Apakah ... apa itu benar?"
Aku mengangguk. Saat itu, mereka saling pandang. Mereka mengambil uang mereka lalu pergi secepat kilat.
Melihat akal bulusku berhasil, aku tak bisa menahan senyum.
Youran: "Hei, apa kau baik-baik saja?"
Anak berambut emas itu terbengong-bengong melihatku. Aku melambaikan tangan di depannya. Dia akhirnya tersadar. Pertama, dia mengangguk-angguk, lalu menggeleng.
Youran: "Sakit di mana?"
Saat itu juga, suara kruk-kruk terdengar entah dari mana. Refleks, aku menyentuh perut, lalu sadar kalau suara perut keroncongan itu tidak berasal dariku.
Menolehnya kembali, aku melihatnya juga menolehku. Ketika dia tahu aku sedang mengamatinya, wajah anak itu menjadi merah. Dia pun menunduk menahan malu.
Youran: "Jadi, kau lapar?"
Setelah berpikir sejenak, aku mengeluarkan bungkusan kertas tebal. Aku membuka bungkusan itu. Di dalamnya, ada manisan buah. Aku memberikan manisan itu seraya tersenyum.
Youran: "Ini. Untukmu. Pemilik toko manisan memberikan ini kepadaku."
Dia melihatku dengan sorot tercengang.
Youran: "Ambillah! Makanlah! Dan lain kali, jangan mencuri uang lagi."
Anak Lelaki: "Aku tidak mencuri. Aku membuatnya menggunakan trik sihir."
Dia mengutarakan itu tiba-tiba. Aku langsung tertawa tidak percaya.
Youran: "Kau bisa trik sulap? Tidak apa-apa, kau tak perlu berbohong kepadaku. Aku juga dulu pernah melakukan hal sama kalau kelaparan. Meski demikian ... tanganmu itu tidak diciptakan untuk mencuri."
Aku mengatakan ini dengan segenap keseriusan dan memberi tanda agar dia mengambil manisan buah. Namun, dia masih menggeleng.
Youran: "Kau ini! Sudahlah! Kalau begitu, jangan makan sekalian!"
Aku menarik tangan dan lekas memasukkan manisan ke dalam mulutku sendiri.
Youran: "Ini manisan yang paling kusukai! Aku tak pernah membaginya dengan orang lain!"
Aku mengunyah manisan itu lalu berbalik untuk pergi.
Sesungguhnya, aku berpikir ini hanyalah babak kecil dalam kehidupanku sebagai anak jalanan. Aku tak pernah membayangkan, hidupku dan hidup anak itu akan berubah karena satu pertemuan ini.
Aku tak pernah menyadari, mulai saat itu, di tempat yang tak bisa kulihat, ada sepasang mata terus mengikutiku.
(manisan buah, foto liputan6.com)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro