Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 5

Setelah makan malam bersama, dengan penuh rasa ingin tahu, aku mulai berkeliling rumah.

Mungkin karena ini di pinggiran kota, malam hari begitu sepi. Tak ada sumber penerangan besar saat melihat keluar dari arah jendela.

Aku hendak kembali mencari Victor ketika aku mendadak mendengar suara 'pop'. Lalu, cahaya di depanku padam tiba-tiba.

MC: "Apa yang terjadi?"

Victor: "MC!"

Suara Victor terdengar tidak jauh. Seberkas cahaya keperakan kemudian menyala dengan cepat di tengah kegelapan.

Victor: "Tetaplah di tempatmu. Aku ada di sini."

MC: "Baiklah."

Aku melihat cahaya itu semakin mendekat. Aku mengulurkan tangan dan dengan cepat tanganku digenggam oleh telapak tangan yang hangat.

Victor: "Pasti mati listrik. Saluran listrik baru saja diperbaiki dan mungkin agak tak stabil."

MC: "Untungnya, kita datang bersama-sama. Kalau tidak, kita mungkin akan sedikit takut berada di rumah sebesar itu."

Victor: "Memangnya apa yang menakutkan?"

MC: "Karena di sini sangat sepi dan gelap di malam hari."

MC: "Dan sebagian besar plot film thriller menggambarkan kejahatan dimulai dari listrik yang mati tiba-tiba."

Sebenarnya aku hanya ingin membuat lelucon. Namun, setelah aku selesai bicara aku merasa gugup dan tanpa sadar memeluk lengan Victor.

MC: "Hm, seharusnya kita menutup pintu dan jendela, kan?"

Victor: "Aku sudah memeriksanya waktu kau tidur tadi."

Victor: "Seorang dummy tertidur dengan sembrono sejak siang hingga malam dan baru merasa khawatir sekarang?"

Memikirkan kembali pengalaman memalukan tertidur tadi, aku tersenyum malu.

MC: "Aku sangat mengantuk saat itu ... tapi, Tuan Li ini sangatlah perhatian!"

Victor: "Sudah cukup dengan pemikirkan ngawurmu! Ayo pergi, kita lihat sumber dayanya."

Aku mengikuti Victor ke gerbang. Dia menggunakan senter untuk menerangi sekring di dinding. Saklar utama saat itu menunjuk kata OFF.

Victor menutup saklar dengan pelan. Lampu di ruangan kini menyala lagi. Aku memicingkan mata dengan tidak nyaman.

Victor: "Sudah ok. Sekarang tak perlu takut lagi."

MC: "Ok."

Victor: "Aku akan mengecek perangkat listriknya lagi."

MC: "Ok."

Victor: "Berapa lama lagi kau akan memegangiku seperti ini?"

Aku tertegun sejenak lalu sadar kalau aku masih memegang tangannya.

Victor menatapku dengan agak geli. Aku mencoba mengabaikan panas di wajah dan malah memeluknya lebih erat.

MC: "Ini memang niatku. Aku ingin pergi denganmu."

Victor: "Kenapa? Tetap menempel ke orang lain walau tanpa minum wine hari ini?"

MC: "Ini tak ada hubungannya dengan minum-minum!"

MC: "Kalau saja listrik mati lagi, aku bisa menolongmu memegangi senter."

Tentu, aku hanya beralasan saja. Victor melirikku, tapi, kemudian meletakkan senter di tanganku.

Victor: "Alasan ini bodoh. Lain kali, coba gunakan alasan lain."

MC: "Tapi kau masih menerimanya!"

Victor: "Aku hanya khawatir seorang dummy tidak bisa tidur tengah malam karena memikirkan ini."

MC: "Pikiran itu bukan sesuatu yang bisa kukendalikan!"

MC: "Tapi, jika kau berada di sisiku, aku jadi tak punya waktu untuk memikirkan hal-hal lain."

Victor sepertinya berhenti sejenak. Aku tidak melihatnya. Namun, aku mendengar gelak dalam datang darinya.

Victor: "Alasan ini bagus. Aku menerima alasan yang ini."

Lengan yang terjalin mendekatkan jarak kami. Suhu familier itu sepertinya menyingkirkan semua kecemasan di hatiku.

Bisa melekat padanya dengan menggunakan kepercayaan diri ini adalah privilege yang langka.

Kalau saja hanya ada aku dan Victor, biarkanlah kugunakan privilege ini beberapa kali lagi.

🍷

Setelah tidur panjang kemarin, aku akhirnya mendapatkan kembali semua energiku pagi ini. Saat aku bangun, pintu kamar Victor masih tertutup.

Jarang-jarang aku bangun lebih awal dari Victor. Aku menyelinap ke dapur, mengeluarkan beberapa bahan simpel dari kulkas, bermaksud mengejutkan Victor dengan membuatkan sarapan.

Begitu meletakkan sandwich di atas meja, kulihat Victor mengancingkan kemeja seraya berjalan ke arahku.

MC: "Selamat pagi!"

Victor tampak terpana melihatku dan sedikit mengangguk.

Victor: "Pagi."

MC: "Terima kasih, Tuan Li Zeyan telah mengurusku kemarin. Hari ini, akulah yang akan menyiapkan sarapan."

MC: "Kau duduklah dan tunggu sebentar. Ini akan segera selesai."

Dengan bersemangat, aku menarikkan kursi, tapi, Victor tidak duduk. Dia hanya bersandar ke meja sambil memperhatikan kesibukanku.

Aku membuat es kopi lalu berjalan kembali ke meja. Kuserahkan salah satu es kopi itu kepada Victor.

Resep es kopi ini baru kupelajari beberapa hari lalu. Mari memulai tahun baru dengan cita rasa yang baru!

Victor menatapku. Pandangannya beralih ke meja yang berantakan. Dia kemudian mendesah tak berdaya.

Victor: "Sepertinya kau sangat cepat mengakrabkan diri di mana pun kau berada."

MC: "Hehe, karena ini merupakan rumahmu! Selain itu, aku sangat tertarik dengan tempat-tempat yang berkaitan denganmu!"

MC: "Kemarin dulu, aku bertemu siswa kecil bermarga Li. Mungkin, aku bisa bertemu orang yang berbeda hari ini."

Victor: "Kalau begitu, kau mungkin akan kecewa."

Victor: "Aku jarang datang ke rumah ini dan tak ada yang perlu dipertanyakan."

MC: "Kalau begitu, ayo buat lebih banyak kenangan di sini!"

MC: "Tapi, kalau begitu ceritanya .... "

MC: "Entah itu Siswa Li, Victor Li, atau Li Zeyan warga kota biasa, bolehkah aku memiliki semuanya?"

Victor terdiam beberapa saat lalu berjalan ke arahku.

Victor: "Memangnya kau tak mau semuanya? Sepertinya kau malah melewatkan satu. Betul, kan?"

MC: "Hah?"

Aku tertegun sejenak. Aku tidak pernah berpikir dia akan jadi seserius ini dan aku malah harus memikirkan identitas lain dengan sungguh-sungguh.

MC: "Itu ... Chef Li?"

Victor: "Salah."

MC: "Guru Li?"

Victor: "Salah."

MC: "Tidak mungkin Yanyan, kan?"

(Putu: panggilan Yanyan ini panggilan imut untuk seseorang yang benar-benar dekat).

Aku bicara dengan hati-hati. Seperti yang kuduga, aku langsung mendapatkan tatapan tanpa ampun Victor.

Dia membungkuk, menghentikanku tepat di atas meja. Matanya menyipit, menatapku tajam.

Victor: "Kau ini benar-benar bodoh atau pura-pura bodoh? Kau dengan jelas menyebutkannya kemarin dulu dan hari ini kau sudah melupakannya?"

Aku berkedip-kedip, mengingat percakapan hari itu berulang-ulang.

Selain melihat barang-barang lama masa sekolah, tampaknya ada beberapa detail penting yang terlewatkan ....

Aku ingat melihat wajahnya tepat di depanku, wajah yang tersipu-sipu di depanku malam itu, lalu aku ingat wajahnya saat menerima bola dari tanganku.

Ada sesuatu yang segera menyala-nyala di sudut hatiku. Tiba-tiba, aku menyadari apa yang dia maksudkan.

Detak jantungku ikut berdebar kencang menyadari jawaban itu. Namun, bukannya langsung menjawab, aku malah tiba-tiba ingin menggodanya.

MC: "Malam itu, aku mabuk."

Victor: "Siapa yang bilang dia tidak mabuk malam itu?"

MC: "Bukankah itu hanya pengakuan Setan Arak?"

Victor: " .... "

Victor mengembuskan napas perlahan-lahan, meremas pinggangku dengan satu tangan memegang sisi satunya.

Victor: "Nah, karena seorang dummy memilih untuk lupa, maka aku akan membantu dummy ini mengingat."

Detik berikutnya, aku merasa kalau kakiku tak lagi menginjak lantai dan aku telah berada dalam pelukannya.

Sebelum aku dapat bereaksi, sandal kamarku terlepas dari belakang kaki-

Dia mendesakku hingga ke meja makan di belakang. Kulitku tiba-tiba menyentuh meja marmer. Aku tak bisa menahan seruan lirihku.

MC: "Dingin sekali!"

Refleks, aku meringkuk menghindar dari dinginnya marmer. Victor kemudian meraih pergelangan kakiku dan menarik kakiku ke depan.

Aku hampir saja jatuh ke tangannya. Buru-buru kujejakkan kaki di kakinya untuk mengontrol keseimbangan.

Aku memegang gelas di tangan, hendak memeriksa apakah bajunya ternoda. Namun, bayangan itu tiba-tiba menutupiku.

Victor mengimpitku. Tubuhnya menghalangi sinar matahari dari jendela atap di belakangnya.

Victor: "Aku ingat, tempo hari ada seseorang yang berkata minum wine sedikit takkan mempermalukan orang."

MC: "Aku benar-benar tak banyak minum! Hanya saja, aku memiliki sedikit energi ekstra!"

Victor: "Ya, sepertinya kau masih mengingat kata-kata ini."

Seolah memberi hadiah, dia mengecup lembut dahiku.

Victor: "Karena ada energi ekstra, alih-alih tidur, kau malah menghambur ke kamarku."

MC: "Hanya ingin mengecek apakah kau sudah tidur!"

Victor: "Ngomong-ngomong, kau juga menyidik seluruh sudut ruangan. Itu hari yang indah untuk menyelidiki masa laluku."

Aku meringis dan menyembunyikan wajahku. Victor mengulurkan tangan, merangkul pinggangku.

Victor: "Tidak ingat ini?"

MC: "Aku ingat! Kau punya banyak buku, memenangkan banyak penghargaan dan menulis catatan harian tentang kegiatan para siswa."

Victor: "Ada lagi?"

MC: "Dan juga .... "

Aku sengaja memutar-mutar pandangan. Mataku beralih dari wajahnya ke tempat lain.

Victor bergerak di bagian belakang pinggangku. Aku segera bangkit lalu melarikan diri dari tatapan tak puasnya.

Victor: "Jawab pertanyaannya!"

MC: "Aku ... aku tidak ingat!"

Victor: "Benarkah? Aku bisa memberimu petunjuk."

Melihat Victor semakin mendekat, gelas di tanganku sedikit tergelincir. Aku buru-buru mengangkat tanganku yang lain, menahan dadanya.

MC: "Tung-tunggu sebentar! Kopinya-"

Victor: "Kalau begitu, jangan bergerak."

Dia menggenggam tanganku yang memegang gelas. Dengan begini, aku tak bisa meletakkan gelas atau menghindar darinya.

Terkejut, aku mengangkat kepala dan langsung bertemu dengan napasnya yang hangat.

Victor: "Ada sebuah bola di sudut ruangan."

Victor: "Sepertinya kau sangat tertarik dengan bola itu."

Kelembutan bibirnya mengusap pipiku. Aku menarik napas cepat-cepat.

MC: "Sepak bola? Bukankah itu permainan kesukaanmu ketika masih kecil?"

Victor: "Hm."

Victor: "Bola yang kusepak menghancurkan istana pasir seorang dummy dan dia menangis lama sekali."

Victor: "Anak itu tidak bisa ditenangkan dengan mudah, tapi, ketika dibujuk dengan makanan, dia segera melupakan perkara istana pasir."

Victor: "Tapi, itu bisa dimaklumi. Karena anak gadis itu baru berusia lima tahun saat itu."

Victor sepertinya tak ingin mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya menatapku dalam diam. Jemarinya membelai punggung tanganku.

Aku tak tahu apakah ini karena tempat di sekelilingku terbungkus sinar matahari, atau karena aku sadar kalau aku tengah masuk dalam jebakannya.

Kurasakan bagian kulit yang belum tersentuh kini mengeluarkan titik-titik keringat yang langsung menguap ke dalam otakku.

Kupikir, aku akan mampu berbuat sesuatu yang akan membuatnya tersipu malu. Sayangnya, aku sekarang malah memasukkan diri sendiri dalam situasi memalukan ini.

Aku sengaja menunda mengatakan panggilan yang tak ingin kuucapkan dan aku sangat malu untuk mengutarakannya saat ini.

Aku meremas kemeja Victor erat-erat, memutuskan melakukan hal yang sulit ini dan menyelesaikannya.

MC: "Lalu?"

Victor mengangkat alis. Dia tidak tampak kesal. Dia hanya mengambil kesempatan ini untuk mendaratkan satu ciuman ambigu ke bibirku.

Bulu mata tebalnya menyentuh pipiku. Semua detail tentang malam itu meledak-ledak di benakku dalam sekejap.

Victor: "Lalu, inilah yang terjadi selanjutnya."

Matahari melukiskan garis besar cerah di sekitar tubuh Victor. Namun, cahaya itu menggelap di bayang-bayang keningnya ... sementara hasrat familier bergulung-gulung di manik matanya.

Victor memegang tanganku, menarikku ke arahnya. Tubuhku goyah dan aku harus mengepit pinggangnya dengan lutut.

Victor: "Butuh lebih banyak petunjuk?"

Tanpa menunggu tanggapanku, lagi-lagi bibirnya mengusap bibirku pelan-pelan.

Aku memprotes lirih. Dia mengangkat kelopak matanya dan menatapku. Sayangnya, dia tidak berhenti.

Tolonglah! Kalau begini, bagaimana orang bisa menjawab!

Aku jengkel setengah mati. Kuangkat kepalaku dan segera kugigit bibir bawahnya. Victor akhirnya berhenti. Matanya menampakkan sedikit senyuman.

Victor: "Belajar menggigit, ya?"

MC: "Kau melakukannya dengan sengaja!"

Victor: "Kau tahu jawabannya tapi masih berdalih. Bukankah kau juga sengaja?"

Victor: "Cara terbaik untuk menghadapi orang bodoh adalah dengan memberi gigi ganti gigi."

MC: "Victor Li! Kau sangat buruk dalam hal ini!"

Victor tersenyum tipis, sepertinya tidak keberatan dengan tuduhan tak masuk akalku.

Aku memandang wajahnya yang setenang air. Segera, aku menghela napas frustasi.

MC: "Setelah semua ini, tak bisakah kau tersipu malu saja?"

Victor: "Menurutmu, untuk siapa aku melakukan ini?"

Aku tertegun sejenak. Kulihat senyumannya memudar dan dia menatapku serius.

Victor: "Aku akan menjabarkan bagaimana kau selalu melakukan hal-hal aneh belakangan ini."

Victor: "Kau sengaja menipu orang untuk minum wine, berpura-pura tidak mabuk, lalu mengenakan pakaian orang lain."

Victor: "Apa yang sedang kau rencanakan?"

Pikiranku kacau balau. Aku hanya mengatakan apa yang melintas di otakku saat itu.

MC: "Karena kau selalu bersikap kaku, aku juga ingin mencoba kalau-kalau aku bisa sesekali membuatmu malu-malu."

MC: "Meskipun aku mungkin sering melakukan hal-hal bodoh, tapi, aku tak ingin diperlakukan sebagai anak kecil olehmu."

MC: "Bagaimanapun, aku bukan lagi anak bodoh berusia lima tahun. Aku ingin melihatmu tersipu malu dan berdebar-debar untukku."

Aku menatap Victor lalu membenamkan kepalaku di bahunya. Malu-malu, aku bergumam.

MC: "Kau juga tak tahu betapa imutnya dirimu saat sedang malu-malu."

MC: "Tak ada orang lain yang melihat, hanya aku yang akan melihat sisi malu-malumu itu."

Victor terdiam sesaat lalu menghela napas.

Victor: "Pernahkah kau melihat orang menginvestasikan lima ratus juta untuk seorang anak kecil?"

MC: " .... "

Victor: "Sejak pertama kali melihatmu, aku tak pernah memperlakukanmu sebagai seorang anak."

Victor: "Memanggilmu dummy juga karena hal-hal kekanakan yang kau lakukan tak sesuai dengan umurmu."

Aku menunduk lalu bergumam lirih.

Orang ini benar-benar tak melepaskan kesempatan mengeluh tentangku.

Victor: "Juga, hal yang sama berlaku untukmu."

MC: "Hah?"

Victor: "Kau terlihat imut saat melakukan hal-hal konyol ini."

Victor: "Tapi, sebenarnya, kau tak perlu melakukan ini."

Aku terpana saat merasakan pipiku memanas. Suara detak jantungku jelas mengkhianati keterkejutanku.

Aku mengangkat sudut mulutku, menegakkan tubuhku untuk mengatakan sesuatu.

MC: "Li Zeyan .... "

Victor: "Bukan jawaban yang benar."

Pria di depanku mengernyit. Aku menelan ludah dengan hati-hati. Ternyata, masalah ini belum selesai.

MC: "Apakah panggilan itu sering kaudengar waktu kau kecil?"

Victor: "Ini berbeda."

Victor: "Aku ingin kau menjawab sekarang."

Victor: "Aku memberimu kesempatan terakhir."

Aku menarik napas dalam-dalam dan hendak bicara ketika aku merasakan sesuatu yang dingin di pahaku.

Bongkahan es terjatuh dari gelas di tanganku. Dinginnya es yang mencair segera saja jatuh ke pangkuanku.

Tanpa sadar, aku menunduk dan hendak menyeka. Namun, dengan cepat, Victor mengangkat daguku.

Victor: "Jangan mengelak."

MC: "Aku hanya .... "

Victor: "Jawab aku, Victor mana yang kau lewatkan barusan?"

Tetesan air meluncur ke atas kulit, meninggalkan rasa geli di sepanjang alirannya.

Suara pria di depanku begitu rendah, membujuk, seperti rintik ringan yang perlahan-lahan turun dari bawah hatinya ... gerimis yang mengundang.

Aku membuka mulut. Tenggorokanku kering dan aku hampir tak bisa mengendalikan suaraku sendiri.

MC: "Zéyán gēgē..."

Sedetik, hening meliputi udara. Lalu, kopi di tanganku segera dipindahkan. Gelas itu bertabrakan dengan cangkir dan piring di belakang. Victor mendorong semua benda-benda itu menjauh.

Pandanganku nyaris menangkap pria di depanku ini. Namun, Victor tiba-tiba menghindari tatapanku lalu berbicara lirih.

Victor: "Tutup matamu."

MC: "Kenapa?"

Victor: "Tidak ada alasan apapun."

Dia membungkuk, mengecup mataku, memaksaku taat memejamkan mata seperti perintahnya.

Telapak tangan besarnya menopang bagian belakang kepalaku. Ciumannya mendarat dengan tidak sabaran, menumpahkan semua cinta yang menyingkirkan segenap keraguanku.

Bahkan walau aku tak dapat melihat ekspresinya saat ini, aku meresapi suasana hati tak terucapkan itu.

Fragmen-fragmen yang pernah menyerpih ... melayang-layang dari bertahun-tahun lalu itu, kini menyatu, berlabuh dengan tenang, memenuhi ruangan yang kosong, melimpah ruah dengan kebahagiaan yang utuh.

Dengan ragu-ragu, aku mengulurkan tangan menggapai bahu Victor lalu menangkap lehernya.

Lengan yang memimpin terpaut menjadi satu, bibir dan geligi yang beradu membara menyentuh lebih banyak sudut. Napas memanas naik turun, membakar kulit yang sejuk.

Telapak tangan hangat itu terus menopangku, menimbulkan guncangan tak tertahankan saat disentuh.

Aku mencoba menahan kehangatan meluap-luap di sela-sela gigiku. Diam-diam, aku membuka mata untuk menatap Victor.

Dengan lugu, matahari menyinari wajahnya yang kemerahan. Sepasang mata yang tak pernah terbaca itu kini berkilau-kilau oleh kepuasan sederhana.

Refleks, aku mengulurkan tangan, membelai pipinya. Pandangannya bersitatap dengan pandanganku. Tak terduga, menampakkan sedikit jejak ketidakberdayaan.

Mungkin, dia tak menyangka kalau aku akan mengambil kesempatan untuk mengintip. Segera saja, telinga Victor merona merah.

MC: "Haha."

Victor: "Apa yang sedang kau tertawakan?"

MC: "Bukan apa-apa. Aku hanya berpikir, wajah pemalumu itu sangat imut."

Victor: " .... "

Victor: "Keinginanmu telah tercapai. Puas?"

MC: "Puas!"

Dengan sengaja, aku mengabaikan tatapan tidak senang Victor. Kujawil pipinya, lalu kuraih belakang kepalanya untuk mengecup bibirnya sekilas.

Pria yang berwajah datar sejak kecil ini ternyata memiliki sentuhan hangat nan halus.

Hatiku dipenuhi kelembutan tak terungkapkan. Tak sadar, aku menciumnya lagi.

Suara yang terdengar kemudian menyembunyikan getaran-getaran tak terduga. Aku tersenyum dan melepaskannya.

MC: "Terima kasih telah membuka diri lebih banyak."

MC: "Dapat dipastikan, tak peduli sisi Victor yang mana, kau tetap pria favoritku."

Victor menatapku sekilas lalu tiba-tiba tersenyum.

Victor: "Apakah kau mengatakan yang sebenarnya?"

MC: "Kau bisa bilang semuanya."

Victor: "Tepat begitu."

Victor: "Kalau begitu, biarkan aku mendengar kebenaran ini.

Sinar matahari yang jatuh dari langit-langit menggantungkan bayangannya padaku. Perlahan-lahan, bayangannya dan bayanganku tumpang tindih di berkas-berkas cahaya.

Ujung jarinya, telapak tangannya, membelai hatiku yang berapi-api. Seolah-olah dia sedang berusaha menyingkirkan semua ide dalam kepalaku.

Waktu terentang tanpa batas dalam dua napas yang berpadu.

Dan kebekuan waktu itu meleleh sebagai kasih yang membujur dan terajut.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro