Chapter 3
Masih soal Lisa. Jika di chapter 2 aku membahas soal persahabatanku dengan Miku, di chapter ini aku akan memberitahu persahabatanku dengan Lisa dan seorang kakak kelas. Ah! Begini. Sejak kelas 1 hingga kelas 3, aku bersahabat dengan Salsa dan Shifa. Kelas 5, aku bersahabat dengan Lisa dan seorang kakak kelas, namanya Faris. Kelas 6 hingga sekarang, aku bersahabat dengan Miku.
Mungkin judul yang tepat untuk chapter kali ini adalah "Persahabatan." Lebih tepatnya sih, bagaimana persahabatan itu dimulai dan bagaimana persahabatan itu hancur.
Kumulai dari persahabatanku dengan Salsa dan Shifa. Salsa dan Shifa itu saling bertetanggaan. Atau mudahnya Salsa dan Shifa itu rumahnya saling berhadap-hadapan. Hanya aku yang rumahnya sangat jauh dari mereka. Kukira mereka sudah saling mengenal sejak dahulu. Namun aku salah. Mereka baru saling mengenal ketika hari pertama kelas 1 SD.
Aku mengenal Shifa sudah sejak pendaftaran SD, sedangkan Salsa aku tidak begitu mengingatnya, kapan aku berkenalan dengannya. Namun, betapa bodohnya aku. Aku mengajak mereka bersahabat setelah 10 hari kami berteman. Yaa.. Walau aku tidak mengingat itu, tapi aku pernah membacanya di buku diary ku dulu. Aku mungkin pernah menulisnya.
Awalnya baik-baik saja. Sama sekali tidak ada pertengkaran. Namun, suatu hari aku mulai sering merasa kesal dengan Salsa. Karena, hampir setiap perilakunya adalah kriteria orang yang akan kubenci.
Bukan, lebih tepatnya bukan benci. Namun tidak suka. Aku tidak pernah membenci sesuatu. Aku hanya tidak menyukainya. Benci dan tidak suka itu berbeda. Jika diibaratkan sebagai laut, benci adalah dasar laut. Sedangkan tidak suka adalah permukaan atau tengahnya saja. Ini kriteria orang yang tidak kusukai :
1. Tidak mau mengakui kesalahannya
2. Jahil
3. Tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berbicara
4. Tidak pernah intropeksi diri
Dan setelah berteman lama dengan mereka, aku pun sadar bahwa Salsa memiliki keempat sifat itu.
Contoh dari tidak mengakui kesalahan dan kejahilannya ialah, ketika aku kehilangan kotak pensil, Salsa tertawa. Bukankah itu sudah jelas, berarti dia yang menyembunyikannya? Aku terus mendesaknya untuk memberitahuku dimana letak kotak pensilku. Dan tiba-tiba saja kotak pensilku berada di mejaku.
"Tuh, aku gak ngumpetin kan? Makanya buka matanya!" Begitulah katanya.
Aku tidak suka mereka yang selalu mengejek fisikku. Mereka selalu mengejekku "sipit", "cina", dan sebagainya yang berhubungan dengan mataku. Kalau kau mau tahu, sekarang ada undang-undangnya yang intinya berisi tidak boleh mengejek fisik ataupun nama. Jika orang yang diejek itu tersinggung lalu melaporkanmu ke pihak yang berwajib, kau bisa dipenjara.
Yah, aku jujur saja masih selalu berusaha sabar untuk mereka yang senang mengejek fisikku. Tapi dari seluruh waktuku bersekolah, yang terparah adalah ketika SD. Mereka terus saja mengatakan ejekan itu berulang-ulang.
Terutama aku sangat kesal jika yang mengejekku adalah sesama perempuan. Karena kupikir, seharusnya sesama perempuan saling melindungi. Jika ada temannya yang diejek, jangan ikut-ikutan mengejeknya. Tapi belalah teman yang diejek tersebut. Dan aku lebih kesal lagi mengetahui bahwa saat itu perempuan yang suka mengejekku adalah sahabatku sendiri.
Suatu hari, puncak dimana aku sangat kesal, aku menyendiri. Yah, ini disaat persahabatan kami sudah hancur. Tepatnya sewaktu kami kelas 4 SD. Waktu itu aku sangat kesal, mereka pun tahu aku kesal kepada mereka. Tapi mereka tidak minta maaf kepadaku. Bahkan dijam istirahat pun biasanya Shifa akan mengajakku untuk makan bersama. Tapi saat itu tidak. Akhirnya aku hanya diam di tempat dudukku yang memang dipojok kelas. Sedangkan tempat duduk mereka berdua memang depan-belakang. Tempat duduk mereka berada di tengah kelas.
Lihat? Entah itu rumah ataupun tempat duduk. Selalu ada jarak diantara kami. Aku hanya makan sendiri di tempat dudukku dan mengamati mereka yang bercanda tanpa ada beban. Kemudian datang Lisa. Aku ingat sekali, saat dia datang, mereka diejek dengan kata toba toba.
Jika kalian pernah menonton serial Baalveer, kalian akan tau siapa toba toba itu. Toba toba adalah nama seorang kurcaci di serial baalveer. Aku tidak heran mereka berdua diejek seperti itu. Karena saat itu mereka tidak cukup tinggi.
Mau tahu apa yang membuatku sangat kesal? Itu adalah perkataan Salsa setelahnya.
"Ih, Lisa. Kamu gak boleh gitu. Nama orang tuh gak boleh dikata-katain."
BANGS*T! MEMANGNYA APA YANG TELAH MEMBUATKU MARAH SEPERTI INI HA?! ITU KARENA KAU MENGEJEK NAMAKU JUGA!
Dan aku masih penasaran, kenapa perkataannya saat itu masih sangat kuingat. Bahkan setiap katanya masih sama.
Entah hari itu memang kesialanku atau bagaimana, di hari yang sama pula, ketika aku baru selesai dari musholla, sepatuku dibawa lari oleh seorang temanku yang bernama Jessie. Ia membawa sepatuku dan aku mengejarnya. Jessie berlari ke arah kelas. Sudah kubilangkan? Aku sangat tidak menyukai kejahilan. Namun saat aku berada di dalam kelas, aku menemukan Jessie tanpa memegang sepatuku. Aku menggebrak meja dan bertanya dengan nada teriak padanya. Aku tau persis pada saat itu aku menjadi pusat perhatian di dalam kelas. Tapi untunglah masih di jam istirahat.
"JESSIE! MANA SEPATU AKU?!" Teriakku.
"Huh? Di tong sampah." Itulah jawabannya.
Aku langsung pergi ke tong sampah di depan kelas. Dan aku menemukannya. Aku benar-benar kesal di hari itu. Soal rusaknya persahabatanku dengan Salsa dan Shifa ialah :
1. Aku dan Salsa yang setiap hari bertengkar
2. Salsa dan Shifa yang sering bertengkar
3. Shifa yang merasa tidak nyaman karena selalu disuruh-suruh oleh Salsa. Tapi ibu Shifa tidak memihak Shifa. Karena, ibunya Shifa bilang, "Makanya kamu tolak dong! Jangan mau dibabuin ama Salsa!" Tapi sama denganku, Shifa tidak bisa menolak.
Kemudian di kelas 5, baru beberapa hari setelah aku dekat dengan Lisa, ia mengajakku untuk bersahabat juga. Jujur saja aku agak trauma. Jadi aku belum menerimanya saat itu. Karena aku belum mengetahui sifat asli Lisa saat itu. Namun ia sudah menganggapku seperti sahabatnya. Seperti yang kubilang, ada seorang kakak kelas juga yang menjadi sahabatnya. Yakni Kak Faris. Namun Kak Faris sebenarnya lahir di tahun yang sama dengan kami. Hanya saja dia di bulan Januari.
Sejak hari dimana Lisa memutuskan untuk menjadi sahabatku, di jam istirahat selalu saja ia menarikku ke tangga untuk berkumpul. Kami biasa menjadikan tangga sebagai tempat berkumpul.
Mau tahu hal yang menarik? Meski kami berkumpul, satu-satunya yang berbicara adalah Lisa. Bahkan dia tidak memberiku kesempatan untuk ikut bercerita. Bahkan aku sudah bosan dengan hal yang ia ceritakan. Selalu sama.
Singkat cerita, aku sadar bahwa Kak Faris menyukaiku. Hingga di hari terakhir sebelum kelulusannya, ia menyatakan perasaannya padaku.
"Miz, sebenernya aku udah lama suka sama kamu. Kamu mau gak jadi pacar aku?"
Setengah perasaanku mengatakan tidak, dan setengahnya lagi mengatakan iya. Ah tidak. 2/3 diriku mengatakan tidak. Alasan pertama aku menolaknya ialah karena ia menyatakan perasaannya di hari terakhir kami berkumpul. Oh ya, pada saat itu juga ada Lisa disana. Alasan kedua aku menolaknya ialah aku tidak diizinkan berpacaran oleh orang tuaku. Alasan ketiga aku menolaknya ialah, saat itu aku masih SD. Aku tidak ingin membuat sekumpulan "sampah" pada saat aku sudah dewasa nanti.
Dan yang membuatku ingin menerimanya saat itu hanya satu. Karena aku memiliki perasaan yang sama dengannya. Namun hari itu buruk sekali. Aku malah tidak menjawab apapun dan Lisa yang terus menekankan bahwa jawaban dariku adalah "Tidak."
Dan hari itu, 13 Mei adalah hari terakhir kumelihatnya dan hari terakhir dari persahabatan kami.
Dan awal dari persahabatanku dengan Miku ialah diriku dan dia yang mempunyai hobi yang sama, yaitu menonton anime. Namun dahulu persahabatan kami sempat renggang karena Miku yang menjauhiku hanya karena ia menyukai orang yang sama denganku. Padahal aku tak masalah. Jika orang yang kusukai malah menyukai sahabatku, aku sama sekali tidak masalah. Aku akan tetap bersahabat dengannya seperti biasa.
Tapi itu semua sudah bukan masalahku lagi. Sekarang sekolah kami berbeda. Tapi hubungan persahabatan kami tetap sama. Masih belum terputus. Tidak. Bukan belum. Tapi tidak akan.
Selama pengalamanku bersahabat, aku hanya belum pernah bertengkar dengan Miku. Entahlah, kami belum pernah benar-benar bertengkar.
Miku itu adalah tempat curhatku. Karena meski sekarang kami berbeda sekolah, aku tetap hanya curhat kepada Miku. Tidak kepada ibuku, ayahku, atau teman dekatku di sekolah. Aku hanya memberi tahunya kepada Miku. Karena aku percaya padanya. Bukan berarti aku meragukan teman dekatku di sekolah yang sekarang.
Aku hanya "belum" mempercayai mereka. Jika dari Pall, Gigi, Koko, Vivi, dan Kiki, maka aku tebak aku akan lebih dahulu mempercayai Pall. Yah, itu jika lewat chat. Jika secara kenyataan, aku lebih mempercayai Koko.
Pall adalah tipe yang.. bisa dibilang pemalu(?) Tetapi ia merupakan pendengar yang baik. Ia tak hanya mendengarkan dan menanggapi. Tapi ia juga memberi solusi untuk itu. Mengapa aku hanya curhat padanya lewat chat? Pertama, dia akan lebih tutup mulut jika lewat chat. Kedua, dia benar-benar melepaskan segala rasa malunya jika di chat. Karena kalau aku curhat padanya di dunia nyata, yang ada dia hanya melawak tanpa menanggapi curhatanku. Jujur saja, selama di chat, aku sangat jarang salah ketik. Jika sampai salah ketik, hanya ada dua hipotesis. Entah itu karena keyboardku error atau karena diriku yang sedang menangis sehingga tidak dapat melihat keyboard dengan baik. Dan aku selalu menangis setelah curhat kepada Pall. Itulah hal yang kusuka jika curhat padanya.
Kalau Koko, kebalikan dari Pall. Ia hanya akan menanggapiku jika aku curhat kepadanya secara langsung. Dia tak akan menanggapiku secara serius jika di chat. Namun, seperti yang kubilang. Yang memberi solusi atas masalahku hanya Pall. Jika aku curhat kepada Koko, itu hanya membuatku tenang tanpa menyelesaikan masalah.
Bagaimana dengan yang lain? Jujur saja aku masih belum percaya dengan sisanya. Pokoknya pada saat ini yang mendekati kriteria sahabatku adalah Koko dan Pall.
Tapi bagaimanapun juga, aku menginginkan sosok sahabat yang humoris, ceria, bisa menghiburku. Dan tentu saja, dari kriteria orang yang tidak kusuka, biasanya kata "Jahil" pasti akan selalu ada di setiap orang. Yah, kalau Pall, dia tidak pernah berbuat jahil. Sama seperti Gigi dan Vivi. Mereka tidak pernah jahil terhadapku. Ya, hanya terhadapku.
Tapi, satu yang membuatku ragu apa aku bisa menerima ini. Apa kau tau rasanya ketika dirimu menganggapku sahabatmu tapi aku hanya menganggapmu sebagai teman? Bahkan aku tidak menganggapmu apa-apa. Itulah perasaan yang kukhawatirkan saat ini.
Aku tau, meski Pall menyembunyikannya, aku bisa melihat jelas bahwa ia memiliki sifat yang saling bertolak belakang juga. Sama sepertiku. Tapi ia tidak pernah mau mengakuinya.
Di satu sisi, Pall tidak menganggap kami sebagai apa-apa. Bahkan kami tidak dianggap teman olehnya. Tapi disisi lain, ia menganggap kami adalah teman dekatnya. Itu bisa kulihat jelas dari cara berbicaranya dan juga cara bertingkahnya saat sendiri.
Namun aku merelakan. Jika memang aku menganggap mereka sahabat, dan mereka tidak menganggapku sebagai apa-apa dalam kehidupan mereka, aku akan relakan.
Sama seperti Koko yang menganggapku sebagai sahabatnya tapi tidak denganku.
Bukan tidak. Tapi belum.
Bersambung...
Yoosh~ Panjang juga ya? Tapi kayaknya gak nyampe 10 chapter. Ah! Aku suka banget sama ending cerita ini. Jadi baca terus ya!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro