Bab 32: Kosong
Gadis itu harus bertanggung jawab.
Masih pagi tapi Raga harus dibuat kesal karena mengingat kejadian hari lalu, dia sedang dipermainkan oleh anak kemarin sore! Meski wajahnya tidak berekspresi, tapi dalam hati meraung-raung ingin meluapkan ucapan kasar. Apa lagi alasan Hening hanya karena mengingat ucapan orang pintar soal sebuah ciuman yang dapat menghilangkan kesialannya. Memangnya dia sedang berada di dalam dunia kartun disney? Jadi, misalkan kalau gadis itu tidak bertemu dengan Raga dan keduluan pria lain yang memiliki ciri tubuh sama, Hening berarti akan rela saja mencium pria itu dengan suka rela seperti kemarin. Dengusan terdengar setelahnya.
Yang benar saja kamu, Ning.
Raga baru saja selesai dari lari pagi dan berdiri di halaman rumah sambil mengatur napas, tidak selama biasanya, hari ini hanya 30 menit karena pikirannya yang terganggu, hanya diisi oleh wajah Hening. Bahkan saat di tempat bubur tadi rupa abangnya berubah jadi wajah gadis itu. Dia jadi khawatir sendiri dan tidak menghabiskan bubur ayamnya tadi.
"Hanya masalah ciuman kamu jadi begini, Ga." Seperti anak remaja saja. Pria itu menggeleng tidak percaya sambil mengelap peluh menggunakan punggung tangan. Dia bisa hilang fokus dari kemarin hanya karena masalah sekecil ini. Raga jadi curiga, jangan-jangan Sayani memasangkan susuk ke anak gadisnya, lagi. Memang hanya itu yang paling masuk akal.
Tidak ingin berlarut dengan keanehan yang sedang melanda, Raga berniat untuk mengisi perut ke tempat angkringan yang Jordan rekomendasikan kemarin malam. Tidak ada salahnya kan mencari angin.
***
Perjalanan yang ditempuh terbilang lancar sampai ke tempat angkringan pagi—siapa sangka seseorang yang ia kenal juga memiliki niatan yang sama? Raga memarkirkan mobilnya dengan mulus. Suasana ramai di sana mengalihkan perhatiannya, ia menyukai energi itu, tepat sekali perut sudah terasa lapar. Tumben kawan sekaligus dokter pribadinya itu benar memberikan rekomendasi, kalau ramai orang, berarti seharusnya makanannya memang enak.
Tubuh jangkungnya sempat menjadi perhatian beberapa wanita, yang menjadi tontonan mana terasa, Raga terus berjalan dengan tenang dan ikut mengantri. Antrian yang cukup panjang memang, tapi kali ini dia sangat menikmatinya. Kedua lengan yang tadinya ia silangkan di depan dada, kini bergerak mengambil gawai dan tiba-tiba keluar dari antrian dengan dalih ingin menelpon seseorang, yang di belakang Raga tentu jadi senang.
Telepon Hening tidak, ya? Dia pasti suka makanan angkringan begini. Padahal tadi sudah bertekad untuk tidak memperbesar masalah, tapi kenapa sekarang dia menjadi ragu? Padahal kontak Hening sudah terpampang pada layar gawainya, tinggal menekan tombol hijau saja rasanya sulit betul.
"Mas Raga Tatkala Juang? Ih, ya ampun betul kamu orangnya ... aduh dilihat secara langsung ternyata lebih ganteng." Suara genit khas tante-tante girang mengalihkan fokus Raga, meski sepertinya umur mereka tidak terpaut jauh. Pria itu menoleh dan mendapati wanita dengan baju yang kurang bahan sedang mencoba menempel padanya, rambut panjang hitam sepinggang nan indah, parfumnya semerbak seperti minyak nyong-nyong. Raga mengernyit, dengan sedikit paksaan wanita yang entah siapa itu pun bergelayut manja di lengan Raga. Tentu saja dihadiahi pelototan maut dari si pria.
"Maaf, Anda siapa ya?" Raga mencoba menarik lengannya pelan meski nihil hasilnya, dia tidak ingin terlalu mencolok seraya sekilas memperhatikan sekitar. Ekspresinya kelihatan jika Raga tidak suka diperlakukan seperti itu.
Wanita edan mana lagi ini? Ampun-ampunan rasanya Raga berurusan dengan perempuan akhir-akhir ini.
"Ini! Aku dapat brosurnya, sudah benar ternyata selama ini terus kusimpan," wanita itu terkikik geli sambil mengembalikan kertas itu ke dalam tas selempangnya yang berukuran kecil, "artinya apa coba? Kita jodoh, Raga! Aduh, senang banget deh."
Raga memasang ekspresi ngeri sambil menggeleng pelan, jemarinya refleks menekan tombol hijau dan buru-buru mengarahkan gawainya pada daun telinga, seharusnya Hening akan segera menjawab, ia sangat percaya diri.
"Saya sudah punya pacar, tawaran itu sudah tidak berlaku sejak lama, tolong jaga sikap Anda." Kini Raga menepis tangan wanita itu lebih bertenaga sambil menunggu Hening menerima panggilannya.
Di reject? tanya Raga dalam hati lalu mencoba menghubungi gadis itu lagi, tapi yang didapat hanyalah bunyi pesan jika ponsel Hening tidak aktif. Yang benar saja kamu Ning? Dia kenapa? Seharusnya saya yang marah!
Sekarang satu-satunya jalan hanya dengan berpura-pura mendapat panggilan dari Hening, terlihat menyedihkan memang.
Awas kamu Hening Merona!
***
Tambah hilang pula fokus Hening karena kejadian barusan, adiknya sampai gemas dalam tanda kutip karena sang kakak jadi terlihat seperti seonggok manusia kekurangan asupan vitamin C; cinta. Hening diam disepanjang perjalanan, melamun, ada bapak-bapak botak menyilaukan mata bahkan lalat bisa terpeleset di sana seharusnya gadis itu tertawa, tapi kini hanya mendesah berat.
Mereka sudah berada di tempat tujuan kedua, jarang sekali ada pecel lele yang buka jam segini. Habis dari angkringan keduanya menyusuri jalanan ibu kota sambil menghibur Hening dengan pemandangan jalanan yang ramai dengan aktivitas makhluk hidup dan pemandangan kendaraan yang berlalu-lalang.
"Ayo, isi perut dulu Mbak, dari pagi cuma makan gorengan lho," ujar Aden seraya mengeluarkan gawainya, mengetikkan sesuatu kepada seseorang.
Hening masih bergeming di atas motor, lemas sekali rasanya karena tidak bergairah. Ia merasa ingin sekali tidur saat ini juga, selera makannya sudah hilang.
Sambil memasukkan gawainya kembali ke dalam hoodie, Aden menarik kakaknya perlahan agar beranjak dari sana. "Ayolah turun Mbak! Lagian kayak lo baru kenal Bang Raga aja, menurut gue tadi itu cuma salah paham deh, mana mungkin dia ngelakuin hal kayak gitu? Modelan kayak Bang Raga punya teman perempuan kayaknya cuma lo sama pegawai di kantor kan?"
Bukan karena sogokan, Aden murni membela Raga sekarang untuk menebus kesalahan juga. Toh selama ini Raga juga baik terhadapnya, perlahan Aden sudah mulai menerima sikap pria itu, begitu pun sebaliknya. Terus menambah musuh juga tidak baik.
Hening paham itu, tapi biarkan sekarang ia terlarut dalam kesedihannya. Kapan lagi dia merasa galau kan, biar seperti kembali ke masa-masa SMA dulu. Dari tempat mereka berpijak sekarang, tidak jauh di dalam ruko pecel lele sederhana tampak dua sosok yang ia kenal duduk di kursi membelakangi Hening dan Aden. Anak kecil dan seorang wanita memakai topi dengan surai merah yang terikat rendah, keduanya sedang berbincang dengan bahagia. Wanita—si ibu dari anak laki-laki itu tersenyum tulus, sesekali menyeka mulut sang anak yang belepotan dengan ibu jarinya lalu memberikan minuman es jeruk. Tawa meledak dari sang ibu karena anaknya menyipitkan mata menahan rasa asam. Kebahagiaan yang sederhana.
Ah, memang hari sial sepertinya. Tapi omong-omong, dia bisa tertawa seperti itu juga ternyata. Sudahlah, sejahat-jahatnya manusia pasti tetap memiliki sisi baiknya kan? Meski entah sampai kapan Hening dan Nila jika bertemu akan selalu berseteru.
"Kita makan di rumah aja deh, Den. Gue masakin mi goreng telurnya dua, sama ikan bandengnya sayang kalau nggak di makan. Yuk, ah." Keputusan Hening sudah bulat, sepertinya dia harus menenangkan diri dan menerima semua situasi yang terjadi hari ini.
***
Pojok Author 🍯:
Halo Honey!
Jangan lupa vote dan comment yaaa 😉
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro