Bab 29: Berulah Lagi
"Jadi, Ning sudah dimaafin kan?" Hening telah selesai menyantap roti bakar cokelatnya sampai habis, padahal ada 5 potong dengan kulit yang tebal. Gadis itu sudah terlihat lebih bugar, mata hazel-nya menatap penuh harap ke arah Raga yang sedari tadi hanya diam memperhatikan.
Raga melipat kedua lengannya ke depan dada, tidak langsung menjawab. Dia sedang bingung kenapa Hening merubah cara panggilan dan juga sikapnya terasa berbeda, lebih halus. Bukankah terlihat mencurigakan?
Hening menarik-narik pelan ujung baju Raga, membuat pria itu melirik sekilas. Gue nggak mau dikawinin sama duda botak anak satu! Begitulah tatapan yang memancar pada bola matanya yang cerah, berharap Raga memahami maksud tujuan baiknya.
"Saya memang sedikit kesal, karena kamu tidak bilang apa pun. Coba bayangkan kalau Danar melakukan sesuatu yang lebih gila lagi, bisa-bisa kamu cuma tinggal nama, mau?" ujar Raga dengan tenang. Pikirnya, kali ini Danar mana bisa hanya disogok dua es cendol, sepupunya itu memang sedang bersungguh-sungguh sekarang.
Hening menghentikan aktivitasnya lalu menggeleng cepat. "Maaf," cicitnya sambil menunduk. "Lain kali aku bakal bilang kalau ada hal kayak gini lagi. Waktu itu Mas Danar mengancam, Ning nggak mau terjadi apa-apa juga sama Mama, Aden atau Mas ... janji lain kali bakal langsung laporan." Gadis itu mengangguk mantap sambil mengangkat satu tangannya ke atas, bersumpah pada Raga.
"Ya, intinya harus saling berkabar. Penguntit di sekitar rumah ibumu juga sedang saya urus, jadi kamu tenang saja." Raga berucap demikian sembari perlahan berdiri. "Sudah kubilang kan sejak awal, ada saya, kamu tidak perlu khawatir."
Seulas senyum kecil pada paras Hening menambah kecantikan pada rupa, gadis itu merasa lega dan hatinya mulai menghangat lagi. "Terima kasih."
"Jangan sembunyikan apa pun dari saya, Ning," timpal Raga sambil mengingatkan. "Saya juga minta maaf untuk segalanya, terutama sikap Danar. Kamu pasti ketakutan sekali." Raga mencoba menarik senyumnya, seraya menepuk pelan ujung tendas Hening.
***
Inikah yang dinamakan surga dunia?
Tidak ada lagi sosok Nila yang selalu menampakkan diri sebelum jam 9 pagi. Sudah beberapa hari wanita itu tidak muncul, cuma sekali itu pun kemarin lusa dan hanya sampai siang. Pengawasan Nila mengendur. Pikir Hening, memanglah itu rencana Nila dan suaminya untuk menjauhkannya dari Raga. Memang licik! Sebetulnya Hening sangat merindukan Enzi yang selalu menemani hari-harinya selama ini, meskipun pawangnya galak seperti ayam beranak. Hari-hari berlalu dengan sangat tenang, kondisi sekitar membuat gadis itu nyaman dan betah, kedua pipi Hening mulai berisi lagi, tanda sudah tidak banyak pikiran karena makanan yang ia konsumsi berhasil menjadi daging.
Gue bebas! Terima kasih, Tuhan.
Hubungan antara Hening dan Raga pun sudah kembali membaik, keduanya sepakat untuk saling bertukar informasi mengenai kondisi masing-masing. Kini, gadis itu akan mencoba mempercayakan seluruhnya soal Danar kepada Raga, misalkan kelak diancam lagi, dia sudah tidak perlu khawatir karena Raga bertindak sangat cepat.
"Syukurlah Ning, kamu sama Pak Raga sudah baikan." Rita tersenyum senang sambil mengaduk jus jambu.
Mereka berdua sedang mengobrol di sebuah ruko mi ayam yang baru buka seminggu ini di sekitar kantor, sedangkan kawan-kawannya memilih untuk isi perut di tempat lain. Keduanya cukup penasaran karena selalu ramai pengunjung dan ternyata memang enak makanannya, jenis mi ayam yang banyak kuahnya juga ayamnya sendiri pun melimpah, harga yang relatif murah bahkan pas untuk kantong pelajar apa lagi pegawai.
Hening tersenyum lebar. "Iya, akhirnya Mas Raga udah nggak nyuekin aku lagi," tanggap Hening sambil menyuap mi ayam miliknya.
"Cie, sekarang manggilnya pakai sebutan Mas terus nih. Sebelum bertengkar panggilanmu masih labil, kadang Pak, kadang Mas. Sekarang di depan anak-anak yang lain pun sudah berani nyebut Mas." Rita mengulum senyum jahil, diam-diam rekan kerja Hening ini memperhatikan juga.
Hening rasanya malu sekali, keputusannya sudah bulat memang semenjak berbaikan lagi dengan Raga untuk lebih membiasakan diri. Lagian ribet juga harus ganti-ganti seperti sebelumnya, jadi gas sajalah, tidak ada salahnya juga. Toh berkat itu Raga jadi luluh dan menerima permintaan maafnya.
"Pokoknya kalau bisa, jangan sampai marahan lagi ya. Aku yang repot tahu dibawa kesana-kemari sama Pak Raga, maunya nggak ikutan eh terseret juga ke dalam pertengkaran rumah tangga kalian," sindir Rita sambil mengkerucutkan bibir, lalu mengundang tawa geli dari Hening.
"Nggak rumah tangga juga kali," timpal Hening sambil meraih gelasnya yang berisi es teh.
Rita tertawa pelan. "Oh iya, ikan Nila itu jadi jarang datang. Ya ampun aku bersyukur banget Ning beberapa hari ini kembali normal kayak sebelumnya, nggak ada tekanan hidup. Semoga seterusnya begini, ya. Kasihan kalian direcoki dia terus, padahal sudah punya suami tapi masih saja mengurusi hubungan orang lain. Lakinya ke mana sih itu?"
Ternyata selama ini pikiran Rita seperti itu terhadap Nila, mungkin rekan kerjanya yang lain juga berpikiran sama. Hening hanya dapat tersenyum tipis dan mengaminkan jika Nila sudah berhenti mencari gara-gara.
***
Keduanya telah kembali ke kantor, Rita sibuk dengan pekerjaannya lagi, sedangkan Hening berbelok dulu ke rumah Raga. Langkahnya terhenti di pekarangan saat melihat seekor kucing kampung hitam sedang duduk sambil menjilat bulunya.
"Eh, kocheng ... ada kocheng!" Seperti melihat harta karun gadis itu berlari kecil lalu menggendong kucing itu pada pelukan, badannya gemuk dan bulunya panjang, sepertinya sudah campuran. Kucing itu menurut sambil sesekali mengeong, tidak memberontak sama sekali seperti sudah jinak, sangat menggemaskan.
"Halo meng gendut, masuk yuk aku ambilin snack kucing ya," monolog Hening sambil berjalan masuk untuk mengambil makanan kucing di dapur. Awalnya memang sangat ditentang oleh Raga, tapi Hening selalu bersikeras demi bisa memberi makan kucing yang suka mejeng di depan rumah Raga. Hitung-hitung melancarkan rezeki, akhirnya pria itu terpaksa menyetujui.
Sesampainya di dapur, terlihat Raga sedang fokus memberi makan ikan, fokusnya pada kolam yang besar, pria itu tampak serius sampai tidak menyadari kehadiran Hening.
"Meng, kamu diam ya jangan—" Belum juga menyelesaikan kalimatnya, Hening harus dikejutkan dengan tingkah kucing hitam itu yang melompat dari gendongannya menuju meja yang terdapat akuarium kecil berbentuk bulat.
Suara kucing pun mengalihkan fokus Raga, dia berbalik dan mendapati Hening yang panik mengejar kucing. Hewan itu lompat ke sana dan kemari seperti jangkrik. Raga buru-buru mengambil langkah besar setelah menaruh pakan ikan di sisi kolam.
"Kenapa kucingnya bisa masuk?" Suara Raga bak sambaran petir dengan raut wajah kesal sambil memperhatikan Hening dan kucing yang lari dengan lincah di dalam dapurnya.
"Meng jangan!" Hening tidak memperdulikan ucapan Raga dan fokus menangkap kucing, hingga hewan berbulu hitam itu menyenggol akuarium kecil milik Raga hingga pecah.
Hening tampak panik sambil menutup mulut dengan kedua tangannya, matanya melebar, dengan sigap mendekati pecahan beling dan lantai yang sudah basah, keadaan saat itu sungguh keos. Sedangkan si pelaku sudah lari berbalik ke ruang tengah.
"Ma-Maaf Mas, aku nggak bermaksud ...." Ekspresi Hening pucat pasi, baru saja berbaikan dengan Raga tapi dia sudah melakukan kecerobohna lagi. Gadis itu bercangkung hendak membersihkan pecahan beling namun langsung dicegah oleh tangan besar milik Raga.
"Tanganmu nanti luka, perhatikan langkahmu juga. Biar nanti dibersihkan oleh pekerja di sini. Sekarang, cepat selamatkan anak-anak saya dulu!" ujar Raga sambil mengambil ikan-ikannya yang menggelepar di lantai dengan hati-hati.
***
Pojok Author🍯
Halo Honey! Mulai hari ini MITAMBUH akan update setiap 1 minggu 2x ya! Bagi yang mau baca lebih cepat dan udah penasaran banget sama kelanjutan ceritanya, bisa langsung mampir ke Karyakarsa: HanieCoco (link aku taruh di bio) di sana sudah sampai bab 40 dan bakal update terus setiap hari lhoooo hehe.
Have a nice day, Honey!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro