Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 2 - Ketahuan

****

"I'm dead. I'm dead. I'm dead," racau seseorang. "I am really really out of my limit .... Take me to the heaven now God. Please."

"Shel. Please stop talking. Kerjain tugasnya! Bentar lagi pulang." Gadis berkacamata yang duduk di sebelah Shella kesal dengan temannya yang bukannya mengerjakan latihan bahasa Inggris, dan malah bertingkah seperti orang tak waras.

"Aaaaaaaa ...." Shella semakin bersuara tak jelas dari tenggorokannya.

"Shella!" Emosi si gadis mulai tersulut.

"Iya, iya. Maaf, Tuan Putri. Aku kerjain." Shella memajukan bibirnya beberapa senti saat kembali menatap satu lembar kertas berisi soal sambil mengambil pensilnya.

Sungguh, tidak boleh ia mengganggu temannya ini sedikitpun saat sedang serius. Seharusnya Shella tahu itu. Tapi, ia tidak pernah peduli. Membuatnya selalu terkena protes. Bahkan tak jarang kepalanya menjadi sasaran empuk buku milik gadis berkaca mata.

"Ugh. Ya ampun ... Aku malas baca...." Shella menelungkupkan wajah ke atas meja. "Kalau gini caranya gimana mau selamat ...."

"Wibu itu apapun yang dilakukannya dianggap nggak bener. Lu ngerasain sendiri, kan?"

Shella mendecih. Sialan.... Kata-kata Alif di kantin tadi masih menghantui pikirannya. Perasaan kembali bercampur aduk antara kesal, benci, dan...bingung. Ia tak tahu pada siapa ia harus menyalahkan, atau pada siapa ia harus melampiaskan.

"Menyebalkan!" Sang gadis menolehkan kepala dengan kasar. Berusaha membuang semua pemikiran yang bisa menyakiti diri dari dalam. Ia tak mau hal itu menambah buruk dirinya yang sudah dalam ancam.

Ia tak mau nilai dan peringkatnya semakin jatuh karena hal sepele macam itu.

Namun, sesuatu yang tertangkap mata membuat otak Shella kembali bekerja—kini ditambah jantungnya. Nampak dari balik rambut mocca yang tergerai menutupi mata, seorang pemuda sama-sama menelungkup di atas meja. Satu tangannya masih menggenggam pensil dan satunya menggenggam kertas.

Ketiduran?

Terbesit niat membangunkan orang di sampingnya itu dengan memanggil namanya. Namun, mulutnya tak kunjung mau terbuka.

Agaknya tingkat kemageran Shella sudah mencapai puncak.

Pada akhirnya, sang gadis tetap bungkam. Diam-diam mencuri pandang pada sosok yang tak nampak wajahnya. Rambut hitam yang tidak terlalu panjang menjadi pusat perhatiannya.

Hitam legam seperti arang. Shella tidak mengerti bagaimana rambut Rama bisa sehitam itu. Teman-teman wanitanya bahkan tidak punya rambut sehitam Rama.

Shella menahan napas kala orang yang tengah dipandangnya bergerak. Dia menoleh tiba-tiba ke arah si gadis yang kini tak bisa bergerak. Manik yang sama hitamnya dengan rambut Rama mengunci Shella. Gadis itu bahkan tidak berkedip untuk beberapa saat sampai Rama bertanya sinis, "Apa?"

Seketika, pipi Shella bersemu merah. Rambut berantakannya cukup menguntungkan karena berhasil menutupi wajahnya yang semerah tomat.

"Ng--nggak!" jawab Shella. Lalu, dengan cepat menelungkupkan wajah hingga benar-benar terbenam di atas meja.

Pemuda yang melihat tetangganya itu hanya menatap heran. "Dasar aneh," pikirnya, dan kembali memejamkan mata.

Rama Dhananjaya. Seorang pemuda yang tergolong pintar—sangat pintar di kelasnya. Seorang yang selalu menduduki tiga besar, bersama Deva Indriana—teman sebangku Shella. Anak ini terkadang tak serius dalam belajar, selalu terlihat lesu dan mengantuk, dan bahkan sekarangpun ia tak terlihat seperti tengah mengerjakan tugasnya.

Tunggu, apa Rama sudah selesai!?

"Rama, tugasmu udah beres?" tanya Shella penasaran.

Rama mengiyakan. Shella yang mendengarnya mematung di tempat. "Kalau mau nyontek nggak ada. Mikir aja sendiri," kata pemuda itu dengan dinginnya.

Shella segera menyahut, "E—enggak! Aku cuman nanya doang!" Rama tak menggubrisnya dan kali ini dia menghadap ke sisi lain di mana Shella tak bisa melihat wajahnya.

Kau bercanda!? Ini baru sepuluh menit, dan Rama sudah menyelesaikan tugasnya yang penuh dengan teks!?Orang gila!

Ah, sudahlah. Anak itu memang berada dalam kemampuan yang agaknya terlalu sulit untuk dijangkau oleh Shella. Baik dalam segi pendidikan, maupun segi yang lainya.

Tiba-tiba, Shella merasakan getaran dalam sakunya. Gadis itu menilik keadaan sekitarnya sebelum mengeluarkan handphone yang memunculkan sebuah notifikasi pesan masuk. Untunglah sang guru sednag keluar kelas, sehingga Shella bisa melihat siapa yang mengirimina chat di jam pelajaran begini.

"Rama."

HAH!?

Apa-apaan ini!? Alif tiba-tiba mengiriminya whatsapp yang hanya berisi satu kata tanpa ada embel-embel lainnya. Dengan jantung yang berdegup kencang, serta keterkejutan membuat Shella sedikit gemetar kala hendak mengetikkan jawaban. Membuatnya kalah cepat dari Alif yang mengirim lagi pesan kedua.

"Balasan yang lama. Gua duga kalau tebak-tebakkan kali ini gua benar."

"Apa maksud lu, Freak!?"

Jawaban lain masuk. "Ohoho. Thanks buat pujiannya."

"Gua nggak lagi muji lu, bgst! Apa-apaan coba lu tiba-tiba nge-chat kayak gitu?!" ketik Shella sedikit emosi.

"Hmm...." Kata Alif dalam pesannya. Disusul yang kedua, "Gimana kalau gua bilang, gua tahu kalau lo lagi jatuh cinta sama Rama?"

Bagaikan terkena sambar geledek di siang bolong, Shella tercekat dengan mata yang membulat sempurna. Untunglah mulutnya tidak sedang terisi, atau ia bisa-bisa tersedak karena membaca tulisan di layar hp-nya.

Saking terkejutnya, Shella tak mampu mengetikkan satu hurufpun di keyboard-nya. Lagi-lagi, membuat Alif merasa menang.

"Ke—kenapa lu bisa ngomong kayak gitu?"

Balasan yang masuk terjeda cukup lama. Shella menunggu dengan cemas. Ia melirik angka jam yang tertera di layar gadget-nya. Sebentar lagi waktu pulang, itu berarti sebentar lagi waktu habis untuk mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan hari ini juga.

"Ugh.... Mana Alif kenapa nggak ngebalas-balas...?"

Pasrah, akhirnya Shella memutuskan untuk menonaktifkan handphone-nya dan kembali bersibaku dengan selebaran kertas tugas. Sepertinya Deva telah selesai, karena kini tangannya berganti memegangi sebuah novel.

Yah.... Sebenarnya Shella juga tinggal sedikit lagi untuk menyelesaikan soal-soal ini. "Baiklah.... Ayo, kita lanjutkan!" katanya menyemangati diri sendiri. Shella pun menggoreskan kembali pulpen hitamnya, hingga tak terasa suara berisik memenuhi gendang telinga dan membuat kelas rucih seketika.

****

Waktu Alif mengirim pesan itu, ya. Apa kalian tahu apa yang dikatakan Alif selanjutnya? Kalau kalian pikir itu jawaban yang mengejutkan atau spektakuler, kalian salah besar. Yang kudapat waktu iu jawaban yang absurd sampai akupun ragu bisa dimasukkan sebagai jawaban logis perkataan Alif waktu itu.

****

Handphone Shella sekali lagi bergetar, selagi gadis itu membereskan semua alat tulis miliknya yang berserakan di atas meja. Ia merogoh saku rok dan mengambil benda gepeng itu. Sambil membuka aplikasi WA, ia kembali duduk dan urung untuk segera beranjak dari kelas.

"Dari Alif....," gumamnya. Ternyata pemuda itu tiba-tiba kedatangan guru yang ia kira jamkos, alias jam kosong. Membuatnya harus menunda membalas pesan si gadis.

"Kenapa gua bisa ngomong gitu? Hmm..."

"...mungkin karena selama ini cuman gua tempat curhat lo tentang banyak hal? Entahlah."

"Lah malah balik nanya ni anak." Tapi, kalau dipikir-pikir, memang benar selama ini hanya Alifianlah yang menjadi tempatnya untuk menceritakan masalah, maupun berkonsultasi banyak hal—hanya untuk masalah ancaman tadi saja, ia baru berani bercerita dengan Ami, teman perempuan yang paling ia percaya. Pada nyatanya, ia tidak mendapat solusi berari dari curhat ke cowok sialan itu, tapi Shella tetap saja tak menghentikan kebiasaannya, karena jujur, Alif memang membuatnya nyaman ketika diajak berdiskusi.

"Jadi, gimana? Apa gua benar?"

Shella menghela napas. "Oke. Lu beneran menang kali ini."

"Waaw! Gua nggak nyangka gua sehebat itu ternyata."

Shella mengirim stiker karakter anime yang memasang tatapan jijik, dilanjut dengan stiker yang memenggal kepala karater lain.

"Dibilang jatuh cinta juga gua nggak tahu, Lif. Perasaan ini asing buat gua. Entah cuman kagum, atau memang beneran suka.... Cuman anehnya anak itu sering jalan-jalan di otak gua...." Tanpa menunggu lama setelah Shella mengirim kalimat itu, sebuah balasan lagi-lagi membuat Shella kesal.

"Akhem. Ada yang jatuh cinta ni yee."

"Udah gua bilang gua nggak gitu!"

"Terus apa?" tanya Alif. "Udah jelas lu bilang sendiri si Rama sering jalan-jalan di otak lu. Menuhin kepala lu. Apalagi kalau bukan jatuh cinta? Rindu? Ujungnya sama aja 'kan?"

Ugh. Entah harus menjawab apalagi gadis itu. Seakan sudah di skakmat dengan balasan Alif, jari-jemari Shella kaku, dan ia tidak bisa berpikir dengan jernih. Semua kata-kata tersedot oleh fakta bahwa perasaannya memang sudah dijelaskan dengan sangat jelas.

Tapi, ia tidak bisa menerima dengan semudah itu.

Tiba-tiba suara Liana—ibunya—menggema di dalam kepala. "Pokoknya kamu nggak usah pacaran-pacaran dulu. Nanti sekolah kamu keganggu. Kalau emang suka sama cowok, ya udah, simpen aja dalam hati, nggak perlu ada orang lain yang tahu. Nggak perlu diungkapin ke orang yang kamu suka."

Dari dulu, ia selalu diajaran begitu. Tidak boleh pacaran. Dilarang memiliki hubungan aneh-aneh seperti itu sebelum waktunya. Shella juga sudah menanamkan dalam diri agar tetap menjaga pesan sang ibunda, karena ia sadar, hubungan seperti itupun hanya sebuah main-main yang ujung-ujungnya cuman ada sakit hati. Shella berkaca pada banyak temannya.

Seakan sudah menjadi prinsip hidup, Shella selalu memendam perasaan aneh dan spesial yang dominan tertuju pada lawan jenis. Seperti pada Rama, ia hanya diam. Mengagumi dari jauh, karena mau didekatipun, rasanya tak mungkin. Melihat sikap Rama yang cuek, dingin, dan tak pernah bersemangat, Shella jadi ragu kalau pemuda itu bahkan pernah merasakan yang namanya perasaan suka.

Handphone Shella bergetar tiba-tiba. "Jadi, mau apa lu sekarang?"

Mau apa.... Ditanya mau apa juga Shella tak tahu. Ia tidak seperti banyak orang yang sudah punya beberapa mantan. Shella belum pernah merasakan apalagi menjalani hal seperti ini sebelumnya. Sejauh hidupnya ini, biasanya ialah yang mendapat pernyataan, bukan yang menyatakan.

Setelah berdiam cukup lama, Shella mulai mengetik. "Entahlah. Kayaknya gua bakal diam aja dan membiarkan semuanya berlalu. Lagian, berharap apa sama anak itu?"

Alif tertawa. "Ya sudah. Itu terserah lu. Intinya ingat aja, kalau yang kayak gini tuh bisa jadi racun buat lo."

"Racun? Apa maksud lu?"

"Ingat aja itu. Dah ya. Gua mau lanjut farming dulu. Bye!"

Percakapan berakhir dengan stiker karakter FGO bertuliskan Bye Bye! yang dikirim oleh Shella.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro