Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4

Matahari pagi menyinari wajahku lewat jendela mobil. Tanpa sadar, aku mengangkat tanganku.

Tadi malam, akhirnya aku tidak bisa tidur. Aku malah mengingat bagaimana sosok Victor yang malu-malu. Semakin aku memikirkannya, rasa kantukku kandas. Kini, rasa kantukku menumpuk dan aku akhirnya tertidur dalam perjalanan pulang.

Jarang-jarang, aku melihat Victor tidak mengkritikku. Pria itu hanya menyetel musik berirama tenang sepanjang waktu.

Entah sudah berapa lama dia menyetir, akhirnya mobil berhenti. Cahaya hangat yang kurasakan di kelopak mata sejenak menghilang. Lalu, bunyi napas yang akrab itu mendekatiku.

Victor: "Bangun! Kita sudah sampai."

Aku membuka kelopak mata yang terasa berat. Aku memandang luar jendela lalu menemukan pemandangan sekitar sini terlihat asing.

Sebuah bangunan kecil untuk satu keluarga berdiri di pinggiran jalan yang tenang. Pagar luar mengelilingi taman kecil dengan tanaman hijau di dalamnya.

Jika diperhatikan lebih dekat lagi, hampir tidak ada rumput atau tanaman liar di taman. Sepertinya, taman ini baru saja dirapikan.

MC: "Di mana ini? Bukannya kita akan pulang?"

Victor: "Aku tinggal di rumahku yang terletak di pinggiran kota. Di sini adalah tempat keluargaku tinggal jika mereka singgah ke Loveland."

Victor: "Papaku memanggil tukang pipa untuk perbaikan sebelum tahun baru. Dan ngomong-ngomong, Papa menyuruh orang membersihkan rumah ini lalu memintaku membawamu beristirahat di sini selama beberapa hari."

Victor membuka pintu. Segera saja, aku memandang ruangan di depanku dengan heran.

Rumah ini didekorasi secara sederhana. Namun, warnanya lebih lembut dari rumah Victor. Kehangatan pun terasa di seluruh ruangan.

Sinar matahari menerangi rumah melalui jendela, lewat ke langit-langit tanpa batasan. Kehangatannya menyelimuti setiap sudut.

Saat memandang keluar dari jendela, hijaunya dedaunan memenuhi arah pandang. Keindahan tak tertandingi bangkit di antaranya, memberikan ilusi seakan-akan ini adalah sebuah liburan.

MC: "Ini sangat indah! Terima kasih kepada Paman Li dan CEO Li yang sudah bekerja keras!"

Setelah aku selesai bicara, aku tak bisa menahan kantuk dan langsung menguap. Victor menarikkan koperku lalu membawaku ke kamar tidur.

Victor: "Kau bisa menunggu sampai kelopak matamu bisa diajak berkompromi."

Victor: "Pergi, tidurlah dulu! Panggil aku kalau ada apa-apa."

MC: "Baik."

Aku lalu membuka koper dan berkemas. Namun, aku tak menemukan piyamaku.

Aku mengingat-ingat situasi waktu aku mengepak barangku di pagi hari, tapi, saat itu rasanya aku tidak melakukan kejanggalan apapun.

MC: "Kemarin, aku tidur di kamar Victor. Apakah dia tidak sengaja menaruh koper yang salah?"

Memikirkan hal ini, kuputuskan untuk menanyainya langsung.

MC: "Victor, kau di mana?"

Victor: "Di sini."

Suara Victor datang dari balik pintu, tak jauh dari sana. Aku melangkah maju, membuka pintu di depan. Saat melihat ruangan itu, aku benar-benar tercengang.

Di depanku adalah ruang berganti pakaian yang biasanya hanya terlihat di film-film. Pakaian-pakaian tersimpan rapi dalam lemari yang mengelilingi tiga sisi ruangan.

Victor berdiri di depan salah satu lemari. Sosoknya diterangi cahaya dari lampu sorot.

Victor telah mengganti pakaiannya dengan sebuah house coat. Sabuknya terikat longgar di pinggangnya.

Kain halus itu menempel padanya dengan lembut, menegaskan struktur kuat dirinya.

Tampaknya, Victor tidak sempat mengatur kelepak bajunya. Dadanya terbuka lebar, memperlihatkan otot-otot kekar dan keras, sungguh kontras dengan pakaian rumah yang gelap.

Detak jantungku berpacu cepat tak terkendali. Aku berhenti di tempat. Sedikit kebingungan. Namun, mataku terpancang pada sosoknya.

Victor: "Ada apa?"

Aku mendengar suaranya dan tersadar sedikit. Kutelan ludahku lalu berbicara.

MC: "Hm, aku tidak menemukan piyamaku. Mungkin, aku memasukkannya ke dalam koper yang salah."

Victor: "Aku akan memeriksa koperku."

Victor berbalik lalu berjalan keluar. Sekilas, aku melirik tumpukan kemeja yang tertata rapi di lemari.

Sebuah ide mendadak muncul di kepalaku. Tanpa sadar, aku menghentikan Victor.

MC: "Tunggu!"

MC: "Aku ... aku tiba-tiba ingat kalau aku tak sengaja mengotori piyamaku. Bolehkah aku meminjam bajumu?"

Victor: "Kau tak akan nyaman tidur memakainya."

Meski mengatakan ini, dia membongkar lemari, mengambil kemeja putih lalu mengangsurkannya kepadaku.

Victor: "Yang ini cukup lembut. Cobalah kalau-kalau ini enak dipakai."

Aku mengambil kemeja itu, mematut-matutkannya dengan diri sendiri. Aku menyampirkannya di kaki. Kain tipis itu agak transparan rupanya.

MC: "Apa ini sedikit lebih pendek?"

Rasa panas naik ke ujung telingaku. Kulihat cermin dengan sedikit keraguan di hatiku.

Tapi, ketika aku mengingat ekspresi malu-malu Victor tadi malam, aku menguatkan hati. Kuberanikan diri untuk mencoba lagi.

Aku memeluk kemeja di tangan, berbalik, lalu berjalan keluar setelah berterima kasih.

MC: "Kalau begitu, aku akan mencobanya! Terima kasih, Victor!"

Victor sendiri-dia baru saja mengeluarkan celana pendek musim panas dari bagian bawah lemari. Dia berniat memberikan celana pendek itu pada gadis di belakangnya. Namun, rupanya, gadis itu telah bergegas pergi.

Victor melirik arah kepergian gadis itu, lalu mendesah pelan.

Victor: "Dia bahkan tidak membiarkan orang selesai bicara."

Victor membereskan pakaian yang berantakan. Dia mengingat kalau gadis itu bahkan belum sarapan. Dia pun kembali ke kamar tidur, mengetuk pintu pelan-pelan. Mula-mula, Victor hanya berencana menanyakan apakah gadis itu sudah lapar.

Sayangnya, tidak ada tanggapan dari kamar. Victor kemudian membuka pintu dengan agak curiga.

Victor: "MC!"

Victor: "....!"

Meskipun waktu belum lama berlalu, gadis itu telah tertidur sambil memeluk bantal. Kemeja yang baru saja dia pinjam dikenakan asal-asalan di tubuhnya.

Gadis itu tidak menutup dirinya dengan selimut. Dia bahkan lupa menutup gorden. Sinar matahari berkilau-kilau di punggungnya, mengungkap garis-garis tersembunyi di bawah tipisnya kemeja.

Victor berdiri di tempat, canggung. Tangannya memegang gagang pintu sementara dia sendiri dalam keadaan dilema.

Gadis itu tampaknya tidak tidur dengan nyenyak. Dia meracau dan berceloteh sedikit, lalu membenamkan wajah di bantal lagi.

Victor menghela napas. Dia berjalan pelan-pelan, menutup gorden, lalu menyelimuti gadis itu.

Victor mengulurkan tangan, dengan lembut menjauhkan dahi gadis itu dari bantal. Setelah itu, Victor berkata dengan suara lirih, mengingatkan gadis itu.

Victor: "Jangan tutup wajahmu dengan bantal."

MC: "Hmm, Li Zeyan ... Zeyan .... "

Victor: "Ya?"

MC: "Imutnya .... "

Victor: " .... "

Victor melihat gadis itu menyeringai dalam tidurnya. Ini ekspresi yang sama saat gadis itu mengatakan nama itu semalam.

MC: "Itu adalah kakak tersayangku, Zéyán gēgē-ku seorang!"

Emosi-emosi tak terlukiskan muncul dalam benak Victor. Dia segera bangkit lalu meninggalkan kamar tidur. Victor bersandar di dinding dan menarik napas dalam-dalam.

Victor: "Si Bodoh ini .... "

Ketika aku membuka mata lagi, langit sudah gelap.

Aku melihat selimut menyelimutiku dengan rapat lalu mengusap kepalaku dengan sebal.

Sebenarnya, aku ingin berganti baju dan menunggu Victor. Tapi, tempat tidur di sini sangat nyaman sehingga aku begitu saja tertidur setelah berbaring sebentar.

Aku duduk lalu menatap lengan panjang kemeja Victor.

Mungkin karena napas kehadirannya melingkupiku, aku bisa tidur senyenyak ini.

Meskipun sedikit tidak rela, aku mengerti, hanya ini cara Victor mengungkapkan perasaannya.

MC: "Victor, kau ini benar-benar si bodoh besar!"

Aku tak bisa menahan omelan meski hatiku menghangat.

Suara-suara gemerisik lantas datang dari dapur lantai bawah. Aku merasakan kekosongan di perutku. Aku berganti baju lagi, lalu melesat ke bawah.

Victor menoleh ketika mendengar suara itu. Meski demikian, ekspresi familier itu masih datar saja.

Victor: "Akhirnya bangun juga. Kupikir, kau akan tidur sampai besok."

MC: "Bagaimana mungkin aku melewatkan makan malam yang kau hidangkan?"

MC: "Tapi, membicarakan ini, aku juga ingin berterima kasih pada Victor Li karena telah membantuku membetulkan selimut."

Victor: "Tak perlu sungkan. Aku hanya tak ingin liburan ini berubah jadi kegiatan merawat seorang dummy yang masuk angin."

Aku diam-diam mengulum senyum. Kudekati Victor lalu melirik penasaran masakan di dalam panci.

Melihatku menjulurkan kepala di sampingnya, Victor menaruh sendok ke tanganku.

Victor: "Sini! Bantu aku kalau kau ingin makan lebih cepat."

Cahaya kuning hangat menerangi sudut ini. Victor dan aku berdiri berdampingan di samping meja persiapan.

Meski rencana piyama juga gagal, aku masih sangat puas bisa melewatkan waktu berlibur di mana aku bisa melihat Victor begitu aku membuka mata.

Sementara waktu, tampaknya aku harus menyingkirkan semua pemikiran penuh kehati-hatian itu dan fokus menikmati waktu penuh kedamaian bersama Victor.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro