Rosa Rubus
Entah apakah aku yang bodoh, atau aku hanya kurang licik dibandingkan mereka? Jika saja aku lebih pandai, apakah aku tidak akan terjebak dalam situasi ini? Kalau saja aku lebih cerdas, lebih kuat, apakah hal itu akan mengubah keadaan menjadi lebih baik?
Aku meraih kaitan kalung di belakang, bersiap melepaskan kalung dari leher. Dehaman Shaw menghentikanku. Rasanya, dia sengaja mengingatkanku akan kalimatnya tadi.
"Aku sudah bilang, lebih baik kau mengenakannya. Kau menghilangkannya dan semua ini terjadi karena kau tidak mendengarkanku."
Pffft!
Memangnya kenapa kalau aku tidak mendengarkannya? Patutkah dia menipu dan membuatku panik, berkeliling ke mana-mana? Dia bahkan memaksa mengajakku ke villa terbengkalai. Ini semua SEHARUSNYA salah Shaw. Lagipula, sejak kami pulang tadi, hujan kian menderas. Shaw bersikeras tinggal lagi meski aku mati-matian memberi kode agar dia pergi saja.
"Kenapa? Melamun lagi?" Seringaian Shaw itu—entah kenapa lebih membuatku jengkel, alih-alih takut. Mungkin, hatiku sudah terlalu lelah dengan semua kehebohan yang terjadi belakangan ini. Penjelasan tanpa tedeng aling-aling Lucien membuka semua tabir yang selama ini tersembunyi. Sungguh sakit rasanya ketika mata gelap lelaki itu memandangku seperti memandang satu obyek eksperimen, bukan manusia. Jadi, beginilah warna aslinya. Beginilah jika dia tak terusik dengan segala perasaan menyedihkan di antara kami.
"Dummy."
Suara tegas nan kaku Victor ganti mengusik pikiranku. Tiba-tiba, aku ingin kembali menjadi si Dummy itu. Si Dummy yang tidak tahu apa-apa. Silly Girl yang menyisipkan keraguan pada sesosok monster. Gadis yang membeli keripik kentang atau bermain piano tanpa terbeban masalah pelik dunia.
"Apa kau juga berpikir aku ini bodoh?"
Mata Shaw menatapku tajam, "Kau ini tidak bodoh. Kata apa yang lebih tepat, ya? Mungkin, istilah yang lebih tepat adalah ... low IQ."
Senyuman jail Shaw mengembang Manik mata amber itu entah mengapa mendatangkan rasa nyeri di dalam dadaku. Shaw ini terlalu mirip seseorang. Seseorang yang melukai hatiku.
Seiring munculnya pemikiran ini, ketakutan seketika menyergapku. Shaw maju selangkah. Aku mundur selangkah. Debaran di hatiku semakin kencang. Aku mengepalkan tangan erat-erat. Dengan segenap keberanian yang tersisa, aku berseru kencang.
"Ling Xiao! Jangan keterlaluan!" kataku seraya mengertakkan gigi. Alis Shaw sedikit terangkat mendengar panggilanku.
"Kaupanggil apa aku?"
" .... Ling Xiao?" bibirku seketika bergetar. Diam-diam, aku mengakui kalau aku sengaja mengingatnya sebagai Ling Xiao. Yah, bukankah lebih aman kalau menganggapnya sebatas bocah nakal berskate board yang gemar membolos? Buat hatiku, rasanya ini yang paling aman.
"Memangnya kenapa kalau aku memanggilmu Ling Xiao? Ah, ya, aku salah. Seharusnya aku memanggilmu Xiao-didi (Adik Xiao) saja! Bukankah kau lebih muda dariku?"
(Nama Mandarin Shaw adalah 凌肖(Líng Xiào) Xiao dalam nama Shaw memiliki pengucapan yang mirip dengan kata 小(Xiǎo—kecil))
Amarah dalam kepalaku menggelegak. Sayangnya, dia juga begitu. Kilat licik di manik amber-nya sejenak membuatku merinding. Dan apakah yang kudengar itu? Gunturkah? Bagus! Aku tidak akan kaget kalau tiba-tiba terjadi mati lampu dan semacamnya. Kalau dia kesal, dia bisa pergi begitu saja, kan?
"Siapa yang mau jadi adikmu, heh?" ujung hidungnya nyaris menyentuh ujung hidungku. Aku segera mundur dan membentur meja di belakang. Ah, sakit! Namun, sudah cukup! Aku tidak mau dipojokkan! Aku mengangkat tangan, berharap bisa melakukan perlawanan. Sayangnya, Shaw adalah Shaw dan aku ... yah, aku siapa, sih? Sampai sekarang, yang bisa kutahan hanya satu orang. Itupun menguras seluruh tenaga dan emosiku. Yang lebih parah, dengan nada mengejek orang itu mengatakan kalau kekuatan itu begitu ... lemah!
"Ketika kamu ada dalam bahaya, percayalah pada instingmu .... " kalimat ini terngiang di telinga dan seketika membuatku gugup. Refleks, aku memejamkan mata, bersiap menghadapi situasi terburuk. Untungnya, tidak terjadi apapun setelah itu. Shaw hanya berdiri di depan sementara tangannya terulur melewatiku, lalu ....
Klik!
Suara raungan gitar elektrik itu membuatku membuka mata. Lagi-lagi, pandanganku berserobok dengan manik mata amber itu. Seringaian jail Shaw kemudian menyambutku.
Oh, rupanya tadi Shaw hanya menghidupkan CD player di meja belakang. Lagi-lagi, dia menjailiku!
"Wajahmu memerah," katanya geli, "Kau tidak berpikir, aku akan melakukan sesuatu padamu, kan?"
"Xiao—"
"Aku bukan adikmu, paham?" Shaw meraih daguku dengan kasar. Lagi-lagi, aku merasa emosiku tersulut. Enak saja! Meski hidupku kini bergantung kepadanya, aku tidak berniat berpasrah begitu saja!
"Iya, Bos. Kau memang bukan adikku," kataku mengoreksi, "Berhubung bos konon bisa mengendalikan cuaca, bisakah bos menghentikan hujan di luar?"
"Untuk apa aku menghentikan hujan di luar? Agar kau bisa menyuruhku pergi dari dari rumahku sendiri?"
"Kau menyebut tempat bak gudang ini sebagai rumah?"
"Setidaknya kau harus berterima kasih karena tempat bak gudang ini bisa jadi tempat tinggalmu, Sara Felisia .... "
Tekanan pada namaku seakan meremas jantungku. Dia menyebut namaku, bukan nama-nama aneh yang dia berikan sebelumnya. Aku menggigit bibir, segera frustasi karena tak menemukan kata-kata membalas Shaw. Ketidak berdayaanku membuat hatiku terasa remuk. Nada santainya di telepon justru membuatku merasa putus asa.
"Kalaupun kau ingin dunia ini runtuh, runtuhkan saja. Aku akan menanti masa depan apa yang akan kau tunjukkan."
Seakan mengerti isi otakku, Shaw melepaskanku. Dia terdiam. Sejenak, hanya lagu rock itu yang terdengar di dalam ruangan. Musik keras dan lirik yang cadas itu ... entah mengapa membuatku mengingat euforia saat di Live House beberapa waktu lalu.
Rosa rubus, perpisahankah ini? Penyesalankah ini? Atau ... inikah harapan?
Rintihan vokalisnya terdengar menyayat. Di sisi lain, gairah dan pemberontakan dalam lagu itu terdengar jelas. Seolah-olah, lewat lagu itu mereka ingin menyuarakan segala luka dan upaya melawan kekejaman. Dunia yang kejam. Mimpi yang kejam. Realita yang jahat.
Sesaat, aku mengingat cahaya menyilaukan di atas panggung. Aku ingat, sorot itu mengarah pada sosok berambut ungu terang di atas panggung. Bas di tangan Shaw tergenggam mantap. Lewat petikan jarinya, dia bicara dengan cara yang lebih ramah. Bagian diri Shaw di atas panggung itu sungguh lain dengan bagian dirinya saat ini.
"Melamun lagi? Apa yang sedang kaulamunkan?" alis Shaw lagi-lagi terangkat. Sejenak, tatapannya melembut. Dia menatapku hingga aku seakan tenggelam dalam manik ambernya. Sayangnya, sesaat kemudian, kilat jail muncul dalam matanya dan dia pun tersenyum geli, "Kau melamunkanku? Lihatlah! Sampai wajahmu semerah kepiting rebus begitu!"
"Tidak ada! Mana ada!" Aku buru-buru menyamping, menghindar dari Shaw, sekalian mengalihkan pembicaraan, "Ini lagu bandmu?"
"Hm." Dia mengangguk, tapi, tidak menjauh. Aku terpaksa menunduk, menghindari tatapan menyidik itu.
"Rosa Rubus itu apa?"
"Nama bunga."
Jawaban itu terdengar bosan. Aku mengulum senyum diam-diam, berharap kalau dia bosan, dia akan pergi dengan sukarela. Ah, sekiranya rasa gembira bisa menimbulkan hujan, maka rasa bosan bisa meredakan hujan, bukan? Pikirku licik.
"Kau yang menciptakannya? Ah, suaramu kan bagus. Kenapa tidak kau saja yang menyanyikannya?" aku sengaja berkata dengan nada seorang bibi-bibi cerewet. Ekspresi cemberut itu membuatku semakin puas. Apalagi, suara hujan di luar memang sedikit berkurang.
"Kau menganggap suaraku bagus?"
Aku mengangguk-angguk, "Iya! Kenapa tidak kau saja yang menjadi vokalis bandnya?"
"Membosankan," jawab Shaw, "Lagipula, aku tidak ingin terlalu menonjol."
"Cih! Seperti kau sekarang tidak mencolok saja! Ada berapa banyak gadis yang ada di dekatmu di kampus, seharusnya aku menghitungnya!" Aku tersenyum geli seraya memandang rambut ungu metaliknya itu. Jika saja tidak mengingat kejadian memalukan dengan Helios, aku jelas sudah menyelidiki apakah warna rambutnya itu asli.
"Kalau kau ingin, lain kali aku akan menyanyi," perkataan Shaw ini membuatku terkejut. Dia mematikan CD player, lalu membaringkan diri di sofa dekat kami. Hilang sudah harapan kalau dia akan hengkang. Aku terpaksa ikut duduk di sisi lain sofa. Kuambil satu bantal untuk kupeluk. Suara senandung Shaw kemudian terdengar ... berbaur bersama hujan. Di balik ucapannya yang keras dan tajam, suara ini begitu menenangkan ... menghanyutkan.
"Ini salahku, aku lupa kalau gadisku menyukai hal-hal musikal seperti ini .... "
Sekonyong-konyong, suara lembut itu terngiang di telingaku. Segala kenangan berbalik kembali dalam pikiran. Dalam semua potongan-potongan ingatan itu, aku mengingat panggung yang lain, sosok pemain bas lain. Dalam cahaya menyilaukan itu, rambut cokelatnya berkibar tertiup angin pantai. Di tangan yang biasa memegang senapan itu, bas tergenggam dengan indahnya. Segala kehangatan membanjir dalam hatiku saat itu. Seakan-akan, sosok itu adalah satu-satunya pelindungku dari ancaman kejahatan.
"Gavin .... " nama ini terucap terlalu lirih sampai aku pun tak sadar telah mengucapkannya. Terlalu lemah hingga telingaku sendiri gagal mendengarnya.
Rosa rubus, perpisahankah ini? Penyesalankah ini? Atau ... inikah harapan?
Rasa nyeri kembali menghimpit di dadaku. Satu ketakutan mendadak menyusup masuk dalam pikiranku. Di dalam dunia yang asing ini, dunia di mana segala hal terbolak-balik, aku sudah hampir tak bisa menemukan di manakah aku seharusnya berpijak. Hitamkah? Putihkah? Siapakah yang bisa kupercaya? Dapatkah aku mempercayai satu-satunya orang yang menolongku ini?
Aku mengusap air mata yang menitik, mencoba menyembunyikannya dari Shaw. Aku menutup mata, memeluk bantal begitu eratnya. Kelelahan setelah seharian berkeliling bercampur dengan kecemasan dan semua ketakutan dalam hatiku. Tubuhku terasa berat dan enggan bergerak. Mungkin aku bahkan tak peduli kalaupun aku harus mati saat ini.
Suara itu semakin berbaur dengan hujan dan kenangan-kenangan yang kian kabur. Aku tidak ingat, kapankah akhirnya aku hanyut ... atau kapankah aku menyerah membiarkan rasa kantuk membawaku dalam tidur lelap tanpa mimpi apapun.
Lalu ... malam itu berlalu begitu cepat hingga aku tidak menyadarinya.
Pagi-pagi, ketika aku bangun di tempat tidur atas, Shaw telah menghilang. Orang-orang di Moments membicarakan hujan deras yang tak kunjung reda hingga jelang pagi. Aku sama sekali tak mengerti akan apa yang terjadi atau apa yang ada di dalam pikiran bocah Xiao itu. Benarkah hujan itu karena dirinya? Atau aku sebenarnya dibohongi lagi?
Aku menghela napas. Kepalaku sedikit pusing. Tanganku menyentuh liontin dragonfly eyes di leher. Hingga kini, aku tak memahami apa arti liontin ini. Di internet, aku hanya menemukan sedikit informasi.
"Dragonfly eyes bisa menjadi simbol kedewasaan, atau ilusi masa lalu yang membatasi perkembangan dan kemampuan berubah seseorang.
Di sisi lain, Dragonfly eyes juga merupakan simbol kebahagiaan dan perubahan, harapan dan cinta."
Apakah dia juga menyadari makna ini?
Aku menarik selimut lalu berbalik ke arah lain. Saat itulah aku menemukannya. Sekuntum bunga cantik berkelopak ungu besar. Di tengah, warna kuning sarinya terlihat mencolok. Seperti mawar, tapi, agak berbeda. Aku menggaruk kepala, sedikit bingung dengan keberadaan bunga ini di atas bantal.
Rosa Rubus.
Ya, ampun, apalagi arti bunga ini?
Denpasar, 4 September 2020.
Putu Felisia.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro