Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 3 - Dua Rival

****

Antara kawan dan lawan, dalam satu raga yang sama.

Lagi, haruskah ada yang harus dikorbankan?

Keras.

Demi sebuah pantulan cahaya dalam logam keemasan, di puncak tertinggi tempat ini, rasa sakit macam apa yang harus ditempuh?

Tangisan macam apa yang harus mengakhiri?

****

"Bangun."

"Nggak."

"Bangun!"

"Nggak. Males. Kalau mau piket, piket aja. Jangan ganggu saya."

Gagang sapu merah tercengkram erat dalam genggaman si gadis berseragam. Agaknya, ia benar-benar kesal kali ini. Sebab, ini sudah kesekian kali di setiap jatah piketnya, ia harus berurusan dengan pemuda yang tengah santai berbaring di atas beberapa kursi yang dijejerkannya.

Tak peduli dengan petugas piket yang harus membersihkan celah-celah di bawah kursi dan meja, ia tetap bersantai ria melanjutkan tidur siang yang terpotong karena bel masuk yang berdering.

"Rama ... Bangun! Ini sekolah, woi! Bukan di rumah! Jangan tiduran kayak di pantai!" Si gadis berseru sekali lagi. Dan jawaban yang sama lagi-lagi diterimanya dengan nada yang lebih malas.

Suara lain terdengar dari balik punggung si gadis berkacamata. "Deva ... Tolong ... aku .... Ngh."

"Nggak." Deva menolak mentah-mentah. Dirinya bahkan tidak menoleh sedikitpun pada teman sebangkunya yang sudah seperti tidak punya tulang saat ini. Kepala di atas meja, kedua tangan terkulai lemas ke bawah, dan kaki yang terlihat tidak mempunyai tenaga untuk berdiri.

"Deva .... Kalau gini caranya aku nggak bisa latihan...," rengek Shella.

"Ya itu salah siapa coba? Kenapa jadi aku yang repot?" omel sang gadis berkacamata. Dia masih berusaha membangunkan Rama dengan menusuk-nusukkan gagang sapu ke pinggang pemuda itu.

Diam-diam, Shella memperhatikan mereka berdua. Deva, dan Rama—kedua rival yang akan menjadi musuh terbesarnya di UN nanti. Dua orang yang hampir terbilang selalu bersama dengannya. Ekskul, lomba, kegiatan apapun, mereka sering dijadikan trio yang bertugas bersama—walau tak jarang juga mereka bertiga menjadi lawan main dalam suatu kegiatan.

Terdengar perdebatan kecil dari dua orang itu. Shella tersenyum tipis. Pemandangan seperti ini sudah menjadi santapannya setiap jatah piket Deva datang. Entah pagi ataupun sore, Rama selalu membuat Deva—gadis sensi itu naik pitam.

Biasanya Shella tidak pernah melerai tontonan asik ini, karena ia tak mau terbawa-bawa dan membuat dia jadi harus melakukan tugasnya sebagai tugas piket di hari yang sama dengan Deva.

"Aku mau piket!" ucap Deva. "Kalian berdua cepat bangun dan keluar! Ngehalangin tahu!"

Nada mengeluh keluar bersamaan dari mulut Shella dan Rama.

"Kalian...."

Shella tidak mau piket. Rama tidak mau berpindah dari posisi wenak-nya. Ketiga rival itu...sama-sama keras kepala. Sama-sama egoisnya.

Tak ingin mengalah, selalu ingin menjadi pemenang.

Shella pernah dengar, di saat orang-orang pintar disatukan, kelompok itu akan menjadi kuat dan overpower. Namun, jalan pikir yang berbeda, kepala batu, dan keegoisan dalam menuangkan ide agar menjadi pemenang, terkadang bukannya membuat tujuan yang ingin mereka capai terwujud, tapi malah hancur karena pondasi tiap anggota yang tak mau saling mendukung.

Shella pikir apa yang dikata orang itu benar, karena sedikitnya, ia beberapa kali merasakan sebuah kehancuran dalam berhubungan atau berkomunikasi dengan orang pintar yang ia anggap sebagai rival.

Walau begitu, tetap saja Shella berpikir, bukankah perlu mempertahan kekerasan kepala dan keegoisan agar bisa tetap menjadi pemenang? Kalau saling mengalah, lalu siapa yang akan dianggap sebagai yang terhebat dan jadi juara?

Lamunan sang gadis buyar kala suara tendangan kaki yang menghajar kursi di sebelahnya terdengar di telinga.

"De—Deva...."

Anak ini nyeremin banget dah...!

"Iya-iya, aku keluar. Tolong berhenti ngomong, berisik." Rama bangkit dan langsung menggendong tas hitamnya. Melewati Deva yang bergeser sedikit agar pemuda itu bisa melangkah. Deva mengikuti pergerakan pemuda itu hingga keluar kelas, lalu berbalik dan menghadap satu orang lagi dengan muka masam.

"Shel?"

"Ah! Eh—eeng...Ugh...harus, ya?" Shella gelagapan karena masih terkejut dengan sikap kasar Deva tadi.

"Wajib. Keluar atau aku tendang kamu sekarang."

Shella yang masih belum siap untuk memasuki neraka yang lain, bangun dengan susah payah. "I—iya deh, iya. Kalau gitu aku duluan ke Lab IPA, ya? Mau nyimpen tas terus jajan. Sambil nunggu Kak Riki datang."

Deva mengangguk singkat lalu beranjak meninggalkan meja dan menuju belakang kelas. Mulai membersihkan ruang kelas bersama dengan beberapa orang lainnya.

Shella terdiam sejenak. Dirinya dan Rama mengikuti ekskul yang sama. Bahkan, di luar jam pelajaranpun, Shella masih belum bisa menandingi kepintaran anak satu itu.

Tiga besar yang selama ini kuraih.... Apa benar itu sesuatu yang kumiliki?

Ancaman ibunya tiba-tiba terngiang. Bagai angin yang bertiup, sekilas, namun begitu terasa hawa menyeramkannya. Ah, sudahlah! Memikirkan soal lawannya dan posisi serta kondisinya saat ini yang tengah drop, membuatnya semakin frustasi. Ia kembali teringat dengan ancaman sang ibu, soal pembersihan massal laptop dan handphone-nya. Mengingat kembali kemungkinan semua usaha hasil merampas anime dari Rama akan terbuang sia-sia.

Berhubung orang itu pelitnya luar biasa, belum tentu Shella akan mendapatkan kesempatan kebaikan-terpaksa Rama untuk kedua kalinya.

Rasanya ia ingin segera mengakhiri semua penderitaan akhir tahun ini, dan berganti dengan libur panjang yang bagaikan surga kebebasan.

Tapi, fakta harus menahannya selama sekitar 6 bulan kedepan di penjara ini. "Menyebaalkaaan!!" Shella menjerit dalam hati sambil mengacak-acak rambutnya pelan.

****

"Assalamu'alai...kum? Eh, sepi?"

"Minggir."

"Huwa!" Shella hampir kehilangan keseimbangan saat suara dari arah belakang mengejutkannya. "Kaget aku, Rama!" seru Shella sambil memegang dadanya. "Bilang permisi, kek! Atau punteun, kek!"

Pria yang lebih tinggi darinya tak menggubris protesan Shella. Rama tetap melangkah masuk sambil membawa wafer coklat yang baru dibelinya.

Shella berdecih. "Dasar ...." Lalu, melangkah menuju meja kedua--tepat di belakang meja Rama.

"Salah siapa juga berdiri di depan pintu? Ngehalangin jalan, tahu nggak?" Rama berucap sambil membuka jajanannya, lantas menggigitnya dengan tatapan datar seakan makanan tersebut benar-benar hambar.

Sehambar wajahnya.

"Aku baru dateng oi! Baru mau masuk!" tutur si gadis dengan sedikit emosi. Dengusan tak peduli yang dilontarkan Rama semakin membuat Shella naik pitam.

Tak heran, Deva selalu tersulut emosi setiap berada di dekat anak ini. Sikapnya yang selalu seenaknya saja, dan tidak pernah peduli dengan sekitar, belum lagi pelitnya yang luar biasa—oh! Sepertinya anak ini memang berbakat membuat orang lain kesal.

"Oi, Ma. Mana anime yang kemarin?"

"Anime apa?" tanya Rama.

"Flashdisk, flashdisk. Kan kemarin aku nitip ke kau buat minta anime," ujar Shella.

"Hee...." Rama melahap gigitan terakhir wafernya, sambil membuka laptop miliknya. "Nggak tahu. Nggak ada."

Shella menggeram. "Rama ...." Sang Gadis mencengkram bahu Rama dari belakang. "Jangan bilang flashdisk aku hilang."

"Iya kali."

"Ramaa!"

Tiba-tiba pendengaran kedua orang itu menangkap suara familier dari arah pintu. "Heh. Berduaan aja ya kalian di sini?"

Shella sontak menoleh dengan ekspresi terkejut. Sementara Rama hanya melirik dari ekor matanya lalu kembali fokus pada laptop. "Devaaa! Rama--Rama ngilangin flashdisk aku!" adu Shella dengan berlari ke arah Deva yang masih berdiri di ambang pintu, lalu menghambur padanya.

Gadis berkacamata yang bahkan belum meletakkan barang bawaannya mendengus. "Kamu tahu Rama anaknya kayak gitu, masih tetep minta apa-apa ke dia?"

Shella terdiam. Dirinya juga tidak tahu kenapa tetap mengemis anime pada Rama. Padahal ia betul-betul tahu Rama tidak akan semudah itu memberikan apa yang ia inginkan. Oh, tidak, ia tahu jelas alasannya.

"So—soalnya cuman Rama yang punya anime yang aku pingin! Terus, dia kan emang punya anime banyak! Makanya aku minta...." Nada bicara Shella seakan berusaha meyakinkan lawan bicaranya bahwa bukan ia tersangkanya. Ia tidak melakukan sesuatu yang salah, dan dia berusaha meyakinkan itu pada si gadis berkacamata.

Deva pun hanya menghela napas. Sudah tiga tahun mereka bersama, dan rutinitas ini tidak pernah sekalipun absen dari kesehariannya. Saat di mana Rama dan Shella saling cek-cok hanya karena sebuah file anime yang entah apa membuatnya begitu menarik di mata teman perempuannya.

"Udah, ah! Ayo masuk. Keburu kak Riki datang. Nanti kena omel lagi," celetuk Deva.

"Oh, iya!" Shella tiba-tiba berseru. "Aku 'kan mau jajan! Jam berapa sekarang?"

"Jam setengah empat lebih." Rama menyahut.

Shella menghembus napas lega. "Masih ada waktu. Antar jajan, yuk, Dev!"

"Hey. Solat dulu," perintah Rama.

Ah iya. Shella lupa. "Aah... Hehe. Lupa." Shella menggenggam tangan Deva. "Kalau gitu ayo! Kita solat terus jajan!"

"Kenapa kayaknya jajannya wajib banget ya?"

Shella terkekeh. Gadis itu berjalan keluar ruangan duluan. Menunggu Deva meletakkan barang-barang, lalu pergi meninggalkan Rama yang diam-diam memperhatikan dua punggung yang semakin menjauhinya.

****

"Aah ... gawat! Kita telat!"

Derap langkah terdengar tergesa-gesa menyusuri lorong dan tangga sekolah. Dua gadis yang baru saja selesai mengenyangkan perut di kantin, kini tengah dikejar waktu di mana seharusnya mereka sudah di dalam kelas.

"Makanya udah kubilang 'kan? Nggak usah jajan! Soalnya pasti ngantri. Jadi telat,'kan!"

"Maaf ...." Shella memasang ekspresi menyesalnya.

Shella dan Deva terus mempercepat langkahnya. Hingga akhirnya laboratorium IPA sudah tinggal beberapa langkah di depan mata. Ketika mereka sudah berada di depan pintu yang menutup ruangan, Shella dan Deva berhenti sejenak.

Napasnya tersenggal-senggal. Kakinya terasa lemas sampai Shella harus menahan tubuh dengan bersandar di di dekatnya.

Deva menegakkan badan. Diangkatnya tangan untuk mengetuk pintu. Namun, belum satu ketukan ia buat, Deva dan Shella mematung di tempat.

Pintu terbuka. Menampakkan sosok pria muda tinggi berkulit coklat dan berseragam biru muda. Tatapan matanya menatap tajam dua gadis yang telah kehilangan setengah nyawanya.

Deva dan Shella bergidik. Mata itu...seperti seekor singa yang marah dan siap untuk memakan siapapun yang ada di depan mata. Kedua bola mata beriris coklat muda itu terlalu menyeramkan untuk dilihat—apalagi di posisi seperti ini. Namun kalau harus jujur, mata itu juga terlalu menarik untuk dipandang lama-lama.

Bisa-bisa Shella dan Deva tersedot kesadarannya dan tenggelam dalam pandangan pria itu.

Namun, sepertinya ini bukan saat yang tepat untuk mengagumi kekerenan pelatih mereka. Karena, nada dingin yang dilontarkan sang pria selanjutnya, berhasil membuat Shella dan Deva mati kutu di tempat.

"Kalian terlambat."

*****





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro