Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 19: Tumben

Pagi-pagi buta matahari belum menampakkan diri. Di luar sana masih gelap, warna pohon rindang menyatu dengan latar sekitar, mungkin akan sulit membedakan mana yang daun dan rambut panjang penunggu pohon rambutan, sebab penerangan masih minim. Jam menunjukkan pukul 05.15, Hening menyudahi kegiatannya mengecek luar dari balik jendela kamar, lalu memilih untuk menyisir rambutnya. Kantuk masih mendominasi. Dia lantas beranjak duduk di sisi ranjang, sambil menggulir gawai untuk mengecek aplikasi burung biru, kali saja ada orderan masuk.

Maniknya seketika membulat, padahal detik sebelumnya kedua mata Hening masih terasa berat dan sayu, namun kini sepenuhnya telah terbuka lebar. "Pak Raga nggak salah kirim?" Ia bermonolog sembari menaruh sisir kembali ke meja.

Gadis itu sampai mengucek-ngucek matanya, barangkali ia salah lihat.

Raga mengirimkan foto dirinya lewat whatsapp. Sosok itu sedang selfie dengan sebuah mangkuk berisi bubur ayam, ekspresinya tidak senyum, angle yang diambil dari bawah terlihat tidak pas, kurang naik sedikit menurut Hening, untung saja wajahnya tampan. Pengambilan yang sangat buruk, persis seperti bapak-bapak kalau memfoto sesuatu. Fakta baru yang Hening dapatkan, lain kali dia tidak akan meminta Raga memfotonya.

Dih, kayak Pak Raga mau foto lo aja, batin Hening.

"Ya ampun, seneng banget ya dia dapat bubur ayam di jam segini? Eh tapi katanya lagi lari pagi?" Hening tertawa lepas, lalu kembali membalas pesan dari Raga sambil bergumam pelan. "Aduh Pak ... itu namanya bukan lari pagi tapi jajan pagi."

"Hah? Minta foto gue?" Hening membaca balasan dari Raga, sepertinya pria itu masih belum bangun dari tidur. Si gadis mengkerutkan kening, takut-takut bosnya itu kerasukan hantu genit.

Hening bergerak gusar, bingung harus berpose seperti apa dan berniat mengganti bajunya, tapi niatannya tidak terlaksana karena berpikir hanya menyusahkan saja pagi-pagi. "Ribet amat! Gini aja deh."

Kembali duduk di tepi ranjang, Hening mengarahkan kamera depan ke wajah khas bangun tidur miliknya, sampai sebatas pundak. Ekspresi gadis itu kelewat datar, lalu satu ibu jari kanan terangkat, sejajar dengan pipinya yang tembam. Foto itu pun sudah terkirim, tanpa mengulang berkali-kali, cukup satu kali take saja, sangat cocok dijadikan meme pula.

Raga

Cantik.
Bisa buat sticker whatsapp sama nakut-nakutin tikus.

Pesan itu buru-buru Hening balas dengan voice message. "Awas aja kalau wajah cantik saya sampai tersebar jadi sticker whtasapp, nanti kalau banyak yang naksir, saya yang repot Pak."

Hari ini sikap Raga sungguh aneh tapi nyata, belum pernah sekali pun dia mengirimkan foto, paling selama ini hanya membahas pekerjaan ya isinya attach file dan foto KTP klien. Hening curiga, sepertinya Raga terlalu terbawa peran sandiwara yang berlangsung, sampai seperti itu.

***

Subuh tadi sudah ada dua pesanan gambar sekaligus, Hening tentu saja senang bukan main, lumayan dapat tambahan buat jajan ayam goreng, ia akan kerjakan nanti saat senggang. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kediaman Raga, kedua matanya menyipit mendapati makhluk serba hijau seperti sawi berjalan. Hening mengerjapkan mata, kali ini mendapati pemandangan Nila dengan wig hijau mencolok yang bergelombang sepanjang dada. Wanita itu sedang bermain dengan Enzi yang tampak menarik-narik rambut ibunya, mungkin karena terlihat seperti sayur.

Kok nggak ada tanda-tanda Pak Raga ya? Di kantor ya?

Hening pun perlahan balik kanan, mumpung Nila sedang asyik dengan anaknya. Gadis itu terlalu malas jika harus meladeni Nila yang rempong.

"Aunty Ning!" Suara Enzi menghentikan langkah Hening, dengan sangat terpaksa dia perlahan berbalik dan tersenyum manis.

Enzi, Aunty lagi malas meladeni nenek sihir ... sungguh.

Nila menyilangkan kedua lengannya, ekspresi judes pun terbentuk khusus untuk Hening, padahal tadi tawa lebar yang ramah, sekarang berganti menjadi aura mendung nan bergemuruh. Ia siap kembali berperang. Tidak ada kapok-kapoknya.

"Eh, Enzi! Lagi main apa, ganteng?" Hening melepas sepatunya lalu masuk ke dalam sambil berlari kecil dan berakhir dengan memeluk tubuh mungil Enzi. Anak itu pun terkikik senang. Hening melirik Nila, tumben wanita itu diam saja, hanya memperhatikan dengan pandangan kesal.

"Lho, sudah ramai ternyata." Suara bariton yang sangat Hening kenal mengalihkan perhatiannya. Raga baru datang dengan kaos putih dan celana training hitam terlihat santai, peluh memberikan efek mengkilat pada leher dan beberapa bagian wajahnya, membuat Hening sontak menelan ludah.

Nila yang terlihat tidak peduli pun berdiri dan melenggang keluar sambil menerima telepon masuk dari kawan sosialitanya, ia terdengar heboh banget sambil sesekali terkikik geli.

"Ihihihi." Enzi mengikuti cara tertawa Nila sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan mungilnya, lalu dihadiahi cubitan pelan di pipi oleh Hening. Gemas sekali anak itu, dia pun kembali fokus bermain lego yang tersebar di atas karpet.

Raga duduk di sofa sambil menaruh plastik gorengan dan foto berukuran 2R di atas meja.

"Bapak baru datang?" tanya Hening penasaran.

Anggukan dilaku Raga. "Tadi ada futsal, nonton sebentar malah keterusan."

Santai sekali ya hidup bosnya ini, Raga masih sempat berlari pagi sambil menonton futsal, uang pun tetap mengalir.

Hening berdiri, mengamati foto yang ada di meja. Merasa kenal dengan kenampakan yang tercetak di sana, gadis itu langsung menyahut foto sebanyak lima lembar yang sudah dipotong rapi.

"Pak, kok foto saya di cetak begini?" Suara Hening meninggi sambil menatap Raga jengkel. "Memangnya saya orang hilang?"

"Lho, sudah saya bilang subuh tadi kan? Pas ada foto copy-an di depan yang buka, berwarna lho Ning, soalnya kalau di kantor cuma hitam putih. Nanti fotomu itu ditempel di lemari saya satu, pintu kamar tamu satu ...." Raga tampak menimbang spot mana yang bagus untuk ditempelkan foto Hening.

Gadis itu mendelik, merasa tidak terima. "Pak—"

"Pak Raga! Mbak Nila itu ... bikin keributan di kantor." Rita datang sambil mengatur napas, sepertinya keadaan di sana sudah tidak terkendali.

***

"Saya viralkan ya kamu, menghina penampilan saya! Coba bilang apa tadi?" Suara nyaring Nila menggelegar seisi kantor, padahal di sana sudah ada beberapa klien yang datang. "Lihat ya, Bapak dan Ibu di sini yang menjadi saksi!" Wanita itu menunjuk satu per satu klien yang tampak bingung, sambil mengarahkan kamera gawainya yang sedang merekam, lalu kembali menyorot Nana yang menunduk ketakutan. Dia salah satu pegawai di kantor.

"Tadi bilang apa waktu di luar hah? Sekarang nggak bisa ngomong?" Bentakan Nila membuat Nana ingin menangis, pegawai yang lain tidak ada yang berani maju untuk menolong atau pun melerai, bahkan Rita sekali pun.

"Heh, sawi berjalan!" Suara lantang Hening menghentikan aksi semena-mena Nila, gadis itu dengan berani berdiri diantara Nila dan Nana, berniat menjadi penengah.

"Apa kamu bilang?" Nila tambah naik pitam, dress hijau berbentuk seperti gamis betul-betul membuat wanita itu seperti batang sayuran.

Tangis Enzi menggema, dari gendongan Rita dia minta turun dan berlari kecil ke arah Hening dan Nila. "Huwaaa!"

Tamu yang ada di sana hanya bisa heran sambil memperhatikan tingkah wayang orang yang sedang melakukan pentas drama. Ingin menengahi pun rasanya sungkan.

"Aduh sayang, jangan nangis ya," ucap Hening hendak menggendong Enzi.

"Enzi, ayo sama Mami." Nila pun Hendak merebut anaknya dai Hening, namun Enzi terlihat tidak mau, lalu memeluk leher Hening dan masih menangis kencang karena menjadi bahan rebutan.

"Enzi maunya sama saya!" Hening pun masih dengan pendiriannya.

"Ya ampun, sudah, sudah! Jangan bertengkar di sini, kasihan Enzi itu! Malu juga dilihat tamu!" Raga yang telat datang setelah membasuh wajah pun langsung melerai Hening dan Nila.

Situasi yang keos jika dilihat dari sudut pandang para tamu yang datang, lantas terlihat seperti pertengkaran dua istri yang memperebutkan hak anak, lalu suaminya datang berusaha melerai. Kasihan sekali Raga.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro