DS : PENGECUT!
Aku takut..
Aku takut..
Seseorang.. tolong aku..
Aku benar-benar takut..
AKU SERIUS, AKU SANGAT TAKUT!
☆ ☆ ☆
Aku benci hari ini.
Hari dimana anak sekolah libur dan orang dewasa bekerja. Aku benci hari itu. Seperti saat ini.
Bukannya aku membenci rumah, tapi rumah menjadi sangat menyeramkan saat ini. Lebih menyeramkan dibanding rumah kosong yang banyak "penghuni"nya.
Kau tahu kenapa?
Aku memiliki sebuah trauma tersendiri di rumah.
Baiklah, akan kuceritakan.
Dulu sekali, saat aku masih TK, aku selalu bermain ke rumah sepupuku sepulang dari TK. Dan aku selalu sulit diajak pulang jika sudah bermain. Itu hal yang umum bukan? Dahulu kau juga pasti seperti itu kan?
Ibuku selalu saja kesal karena hal tersebut. Tapi sama seperti anaknya, sang ibu pun pandai menggunakan topeng. Ia menggunakan topeng "baik" untuk menyeretku pulang. Tapi apa nyatanya?
Saat sampai di rumah, aku dibanting. Aku ingat sekali rasa sakitnya, meski itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Setelah itu ibuku meluapkan hal yang membuatnya kesal. Apapun barang yang ada di dekatnya akan dilemparnya ke arahku. Saat itu benda yang berada di dekatnya adalah kipas bambu, gelas plastik yang tebal, buku, dan penggaruk punggung. Sakit, rasanya sangat sakit. Yang paling menyakitkan adalah ketika kepalaku dipukul menggunakan kipas bambu. Sakit, kepalaku terasa pusing. Apalagi aku terus menangis dan berteriak agar ibuku berhenti.
Namun sia-sia. Itu tidak berhenti.
Ibuku menjambak rambutku yang panjang, mencubit pahaku, menamparku, memukulku. Sakit, tapi aku tak bisa lari.
Aku tahu aku salah. Kumohon maafkan aku! Maafkan aku yang sudah melanggar janjiku bahwa aku tidak akan pernah sulit diajak pulang!
Namun tidak cukup disana, ibuku pergi ke dapur dan mengacak-acak kotak perkakas. Ia mengambil obeng. Ia todongkan padaku obeng tersebut dan mengancam jika aku tidak keluar dari rumah itu, ia akan membunuhku. Aku kalap. Suara tangisanku makin menjadi. Ibuku malah berkata teruskan saja tangisanku, perkeras suaraku, kemudian beritahu semua orang bahwa ibuku hendak membunuhku. Ibuku sama sekali tidak takut masuk ke dalam penjara.
Lama-lama aku terpojok. Dan tak ada pilihan lain selain harus keluar dari rumah itu sebelum aku benar-benar ditusuk oleh obeng tersebut.
Aku pun keluar dari rumah dan menangis. Ya, hanya keluar. Tapi aku tidak beranjak untuk pergi dari sana. Aku terus memohon kepada ibuku untuk memperbolehkanku masuk. Kata-kata yang sangat kuingat adalah :
"Ibu, biarkan aku masuk! Aku sangat menyayangimu bu!"
"Mungkin kau menyayangiku, tapi tidak denganku! PERGI! KAU SUDAH BUKAN ANAKKU LAGI! AKU TIDAK PERNAH MEMPUNYAI ANAK PEMBANGKANG SEPERTIMU!"
Hatiku sangat tertusuk saat itu. Benar-benar sakit. Dan aku bersyukur itu hanya masa laluku. Aku harusnya tidak boleh memikirkannya lagi.
Namun..
Apa dayaku jika hal itu kembali terulang?
Ya, hari ini kejadian itu kembali terulang. Dan itu sangat membuatku ketakutan. Padahal bukan aku yang mengalaminya. Tetapi adikku.
Hari ini, ketika aku baru membuka mataku--karena dihari libur, aku bangun agak siang--aku sudah disambut oleh teriakan ibuku yang mengomeli adikku karena adikku yang terus saja memakan jempol. Awalnya biasa, namun semakin kesini semakin terasa menyeramkan. Ibuku mulai mengungkit-ngungkit aku.
"Yang kecil, bohong karena jempol. Yang gede, bohong karena anime. Gw punya anak kenapa gak ada yang bener?! Mending gw gak punya anak sekalian! Enak gw, gak usah cape-cape masak, kerja, banting tulang buat anak!"
Firasatku sudah buruk. Benar-benar buruk.
Berikutnya adikku diseret keluar, namun ia mengelak. Ia terus memohon agar diampuni. Ia pun diampuni. Tetapi dengan syarat harus membuat perjanjian bahwa ia tak akan pernah memakan jempolnya lagi.
Setelah selesai, kukira permasalahan hari ini akan selesai begitu saja. Tapi tidak. Seharian ini aku selalu menangis.
Siangnya, disaat aku sedang belajar, adikku melanggar janjinya. Ia memakan jempolnya. Dari situlah suasana menjadi sangat menakutkan. Ibuku menendang adikku, menginjaknya. Sedangkan aku terus berdoa semoga adikku tidak apa-apa. Setelah itu, ia berkata :
"KAMU PILIH, MAU KELUAR DARI RUMAH INI, JEMPOLNYA DIPUKUL, ATAU JEMPOLNYA DIBUNTUNGIN?! AYO PILIH!"
Adikku menggeleng. Ia tidak mau semua itu. Akupun seperti itu. Dahulu aku pernah diberi pertanyaan semacam itu. Dalam hati, aku berkata "Lebih baik jempolmu dipukul."
Namun adikku bersikeras tidak mau dihukum atas kesalahannya. Ibuku pun pergi ke dapur dan kembali membawa pisau. Ini tidak sama, bahkan lebih seram! Adikku berlari ke arahku. Sedangkan ibuku mengejar adikku. Disinilah aku melihat adikku seperti aku dizaman dahulu. Aku merasa menjadi seorang pengecut. Aku tak bisa menolong adikku. Ibuku terus saja menodongkan pisaunya kepada adikku. Aku terus bergetar ketakutan. Air mataku hampir jatuh karena saking takutnya.
TOLONG, AKU BENAR-BENAR TAKUT!
Adikku terus mendorong tangan ibuku yang berusaha menusuk jempolnya itu. Dan yang membuatku lebih takut lagi adalah...
...pisau itu hampir mengenaiku!
Aku saaaaaaaangat ingin menolong adikku. Aku teringat, dahulu saat aku akan ditusuk menggunakan obeng, hatiku menjerit minta tolong. Tapi apalah daya? Itu siang hari dimana semua orang sedang tidur dan dirumah hanya ada aku dan ibuku. Aku yakin adikku juga merasa seperti itu. Ia ingin meminta tolong padaku. Tapi aku pengecut. Aku takut dengan pisau itu. Aku takut mengambil resiko jika seandainya pisau itu malah menancap di dadaku. Pengecut. Aku benar-benar pengecut. Nyatanya, bisa menyelamatkan orang lain dengan mempertaruhkan nyawa hanyalah materi dalam kamusku. Dalam praktek, aku tidaklah sepemberani itu.
Dadaku sakit.
Aku merasa telah menelantarkan diriku di masa lalu.
Aku merasa telah gagal menyelamatkan diriku di masa lalu.
Aku.. benar-benar seorang pengecut!
Andai hari ini aku bersekolah, maka kejadiannya akan persis seperti aku dahulu.
Aku benar-benar pengecut, hanya mematung dikala pisau itu sudah hampir menggesek kulit adikku. Aku hanya bisa menuruti perintah ibuku yang menyuruhku untuk mandi. Saat mandi, ibuku berteriak pada adikku.
"PERGI KAMU! KALO HARI INI SAYA MASIH BISA LIHAT KAMU, KAMU BISA MATI DITANGAN SAYA! PERGI! SAYA GAK PEDULI KAMU MAU JADI ORANG GILA KEK, PENGEMIS KEK, GEMBEL KEK, PERGI!!!"
Itu yang bisa kudengar dari kamar mandi. Aku hanya menangis dalam diam di kamar mandi. Sekali lagi, kukatakan bahwa aku saaaaaaangat ingin menyelamatkan adikku. Tapi aku sangat pengecut karena tidak berani mengambil resiko.
Hatiku hanya menjerit, "PERGILAH DIK! SELAMATKAN DIRIMU! KEHIDUPANMU MASIH PANJANG! JANGAN SAMPAI KEHIDUPANMU BERHENTI DISINI! PERGII!!!"
Karena itu adalah salah satu penyesalanku.
Kenapa dahulu saat aku sudah keluar, aku tidak benar-benar pergi saja? Seandainya aku benar-benar pergi, adikku tidak akan pernah mengalami ini. Adikku tidak akan pernah lahir.
Karena akulah yang dahulu ingin mempunyai seorang adik.
Lagi-lagi ini salahku.
Ibuku mengatakan bahwa hatiku sudah sangat keras. Sekeras batu. Namun jika memang itu benar, mengapa aku bisa menangis?
Jika neraka dunia memang seperti ini, bagaimana neraka di akhirat nanti?
Jujur, aku masih sangat ketakutan.
Rasa trauma itu kembali menghantuiku.
TOLONG! AKU TAK BISA BERHENTI MENANGIS!
-The End-
-Asahina Mizu-
Kamis, 11 April 2019
1083 words
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro