Imprisoned Mind
"Kupikir, kau mengatakan kalau kau tidak akan pergi," suaranya seakan bergema di telingaku. Ribuan jarum seakan menghunjam dadaku seketika. Aku tidak mampu menanggung semua ini, demi Tuhan!
Guratan-guratan merah di manik matanya terlihat lelah dan menyedihkan. Namun, di sisi lain, apa yang terjadi ... apa yang dia lakukan kali ini ... semua mengingatkan aku pada sosok seseorang di dunia musim dingin ... Ares.
Rasanya bekas telapak tangan Ares di leherku kembali memedih. Sesaat, aku mengingat apa yang terjadi, bagaimana pria itu melakukan hal-hal tak masuk akal karena satu alasan: kekuatan Queen. Aku ingat, ada satu ketika, saat dia juga memerangkapku seperti ini, hanya untuk menegaskan betapa berbahaya dirinya dan bagaimana aku harus tunduk padanya.
"Maafkan aku. Maafkan aku," kepedihan dalam suara itu menyakitiku begitu rupa. Kurasakan rambutnya membelai pipiku. Saat ini, aku merasa begitu rapuh, meski sesuatu dalam diriku menolak untuk takluk. Dia Lucien, bukan Ares yang itu. Namun, tetap saja ....
"Masih bisakah kau memaafkanku, Sara Felisia?"
Emosi di dadaku bergumpal begitu banyak hingga terasa menyesakkan. Bisakah aku memaafkannya? Setelah semua yang dia lakukan padaku? Mampukah aku menghidupkan kembali rasa cinta yang pernah kuberikan kepadanya dengan membabi buta?
Aku mengingat peringatannya di masa lalu. Aku mengingat kebodohanku yang membatu. Aku mengingat bagaimana aku mengejarnya hanya untuk dia dorong pergi. Pikiran sinisku jelas mengejekku dengan keras. Hanya keledai yang bisa terjatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya, bukan?
"Sara .... "
Napasnya terasa panas di telingaku. Dalam kegelapan ini, kesesakan di dadaku terasa mengimpit. Aku hanya mampu mengatakan dua kata itu, "Tidak bisa."
Lalu ... terdengar suara sesuatu yang pecah. Tanganku mampu menjangkau saklar. Dengan segera, aku menyalakan lampu hanya untuk melihat tetesan darah di tangannya. Pecahan kaca berserakan di lantai. Aku bahkan tidak tahu kapan dia meninju cermin di dekat kami.
"Lucien?"
"Kau mengatakan kalau kau tidak akan menolakku," ada nada menuntut tajam di dalam suaranya. Beban seberat batu kilangan di dadaku mendadak lenyap mendengar nada suara itu. Tidak! Dia tidak boleh memperlakukan aku seperti ini! Aku bukan kupu-kupu atau kunang-kunang yang bisa seenaknya dia masukkan ke dalam toples!
"Lucien, kaupikir masih ada ruang di hatiku untuk mencintaimu lagi?" suaraku bergetar. Semua emosi yang kutahan berbulan-bulan sejak tersesat di dunia musim dingin, tidak ... mungkin sejak dia berkhianat dan mengungkap sosok aslinya itu ... semua emosi itu bergulung-gulung di dalam hatiku seperti gelombang tsunami. Kemarahan, kepahitan, kepedihan, semua rasa sakit yang terpendam itu keluar begitu saja tanpa bisa kutahan.
"Kau tak pernah tahu bagaimana aku mengobati semua sakit hatiku, kan? Mengapa begitu mudahnya kau memintaku memaafkanmu? Apa kaupikir aku bisa melakukannya?"
Telapak tangan Lucien mengepal. Dia tidak berusaha menghindariku. Dalam satu langkah panjang, dia telah ada di depanku lagi.
"Tidak ada yang bisa menghalangi tekad seseorang," ada nada dingin sekaligus pedih dalam suaranya, "Kau selalu bisa melakukan apapun, sepanjang kau menginginkannya."
Tangannya terulur, menyentuh pipiku. Aku menghidu anyir darah yang bercampur aroma rumput wangi dari tubuhnya. Rasanya seperti menghirup aroma masa lalu yang sudah tercemari. Saking muaknya, aku membuang muka. Namun, tangannya kini meraih daguku, membuat mataku bertatap langsung dengan matanya. Sesaat, aku terdiam. Dia terdiam, Hanya udara kosong yang melayang-layang membawa semua kenangan ... kenangan manis, kenangan menyakitkan. Memori di antara ladang bunga persik hingga memori di vila saat aku melihat bangau-bangau kertas berserakan di bawah ....
"Apa kau ingat tentang dongeng seniman dan kupu-kupu itu?" dia berkata, "Kau pernah bertanya, jika aku yang menjadi seniman, apakah aku akan membiarkan kupu-kupu itu terbang pergi?"
"Aku ... lupa."
Aku tidak pandai berbohong. Senyuman Lucien jelas menyiratkan hal itu, "Silly girl."
Seinci, dua inci, wajahnya semakin dekat. Dalam sebuah ciuman yang panjang, dia membiarkan aku mengingat jelas setiap kata yang dia ucapkan waktu itu: "I would rather die." Rasa frustasi itu terasa menelanku. Namun, dengan cepat aku tersadar. Lucien yang kucintai dan Lucien yang asli adalah dua hal berbeda. Dalam sedetik yang terasa berabad-abad, aku mendorongnya keras ....
Plak!
Aku yang menampar. Namun, tanganku yang terasa sakit. Mataku berkaca-kaca hingga kabut bagai memburamkan sosoknya. Air mataku jatuh tanpa bisa dibendung. Ah, aku memang konyol seperti yang selalu dia bilang. Namun, kali ini, aku ingin menjadi gadis yang cerdas. Sekali saja. Aku ingin lari darinya. Sejauh-jauhnya. Aku tidak ingin menjadi kupu-kupu malang yang terkurung dalam toplesnya!
"Jangan menangis," suaranya selembut sutra. Dia menenggelamkanku dalam pelukannya. Ketidakberdayaanku membuatku merana. Aku ingin membencinya. Aku telah mati-matian berusaha membunuh semua perasaanku padanya.
"Lepaskan aku," suaraku bergetar.
Dia bergeming, "Kalau kulepaskan, kau tidak akan pergi, kan?"
"Lucien .... "
"Semua kendali diriku runtuh di dalam keberadaanmu," suaranya melembut. Dia melepaskanku, mengelus rambutku, seakan-akan dengan melakukan itu dia bisa mengubah semua pemikiranku tentangnya.
"Aku telah memberikan hatiku padamu. Berkali-kali. Berkali-kali pula kau membuangnya seperti barang tak berharga," kataku parau. Menggunakan segenap tenaga, aku melepaskan diri darinya lalu berseru dengan nada tinggi, "Kau pernah menyuruhku pergi berkali-kali. Seharusnya, kali ini, kau takkan keberatan kalau aku melakukan apa yang selalu kauinginkan itu! Kenapa kau harus selalu bersikap egois?"
"Aku? Egois?" sebuah tawa getir dan sinis keluar dari mulut Lucien, "Boleh ku tahu, kenapa kau datang mencariku?"
"Aku .... "
Pandangan dinginnya seperti pisau yang langsung menghunjam hatiku, "Kau mencariku karena aku satu-satunya orang yang bisa menolongmu. Begitu, kan?"
Dia benar.
"Tidak bisa menjawab?" nada geli itu terdengar seperti olokan di telingaku. Saking malunya, aku merasa pipiku memanas. Seperti di masa lalu, dia kembali tertawa kecil. Sorot matanya terlihat menggodaku, "Sudahlah. Perdebatan ini tidak ada gunanya. Sudah malam. Kau perlu istirahat."
Aku tahu, aku takkan menang melawannya. Jadi, yang aku lakukan hanya melangkah dengan patuh ... masuk ke kamar tidur.
Aku tak tahu apakah aku bisa mempercayainya kali ini. Namun satu hal yang pasti, aku takkan membiarkannya memenjarakanku dalam obsesinya.
Rasa cinta itu ... sudah lama berlalu dan lenyap. Aku tak ingin mencarinya lagi.
***
Denpasar, 14 Desember 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro