BAB 49: Ayo Menikah?
"Lo kenapa sih Den? Sumpah nggak biasa lihat lo rapi kayak gitu, mana wangi banget ... gue curiga deh." Hening menatap sang adik penuh selidik, kuasanya bergerak menyisir rambut dengan sisir besar berbentuk oval kesayangannya. Di ruang tamu, gadis itu harus dibuat heran dengan tingkah Aden yang berbeda 180 derajat dari biasanya.
Aden membawa kaca besar miliknya dari dalam kamar ke ruang tamu, menyandarkan benda itu pada dinding sambil membuka lebar pintu rumah. Katanya, biar ketampanannya bisa terpantul lebih alami padahal cahaya pagi yang masuk juga belum seberapa karena masih pukul 05.15, bahkan belum ada tanda-tanda ayam berkokok. Kemeja putih lengan panjang dipadu dengan celana jeans dan sepatu kulit yang terlihat mahal, memberikan kesan apik pada tubuh Aden.
"Bener kata Bang Raga, gue harus lebih merhatiin penampilan lagi Mbak," sahut Aden yang masih mematut diri pada cermin seraya bergerak ke samping kiri dan kanan, memperhatikan penampilannya. "Poni gue mending belah tengah apa sibak ke belakang aja ya? Anjay cakep banget gue."
Hening menggeleng pelan sambil meletakkan sisirnya ke meja, yang menjadi perhatian adalah cara berpakaian Aden yang mirip sekali dengan Raga. Seketika, matanya menyipit. "Ada gebetan ya? Pasti ada cewek yang lagi lo incer kan?" cecar Hening dengan perlahan mengukir senyum jahil.
Aden mencebik sambil mengecek jam tangannya lalu berbalik menghadap sang kakak. "Sejujurnya, iya," tanggapnya dengan santai lalu duduk di sebelah Hening sambil menghela napas. "Namanya Mulan. Cantik banget deh Mbak, rambutnya hitam panjang sepinggang, kalau senyum tuh ... aduh, rasanya hati gue langsung tumbuh ladang bunga. Nggak gengsi juga dia jualan di warteg bantu ibunya."
Laki-laki itu sering bertemu Mulan karena suka mampir untuk makan di warteg milik Bu Kokom, mulai dari situlah benih-benih cinta mulai muncul. Aden merasa yakin Mulan pun juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Maka dari itu, Aden rela mengubah penampilannya demi bisa mendapatkan hati sang gadis sekaligus restu dari ibunya. Untuk role model yang Aden tiru penampilannya tidak lain dan tidak bukan adalah milik Raga, persis seperti dugaan sang kakak.
"Kenapa kayak nggak asing ya ... sebentar." Hening tampak mengingat nama itu juga ciri-ciri kenampakan pujaan hati adiknya. Lalu dengan cepat, gadis itu mengacungkan jari telunjuknya kala sekelebat ingatan menyapa. "Itu bukannya anaknya Bu Kokom? Yang punya soang galak di ujung gang kan? Lo yakin bisa dapetin hati Mulan?"
Aden pun tertawa renyah sambil menyugar rambutnya ke belakang. "Iya, Mulan anaknya Bu Kokom. Harus yakin dong. Yailah, lagian yang galak cuma soangnya Mbak, ibunya ya ... lumayan galak juga sih, tapi nggak sampai nyosor."
"Ya semoga deh Mulan jodoh lo," ujar Hening seraya berdiri. Ia sudah siap dengan pakaian kerjanya dan berniat untuk memanaskan motor.
"Aamiin paling serius Ya Rabb!" seru Aden. "Nggak lo doang yang bisa punya pacar, Mbak Ning, gue juga pengen."
Hening terkekeh pelan, senang melihat adiknya mau berubah sebab selama ini Aden terlihat sangat tidak peduli dengan penampilannya. Ternyata, kekuatan cinta memang benar adanya, dapat mengubah seseorang dalam sekejap.
***
"Firda ke mana?" tanya Raga seraya bersandar pada sofa ruang tengah. Dia sedang melakukan panggilan dengan Rita.
"Lagi keluar bayar pajak Pak sama masukin berkas ke BPN," jawab Rita. Ada klien yang ingin bertemu Raga, padahal kantor baru saja buka dan pegawai yang datang masih beberapa orang.
"Oh, yasudah kamu handle dulu saja. Klien baru kan itu? Nanti detailnya baru laporkan ke saya ya," titah Raga. Selanjutnya mereka menyelesaikan panggilan setelah mendapat balasan paham dari Rita.
"Dor!" Suara seorang perempuan tengah mencoba mengagetkan Raga, tetapi usahanya tidak berhasil. Siapa lagi kalau bukan Hening Merona. Ia mengulas senyum lebar sambil duduk di sebelah pria itu, deretan giginya sampai kelihatan menghias rupa.
Raga melirik Hening dengan tatapan biasa seraya menaruh gawainya di atas meja. "Salam dulu harusnya, bukan malah dar-dor-dar-dor, sudah kayak Aden saja kamu," tegur Raga sambil menyilangkan kedua tangannya ke depan.
"Assalamu'alaikum, Mas Raga," ujar Hening setelahnya dengan suara yang dibut-buat dengan lembut. Entah kenapa gadis itu sedang ingin menjahili Raga hari ini. "Namanya juga adik-kakak, ya wajar dong," timpal Hening sambil membetulkan surainya yang tadi sempat berantakan diterpa angin saat perjalan kemari menggunakan motor. "Tadi kayaknya udah ada klien ya Mas? Aku mau ke kantor dulu kalau gitu."
Ketika Hening hendak berdiri, lengannya ditahan oleh Raga hingga membuat gadis itu kembali terduduk, sontak ia langsung melemparkan ekspresi tanya. Cukup mengejutkan kala tendas pria itu mendekat dan mengecup pelan pipi Hening dengan singkat. Tentu saja, tindakan itu Raga lakukan sebagai bentuk kasih sayang. Selanjutnya, tampak tenang ia berucap, "Wa'alaikumsalam. Kamu di sini saja, kantor sudah di handle oleh Rita. Buru-buru sekali sih."
Hening masih belum terbiasa dengan sikap Raga yang menjadi lebih 'menempel' dari sebelumnya. Memanglah wajar seperti itu jika status mereka sekarang sudah resmi menjadi sepasang kekasih, tidak bohongan lagi semenjak keduanya menyelesaikan status pura-pura pacaran. Kesepakatan keduanya telah usai sekarang, terganti dengan hubungan baru yang lebih jelas. Tetapi sebagai gantinya, jantung milik Hening harus siap berolah raga setiap hari kalau begini caranya!
"Tapi kasihan Rita, berkas milik Pak Romli pasti belum selesai diketik—" ucapan Hening harus terpotong karena mendapat tatapan dari Raga yang mengisyaratkan sesuatu.
"Kamu itu pacar saya kan Ning?"
Hening mengangguk. "Asisten pribadi juga, jangan lupa. Aku tetap harus bekerja biar gaji bisa turun," sindir gadis itu kepada bosnya.
"Yang memberi gaji siapa?" tanya Raga lagi.
"Mas Raga."
Raga mengangguk sekilas. "Betul. Tapi niatnya sih saya mau berhenti menggaji kamu."
Hening mendelik, sontak menghadapkan tubuhnya pada Raga. Apakah dia melakukan suatu kesalahan? Wajah yang lucu itu sukses membuat sang pria tertawa ringan, menurutnya rupa sang kekasih sangatlah menggemaskan.
"Kok malah ketawa? Ini maksudnya aku dipecat apa gimana? Mohon maaf banget, Bapak Raga Tatkala Juang, pacarmu ini masih butuh sekali uang lho," protes Hening.
Raga mendesah. Kenapa dia bisa berjodoh dengan gadis seperti Hening yang daya berpikirnya sedikit terhambat? Padahal sudah jelas sekali jika maksud Raga tertuju pada sesuatu yang lebih manis, bukan semata-mata memecat kekasihnya sendiri.
"Dari pada kamu pusing-pusing jadi asisten saya, kenapa tidak sekalian jadi istri sah saya saja? Sudah dijamin mendapat uang bulanan melimpah, kamu tidak perlu susah." Pada akhirnya Raga berucap demikian.
Jantung Hening kembali berdetak cepat, ia tidak dapat langsung merespon sebab kalimat dari Raga masih terdengar seperti candaan. Menjadi kekasih dari seorang Raga saja, gadis itu sudah sujud syukur, lalu sekarang langsung ditawari menikah dengannya, hati mungil Hening rasanya ingin berteriak kencang.
"Ayo menikah, Ning. Apa yang buat kamu ragu?" Raga menatap Hening dari samping, sambil sedikit memajukan tubuhnya. Kuasanya pun meraih tangan sang kekasih dengan lembut.
Bukankah momen ini yang Hening tunggu dalam hidupnya? Gadis itu mematung, mulutnya mengatup rapat sebab masih bimbang, ajakan Raga terlalu di luar nalar sekaligus manis untuk mengawali hari. Bersamaan dengan itu, suara anak kecil yang memanggil Hening pun mengalihkan atensi keduanya. Saat itu Hening sedikit bersyukur dengan kedatangan Enzi dan Nila.
Soal ajakan Raga, itu terlalu cepat, sungguh!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro