Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1 - Ancaman

***

Kala kau terlena akan satu hal

Dan kau tak tahu harus melepasnya

Suatu saat, balasan akan menghadapmu.

Entah kau merasa benar atau salah

Semua itu tak terelakkan

Percayalah

****

Ingin menyerah saja.

Gadis itu memandangi map bening berisi selembar kertas di genggamannya dengan mata membulat. Iris kecoklatannya terus menjelajahi tiap-tiap huruf dan angka yang tertera di sana dengan was-was.

Shella Fanny Sasmita. Siswi SMP tahun akhir itu masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Berulang kali ia terus mempertanyakan, bagaimana bisa nilai akhir ujian semester satunya bisa se-anjlok ini? Jauh dari apa yang ia bayangkan.

Shella tidak menyangka hasil rapot yang biasanya bernilai delapan puluh keatas dengan predikat B atau A, kini dihiasi beberapa--yang bisa terhitung banyak--predikat C dan B minus, dengan nilai di bawah delapan puluh.

Gadis itu menjerit keras-keras dalam hati. Tangannya yang menggenggam map rapot bergetar, dirinya saat ini seakan ingin merubah kertas itu menjadi abu dan meniupnya kuat-kuat. Menjauhkan pemandangan tak mengenakkan dari angka-angka runyam tersebut.

Tapi apalah daya, Shella tidak bisa melakukan apa yang ia ingin lakukan. Lagipula, ibunya sudah melihat rapot miliknya ini. Jadi percuma saja untuk menghilangkan atau menyembunyikannya.

Hanya tinggal menunggu kapan ia akan dapat semburan dari mulut sang Ibu Negara.

Dan tepat saat memikirkan ibunya, terdengar suara derit pelan dari arah pintu. Diiringi suara lembut khas yang membuat Shella sedikit bergidik.

"Kenapa rapotnya bisa kayak gitu?" Sebuah pertanyaan yang diluncurkan tanpa basa-basi seketika membuat tubuh Shella seakan disengat listrik bertegangan tinggi hingga ia tak bisa berkutik lagi.

Sang gadis merasakan tenggorokannya yang kering. Menegak air liur hanya memperparah keadaan. Tanpa sadar sang gadis menggigit bibir bawahnya seperti menyegel segala jawaban yang harusnya diajukan kepada ibunya.

Merasa tak mendapat jawaban, Liana—ibu Shella melanjutkan. "Makanya, game sama animenya dikurangin," ucapnya. "Masa dari ranking satu turun jadi lima. Ini mah keterlaluan."

"Ya ... Gimana lagi, Mah? Belajarnya juga udah banyak. Mainnya juga 'kan udah nggak sering." Shella memalingkan matanya. "Aku juga nggak tahu kenapa bisa turun sejauh itu."

Tidak. Sebenarnya aku tahu alasannya....

Shella sedikit mengintip ibunya yang ternyata sedari tadi belum beranjak dari ambang pintu. Tangannya pun masih memegangi handle pintu.

Tak berapa lama kemudian, helaan napas terdengar. Dan terasa seperti Wanita berumur tiga puluh tahun itu tengah berusaha menahan emosinya. "Pokoknya, kalau kenaikan nanti nggak ada peningkatan, semua anime dan game online kamu bakal mama hapus."

"Apa—"

"Jangan protes! Kamu itu udah kelas sembilan. Bentar lagi ujian! Nggak boleh main-main!" ujar Liana. "Dah. Mamah mau keluar dulu sebentar. Kalau mau makan ada sayur di panci di atas kompor."

Shella tidak mendengar jelas perkataan terakhir ibunya. Yang ia pikirkan adalah bagaimana nasib semua koleksi film-filmnya, dan semua game jika sampai disapu bersih oleh ibunya?

Ibu tidak mengerti, bagaimana semua hobi yang dianggap buruk itu selalu melindunginya dari hal-hal buruk—seperti pergaulan bebas—di sekolahnya.

Ibu tidak mengerti. Tak ada seorang pun yang mengerti. Mereka hanya menganggap Shella orang tidak berguna, yang hanya bisa berdiam diri di dalam rumah dan enggan bersosialisasi dengan dunia luar.

Sebenarnya bukan begitu. Ia bukannya tak mau bermain, atau berjalan-jalan ke mall dan bersenang-senang dengan mereka. Shella cuma merasa tidak nyaman berada di tengah keramaian. Ia juga butuh waktu sendiri. Tak bisa selamanya ia berbincang dengan orang lain. Itu melelahkan.

Shella menghela napas. "Andai ada orang yang mengerti ...." Ia tersenyum getir. "Tidak. Itu tidak mungkin. Sekalinya terpandang buruk, hal itu akan tetap menjadi buruk," ucapnya kemudian.

"Ya, kecuali ada orang yang cukup pandai untuk mengerti apa arti sebenarnya dari julukan Weeaboo yang sering diberikan padaku."

Shella tertawa kecil pada dirinya sendiri.

***

Haruskah kita melepaskan sesuatu yang selama ini menjadi diri kita?

Hal yang selama ini kita anggap sebagai perisai dari sesuatu yang tak patut diperjuangkan.

Sesuatu yang tak bisa diperjuangkan

Salahkah jika aku menganggap hobiku sebagai sesuatu yang penting?

Lalu, mengapa cibiran orang tak pernah reda di telinga?

Apa aku salah?

***

Shella menggelindingkan pulpen hitamnya. Sejenak, gadis itu memandang buku yang bercahayakan lampu belajar, sebelum ia menutupnya sambil membuang napas panjang.

Apa aku salah?

Lagi-lagi Shella mengulang pertanyaan itu. Bagaimana tidak? Hobi menonton anime dan gim bertema anime selalu menjadi bahan pembicaraan teman-temannya.

Pandangan mereka setiap kali ia membahas hobi dengan temannya, selalu membuatnya ciut. Sebenarnya, Shella selalu berpikir untuk apa mempedulikan penilaian orang lain. Mereka bukan yang mengurusi hidupnya juga.

Tapi, nyatanya sang gadis tak bisa semudah itu mengacuhkan. Pasalnya tak hanya satu dua yang berkata, hampir semua teman yang tidak sehobi dengannya kerap merendahkan.

"Haaaah!! Bodo lah!" serunya sendiri. Memikirkan hal seperti itu tidak akan ada habisnya. Yang ada dia bisa sakit nanti. Sakit jiwa, maksudnya.

Shella menyadarkan tubuh pada sandaran kursi. Terdiam sejenak sambil mengawang langit-langit kamar. Setengah perjalanan di semester kedua tahun terakhirnya telah dileRahma. Hanya tingal menghitung jari, untuk tahu berapa bulan lagi ia akan menghadapi neraka di sekolah menengah pertamanya.

Ujian Nasional....

Ujian Sekolah....

Gadis itu menghela napas. Kepalanya tiba-tiba berdenyut. Apa ia benar-benar bisa mengembalikan posisi peringkatnya? Dalam beberapa bulan, harus semasokis apa dirinya dalam belajar?

Ia tak tahu lagi. Tak lama lagi pun minggu-minggu kesehariannya akan semakin padat. Pemantapan, kelompok belajar, atau sejenisnya pasti mulai diadakan. Mungkin lebih baik ia istirahat saja. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas menit. Besok memang hari minggu, tapi tak baik ia tidur kemalaman. Bisa-bisa besok Shella kesiangan dan disembur lagi oleh lengkingan suara dari sang ibu negara.

****

Persegi panjang yang baru saja digunakan untuk bermain diletakkan dengan kasar ke atas meja. "Ugh...." Sambil menopang kepala yang terasa berat, Shella memejamkan mata. Suasana kantin yang ramai, udara ynag terkontaminasi dengan bau-bau campur aduk, membuat Shella sedikit tidak nyaman. Ia bahkan jadi tak nafsu melanjutkan gimnya.

"Jadi ... sekarang lu mau apa?"

Shella menoleh pada kawan yang duduk di depannya. Ia baru saja selesai berceloteh tentang tragedi pengancaman ibunya selama makan dan bermain gim tadi kepada Alifian dan Ami—teman yang biasa menjadi langganan makan bersama di kantin.

Helaan napas terdengar. "Gua juga kagak tau, Lif. Kalau UN nanti gua sampai mentok, ya gimana lagi? Pasrah gua."

"Heh. Lu banget," cibir sang pemuda. Alih-alih cemberut, Sang gadis yang dicibir hanya bisa menghela napas yang terdengar semakin berat.

"Kamu juga sih, kenapa bisa sampai turun begitu rapornya? Biasanya juga 'kan rankig satu?" tanya gadis yang duduk di depan Shella.

"Aku juga nggak tahu, Mi. Perasaan aku juga nggak terlalu sering nonton. Main game juga nggak tiap saat—"

"Nggak tiap saat apaan? Event FGO bejibun gitu, nggak mungkin lu tinggalin 'kan?" Alif memotong kalimat Shella tiba-tiba. Mata hitam dibalik bingkai hitam kacamatanya melirik Shella dengan tatapan memojokkan. Seakan menusuk Shella dengan kata-katanya yang agaknya sesuai—sangat sesuai dengan fakta. Dan itu membuat Shella semakin menempelkan pipi tembamnya pada meja.

"Terus aku harus gimanaaaa??!!" teriak Shella dengan suara tertahan. Ia benar-benar frustasi memikirkan kemungkinan teruburuk yang diberikan oleh fakta, bahwa sebenarnya ia memang melalaikan waktunya karena sebuah game online.

"Satu-satunya cara ya ... stop main game dulu." Ami berucap. "Bentar aja kok, beberapa bulan lagi juga kita UN. Udah itu kita bebas."

"Stop main game dulu, ya?" gumam Shella dalam hati. Ya, itu memang satu-satunya cara yang harus ia lakukan saat ini. Tapi, apa memang benar hanya itu!? Bagaimana kalau nanti tiba-tiba ada event yang me-rate up servant impiannya!? "Haaah ... Aku pingin pulaang!!"

"Oh iya, Shel," panggil Alif memecah keheningan. Shella hanya menjawab 'hm' tanpa mengangkat kepala.

"Lu udah tahu belum event Rashomon bentar lagi? Golden Boy lu rate up tuh."

"Hah!? Serius!?" Shella sontak mengangkat kepala Saat mendengar servant favoritnya—Sakata Kintoki akan segera rate up di gacha. "Kapan!?"

"Kalau nggak salah beberapa minggu sebelum kita UN, mungkin? I don't know," balas Alif.

Seminggu sebelum UN!? Itu cari mati namanya!

Shella menilik-nilik perkataan Alif dengan tak percaya, gadis itu pun kembali bertanya. "Tahu dari mana lu?"

"Dari News lah!" Suara Alif meninggi saat merasa infonya diremehkan. "Makanya sering-sering baca berita di game. Jangan main close karena panik belum beres farming," celetus pemuda itu.

Shella menekuk wajahnya. Memang wajib kalau ia harus selalu update dengan berita game-nya? Apa ia harus selalu membaca laman News yang selalu muncul seiap ia log-in game Fate/Grand Order? Lagipula, ia bisa dapat info dari fanpage resminya. Toh, bukan salahnya juga kalau Shella tidak tahu. Ia belum bermain internet beberapa hari ini.

Otaknya kembali berputar. Seminggu sebelum ujian, biasanya suasana di rumah akan lebih mencekam. Kedua orang tuanya akan membri batasan lebih-lebih dari biasanya. Mulai dari kegiatannya di luar, jam belajar, jam bermain, dan lain-lain. Hari-hari menjelasng masa perang di sekolah, Shella selalu mendapat pengawasan lebih ketat. Tidak secara langsung, memang,tapi nalurinya selalu berkata bahwa mata ibu dan ayahnya berada di mana-mana. Memata-matai barangkali Shella mencuri-curi waktu untuk bermain gim. Dan, kala itu datang, maka selesailah sudah.

Tinggal menunggu kupingnya memanas.

Ami menggeleng-gelengkan kepala, tatkala melihat raut wajah frustasi sahabatnya. "Kalau gini caranya ... gimana kamu mau aman dari ibumu, Shel."

Shella nyengir mendengar Ami yang kesal padanya. Gadis dengan rambut ikal berwarna mocca sebahu itu menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, sambil terkekeh pelan. Tanpa sadar, tangannya meraih kembali handphone hitam yang sempat dilemparnya ke atas meja. Jari-jari di gadis seakan punya kehendak sendiri dan menekan salah satu aplikasi yang ada di layar sana.

Aplikasi dengan ikon wanita berambut pirang emas dengan mahkota dan jubah berwarna biru, serta tulisan Fate Grand Order di bawahnya, langsung merubah layar menjadi putih dan mengeluarkan lama loading.

"Teuing ah lieur (Nggak tahu, ah, pusing)," ucapnya pelan tanpa mengalihkan pandangan dari handphone.

"Ooh...Ngeyel ya ni anak satu? Ketahuan ibu baru tahu rasa kamu."

Shel mencondongkan mulutnya sambil menggerak-gerakkan kepala. Seakan tengah meledek perkataan teman perempuannya.

Geram dengan tingkah Shella, Ami bertindak. Diambilnya setan gepeng yang merebut seluruh perhatian Shella, dan mengacungkannya tinggi-tinggi di atas kepala. Membuat Shella yang histeris sekaligus panik tidak bisa menjangkaunya.

"Aaa! Ami!! Balikin!! Nanti kalah aku!"

"Nggak." Satu jawaban yang pasti dan tegas.

"Ami! Balikiin!"

Masih dengan jawaban yang sama, Ami membuat Shella semakin berisik, dan agaknya Alif mulai risih dengan pemandangan di depannya.

"Kapan kamu mau berhenti, Shel?" tanya Ami setelah Shella menyerah melawan tinggi badan Ami yang jauh darinya.

Gadis yang ditanyai terdiam sesaat. "Nggak...tahu...." Iris coklatnya meredup. "Aku cuman masih mikir gimana caranya biar Mamah nggak terus nyalahin anime dan gimku. Emang sesalah itu,ya?"

"Entahlah." Tiba-tiba Alif menyahut. "Lu tahu sendiri kan, orang yang suka anime atau jejepangan pasti dianggap jelek dan aneh sama orang?" katanya. "Wibu itu apapun yang dilakukannya dianggap nggak bener. Lu ngerasain sendiri, kan?"

Shella mengepalkan tangan. Kepalanya tertunduk semakin dalam, membuat anak-anak wambut jatuh menutupi wajahnya. "Padahal...padahal aku cuman berusaha berlindung dari sesuatu yang mulai muncul?"

Ami yang mendengar suara setengah berbisik itu tak mengerti. "Sesuatu? Apa?"

"Lupakan." Shella bangkit dari tempat duduknya. Meninggalkan Ami yang bingung, dan Alif yang masih asyik menguyah cemilannya. Perempuan ber-poby tail iu sontak berseru memangil Shella. Ia cepat-cepat pamit ke pemuda di depannya untuk pergi lebih dulu dan mengejar anak yang sepertinya menjadi badmood.

Alif tak berkata apa-apa saat melihat kepergian kedua gadis tadi. Ia hanya memandang mereka berdua, dengan sebuah pikiran serta terkaan yang bermain-main di dalam kepala. Bel masuklah, yang kemudian membuat lelaki itu berdiri dan kembali menuju kelas.

****

Menyakitkan mendengar perkataan temanku waktu itu. Aku memanglah bukan seorang gadis seperti teman-temanku yang lain. Aku aneh, aku berbeda. Terkadang orang-orang memincing tajam padaku saat aku menonton sebuah anime di kelas.

Ahaha. Benar-benar....

Ya. Setelah aku meninggalkan kantin saat itu, mood-ku dapat dibilang jadi sedikit hacnur. Belum lagi pelajaran yang datang membuat kepalaku memanas. Haah.... Waktu itu rasanya aku ingin menghajar seseorang.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro