Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 3

Setelah makan malam, seperti biasa, kami semua bermain mahyong.

Beberapa ronde berlalu. Para tetua tampak sedikit mengantuk. Satu persatu, mereka bangkit lalu meninggalkan meja. Sebelum naik ke lantai atas, Paman Li berbalik lalu mengucapkan beberapa kalimat.

Paman Li: "Kamar tamu sudah dibersihkan. Kalau kau mengantuk, tidurlah di sana."

MC: "Terima kasih, Paman!"

Tidak ingin mengganggu yang lain, aku dan Victor akhirnya ikut naik untuk beristirahat.

Ketika aku selesai membasuh diri, aku berjalan melewati kamar Victor. Cahaya redup menembus celah pintu yang terbuka. Victor sepertinya belum tidur.

Aku mengetuk perlahan, membuka pintu itu, lalu melihat-lihat.

Victor tengah duduk di sofa, melihat-lihat tablet PC di tangan. Sepertinya dia sedang menyibukkan diri saja. Ketika dia melihatku, Victor bangkit lalu langsung meletakkan tabletnya.

Victor: "Masuklah! Setelah minum-minum malam ini, apa kau merasa tidak nyaman?"

MC: "Tidak! Wine hari ini enak. Pantas saja, waktu menikmati wine yang kau sarankan itu memang waktu yang paling tepat."

Aku menutup pintu. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku kembali mengamati kamarnya.

Ruangan ini tertata dengan rapi. Sayangnya, tak banyak tanda-tanda kehidupan.

Di atas meja dan rak buku ditempatkan banyak benda khusus pengingat masa-masa sekolah. Ada juga tali lompat diikatkan pada kotak penyimpanan di samping.

Semua benda-benda ini tampak tidak sesuai dengan sosok Victor di depanku ini. Namun, semua benda ini menunjukkan kalau kepribadian orang memanglah tidak mudah terlacak.

MC: "Victor, apa kau tinggal di sini sebelumnya?"

Victor: "Aku selalu tinggal di Loveland City. Setelah papaku pindah ke mari, dia menaruh barang-barang masa sekolahku di sini."

MC: "Dengan kata lain, apakah ini salah satu ruang penyimpananmu?"

Victor: "Kurang lebih begitu."

Aku berjalan ke arah meja. Kulihat buku-buku yang tertata rapi di sana. Dengan hati-hati, aku menyentuh ornamen dekorasi di atas meja.

MC: "Ternyata, Victor Li juga menjalani kehidupan sekolah yang mirip denganku."

Victor: "Bukankah sudah jelas begitu?"

MC: "Jelas sekali kalau kita mengambil mata pelajaran yang sama di sekolah. Mengapa di masa depan kita menjadi begitu berbeda?"

Aku mendongak dengan sedikit rasa iri. Pandanganku menangkap beberapa kamus tebal di atas rak buku.

Kamus idiom bersampul merah terlihat menyolok di bagian luar. Aku jadi bersemangat. Aku berpura-pura berdeham lalu kembali menatap Victor.

MC: "Victor Li, izinkan aku mengujimu!"

MC: "Sebutkan idiom keempat pada halaman ke-16 kamus idiom ini!"

Victor: "Apa yang sedang kau bicarakan?"

MC: "Karena kau suka menggunakan idiom ketika bicara, aku berpikir kalau kau mungkin sudah hafal semua di luar kepala!"

Victor: " .... "

Desahan berat Victor terdengar. Pria itu tak menanggapiku. Dia malah membawaku ke sofa lalu mendudukkanku.

MC: "Ada apa?"

Victor: "Sudah dipastikan jelas. Kau sedang mabuk."

MC: "Aku tidak mabuk!"

Victor: "Itu adalah pengakuan setan arak."

(Catatan Putu: idiom 酒鬼 (jiǔ guǐ) alias setan arak bisa diartikan pemabuk)

Aku lantas memandang Victor dengan pandangan tidak percaya.

MC: "Kau juga minum banyak dengan paman saat makan malam. Apa kau mabuk?"

Victor: "Tidak."

MC: "Itu adalah pengakuan setan arak."

Aku bicara tepat seperti gayanya, mengembalikan kalimatnya untuk mendebat. Victor kemudian diam-diam mengalihkan pandangannya dariku.

Victor: "Kalau aku mabuk, siapa yang mengurusmu?"

MC: "Mungkinkah kau belum tidur karena menungguku?"

Victor: "Baru sadar, ya? Aku tahu kalau kau tidak akan langsung kembali ke kamarmu. Kupikir, lebih baik kalau aku membiarkan pintu kamarku terbuka."

Hatiku menghangat oleh ucapan itu. Aku tersenyum seraya menggenggam tangan Victor.

MC: "Apakah kau akan mengizinkanku tinggal bersamamu?"

Victor: "Selama kau tidak mabuk, tak ada masalah kalau kau ingin tinggal."

MC: "Aku tidak mabuk! Bagaimana mungkin aku mabuk! Lagipula, ruangan ini penuh dengan kenangan masa lalumu. Aku benar-benar ingin tahu lebih dalam!"

Victor menatapku. Dia menekuk kaki di lantai, berkompromi sambil memegang tanganku.

Victor: "Memangnya apa lagi yang ingin kau ketahui?"

Aku mengangkat kepala untuk memperhatikan sekeliling. Kutunjuk medali yang terpajang di atas meja.

MC: "Ini apa? Penghargaan apa yang kau menangkan ini?"

Victor: "Itu adalah Award of Model United Nations General Assembly."

MC: "Luar biasa!"

MC: "Aku pernah mendengar tentang perkumpulan seperti itu. Konon, sangat sulit untuk bergabung. Apalagi untuk memenangkan penghargaan seperti ini."

Victor: "Dipikir-pikir lagi, itu hanyalah proposal yang naif, tapi, itu bagus juga untuk latihan menajamkan pemikiran."

Aku mengerucutkan bibir menghadapi penindasan akademis semacam ini. Akhirnya, kutunjuk saja benda lainnya.

MC: "Buku catatan biru tua itu apa?"

Victor: "Itu buku dari sekolah. Seharusnya, itu adalah buku kerja dari perkumpulan siswa."

MC: "Seperti yang diharapkan dari seorang CEO Li. Saya merasa, Anda memang ditakdirkan menjadi leader sejak kecil."

Aku berjalan berkeliling kamar. Tiba-tiba, aku melihat satu benda tak terduga di sudut ruangan. Benda itu menyentuh sebuah ingatan khusus dalam batinku. Seketika saja, mataku terbuka lebar saking terkejutnya.

Aku melangkah ke kotak sarung tangan di sudut. Tanganku meraih sebuah bola sepak kempis dari dalamnya. Dengan haru, kuangkat bola itu ke depan Victor.

MC: "Tampaknya kau masih sangat suka bermain sepak bola. Kau juga masih menyimpan bola ini."

Victor: "Aku sangat suka sepak bola waktu kecil dulu."

MC: "Berkat bola sepak ini, aku bisa makan pudingmu."

Victor: "Kau hanya ingat pudingnya?"

MC: "Tentu saja tidak! Aku masih ingat banyak detail peristiwa itu! Misalnya: bentuk istana pasir yang kena bola nyasar, cuaca hari itu, dan cangkir air berwarna-warni di bawah pohon .... "

Aku tiba-tiba teringat sesuatu. Kuserahkan bola ke tangan Victor, lalu kutangkup wajahnya dengan kedua tangan.

MC: "Namun, yang paling kuingat jelas adalah dirimu yang sedikit gugup dan bingung. Saat itu, kau tak seserius ini, Victor Li."

MC: "Tinggi anak itu tampaknya hampir setinggi dadamu sekarang. Rambutnya sedikit lebih keriting dari rambutmu sekarang. Wajahnya juga sedikit lebih tembam darimu."

MC: "Itu adalah kakak tersayangku, Zéyán gēgē-ku seorang!"

Saat bicara, aku menggambarkan lingkaran di wajahnya sambil tertawa konyol. Victor menatapku tanpa bicara apapun. Dia bergeming dalam waktu lama sekali.

Suhu di bawah telapak tanganku sedikit meningkat. Aku mendekati Victor dengan ragu-ragu ... lalu kulihat pupil matanya menyipit sejenak.

MC: "Victor, ada apa denganmu?"

Reaksi Victor sedikit lebih lambat. Dia terkesiap lalu mundur selangkah. Dengan tergesa-gesa, dia melemparkan bola kembali ke kotak sarung tangan.

Victor: "Aku baik-baik saja. Ini sudah larut. Kau harus pergi tidur. Kita akan kembali ke Loveland besok."

MC: "Bolehkah aku tidur di sofamu?"

Victor: "Tidak! Kembalilah dan tidur di kamarmu!"

MC: "Kau baru mengatakan kalau aku boleh tinggal .... "

Victor: "Aku berubah pikiran."

Aku melihat Victor menghindari tatapanku. Sedikit demi sedikit, aku memahami sesuatu. Jadi, aku segera memunggunginya.

MC: "Kau ini tidak tahu malu. Kalau kau ingin meyakinkan orang lain, kau harus memberikan alasan yang masuk akal!"

Victor: " .... "

MC: "Tapi, kalau kau merasa malu, aku bisa mengerti."

Victor: "Memangnya apa yang membuatku malu?"

Mendengar nada bicara yang canggung itu, diam-diam aku tersenyum lalu berbalik untuk memeluk Victor.

MC: "Kalau begitu, aku akan berlaku seolah-olah kau telah berjanji untuk membiarkanku menginap semalam."

Kudengar helaan napas berat dari Victor. Seolah-olah, pria itu tengah menahan sesuatu.

Aku menoleh. Emosi yang kompleks tampak bergolak dan berputar-putar dalam mata Victor.

Sesaat kemudian, emosinya tersalur dalam pelukan yang membelengguku di atas tempat tidur.

Victor: "Kaulah yang ingin tinggal."

MC: "Aku .... "

Victor: "Kau terlalu banyak bicara hari ini."

Seolah-olah tak tahan lagi mendengar ocehanku, Victor menunduk, mulutnya menahan bibirku layaknya sedang memberi hukuman.

Geliginya menggores sudut bibirku hingga aku merintih. Victor melepaskanku sedikit, lalu mengarahkan jarinya ke bibirku.

Victor: "Sssh! Papaku tak pernah tidur lelap. Jangan bangunkan dia."

Aku tertegun sejenak, baru sadar kalau kamar Paman Li tidak jauh dari sini. Menyadari hal ini, wajahku memerah seketika. Aku menutup mulut lalu mengomel lirih.

MC: "Kenapa kau tidak mengatakan ini sebelumnya?"

Victor: "Sekarang kau sudah tahu, kan."

Aku menatap Victor dengan marah. Namun, ini tidak memengaruhi keinginannya. Dia mencekal tanganku yang tegang. Satu tangannya menopang bawah leherku. Dia sedikit mengangkat kepalaku, lalu menekankan ciumannya lagi.

Kali ini, gerakannya lebih ringan. Ujung lidahnya menyentuh bibirku, bergesekan tanpa kendali lalu berkelana dari ujung yang satu ke ujung yang lainnya.

Bibirku rasanya membengkak, mati rasa. Rasa hangat menyebar dalam mulut yang basah oleh napasnya. Udara di sekitar kami seolah-olah kian menipis dan menghilang ....

Kepalaku ringan dan melayang-layang, tanpa sadar aku telah menggantungkan diri padanya. Kedua tanganku berpegangan erat pada kemeja Victor, mempertahankan keseimbangan.

Tubuhku begitu saja terperangkap, secara pasif mengikuti kemauannya ... perlahan-lahan hanyut oleh hasratnya.

Suara jam masih terdengar. Victor bahkan tak repot-repot menghentikan waktu seperti yang siang tadi dia lakukan. Saat ini, aku pun tak lagi peduli dengan dunia atau hal-hal di sekitarku ....

Di antara pergumulan, pakaian yang kusut masai, dan liontin yang meluncur ke sisi lain tempat tidur, suara teredam itu akhirnya tak terdeteksi lagi.

Sebagai pengingat, Victor perlahan mengakhiri ciuman hening nan intens ini dengan menempelkan hidungnya di pipiku.

Kecuali napas yang terengah-engah, tak ada lagi suara di malam sunyi. Kami saling berpandangan, terdiam beberapa saat. Victor kemudian memalingkan wajah dan bangkit.

Mengingat tanganku masih menggenggam kemejanya, dia berhenti. Pria itu meraih tanganku dan dengan lembut menariknya lepas dari kemeja.

MC: "Victor .... "

Victor: "Tidurlah sekarang."

MC: "Apa?"

Victor: "Kau tidur di sini. Aku akan tidur di kamar tamu."

Victor tak memberiku waktu untuk bereaksi. Setelah selesai bicara, dia buru-buru meninggalkan ruangan tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.

Sesaat, aku terpaku. Aku bangkit dari tempat tidur lalu melihat pintu dengan bingung.

Aku membuka telapak tanganku, mengingat panas saat telapak tangan ini menyentuh pipinya.

Apakah Victor ... sedang malu?

Apakah dia malu karena ciuman tadi? Tapi, mengapa siang tadi dia tampak biasa-biasa saja di dapur?

Meski belum tahu alasannya, saat ini, diam-diam aku merasa menang.

MC: "Ternyata, kau masih pemalu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro