Bab 1: Awal Mula
"Hening ... Merona." Nada penuh penekanan yang terdengar semakin merendah pada tiap-tiap kata, membuat gadis setinggi 155 sentimeter itu merinding sambil menelan ludah dengan susah payah.
"I-iya, Pak, saya Hening Merona." Hening meremas rok abu-abu pendek selutut yang ia kenakan untuk menahan kegugupan diri, keringat mengalir pada tengkuk, ruangan terasa sangat dingin bukan karena AC yang dalam keadaan menyala, semua itu karena aura mengerikan dari pria di hadapannya, tubuh berisi seperti beruang madu, meski tidak memiliki cakar, tapi bosnya itu seakan siap untuk menerkam Hening.
"Iya kamu." Pria berkacama tebal di hadapan Hening yang duduk bersandar pada kursi menatap gadis itu sembari menggeleng pelan, kalimatnya sangat tegas, keningnya terus mengernyit sambil menatap tajam pada Hening. "Kamu tidak tertolong, Ning. Saya tidak bisa membantu lagi, hari ini saya urus berkasmu dan silakan mulai berhernti bekerja."
Seperti sedang duduk di kursi panas, lalu tersambar petir, senyuman gugup kini kian meredup sambil menyeka keringat dingin dengan punggung tangan, bibir Hening yang terasa kering sekilas ia sapu dengan lidah sambil menatap bos di depannya, surai yang dikucir sudah sedikit melorot karena tadi tergesa datang, ini masih pagi dan Hening sudah harus menghadapi kenyataan pahit.
"Pak Mul, saya janji ...."
"Semangatmu memang sangat bagus, tapi kembali saya tekankan, perusahaan tidak menginginkan karyawan yang ceroboh." Pria itu berdiri sambil membetulkan kacamata dan mengecek jam tangan. "Kamu berulang-ulang melakukannya, jadi, silakan bereskan barang-barangmu."
Hening menatap kepergian atasannya dengan nanar, tubuhnya kaku di tempat, merasa tidak rela angkat kaki dari perusahaan. Di umurnya yang ke-23, ini pekerjaan yang ke lima selama tiga bulan, ia sudah berganti pekerjaan sebanyak itu, mungkin jika hal ini bisa dengan bangga dimasukkan ke dalam daftar riwayat hidup, Hening tidak akan sefrustrasi sekarang, melainkan bersenandung riang saat ke luar dari ruang bosnya.
***
Jum'at, memberikan pemandangan hangat. Jalanan cukup lengang disaat kebanyakan orang melakukan ibadah, suasana setelah hujan memang terasa sejuk dan menenangkan. Hening duduk di bangku besi menghadap ke jalan, di bawah pohon rindang. Mulutnya aktif mengunyah roti selai stroberi, di sampingnya ia letakkan susu kotak cokelat yang sudah setengah diminum. Sesekali kuasanya menyeka ingus yang keluar dengan sendirinya. Matanya merah dan sembab, rambutnya yang dikucir sedikit berantakan terkena hembusan angin. Menangis membutuhkan energi, jadi ia terus menelan roti dan minum susu.
"Ma, kakaknya kenapa?" Tanya seorang anak kecil kepada ibunya.
Saat Hening hendak mengambil susu kotak, tangannya tidak sengaja menyenggol minuman itu dan terjatuh ke aspal hingga tumpah. Ia hanya bisa menunduk dan bergeming, dengan kasar melempar roti ke bangku sambil menghentak-hentakkan kaki.
"Sudah, jangan dilihat." Ibu yang lewat dengan anaknya tampak berjalan terburu-buru. Wanita paruh baya itu sekilas menatap Hening dengan iba.
"Habis putus dari pacar ya, Ma?" Anak kecil yang sudah ditarik menjauh berceletuk demikian.
Andaikan sesederhana itu, untuk apa menangisi seorang pacar? Tidak manghasilkan uang, yang ada hanya merugi.
Hening yang menjadi bahan tontonan beberapa orang pun tampak tidak peduli. Ingatannya kembali ke masa lalu, saat Sangga, ayahnya meninggal akibat kecelakaan bus. Hal itu terjadi karena Sangga berniat menjemput Hening di Yogyakarta. Seharusnya yang datang adalah sosok ayahnya yang dinanti, tapi malah kabar duka yang didapat. Sejak saat itu, Hening kecil selalu menyalahkan diri, rentetan kesialan bertubi pada hidup berhasil menutup hatinya hingga sekarang.
Andaikan dulu papa tidak menjemputku, andaikan aku tidak dilahirkan, batin Hening sendu.
Seorang pria yang tengah mengobrol dengan supirnya di luar mobil, sempat melihat orang-orang yang menatap sesuatu sambil berbisik-bisik. Pria itu perlahan memperhatikan sekitar dan berhenti pada Hening. Si pria langsung tahu, jika hari ini ada yang sedang terpukul karena kehilangan pekerjaan. Ini jam kerja, namun gadis itu malah menangis di pinggir jalan. Pakaian kantor yang masih Hening kenakan, sepatu formal berwarna hitam, dan wajah putus asa. Menjeda, ia pun masuk ke dalam mobil hitam miliknya dan melesat melewati Hening.
Hening duduk sedikit meringkuk, sudah tidak ada selera untuk makan. Seketika saat sebuah mobil hitam lewat, rok dan sepatunya terciprat genangan air yang kotor. Perlahan ia kembali duduk tegap, merasakan rambut bagian atas ikut basah, air keruh itu tercampur pasir. Hening hanya bisa memendam rasa kekesalannya sambil melotot ke arah mobil yang sudah jauh di depan, rahangnya mengeras, dua tangannya mengepal, sudah siap untuk meninju.
"Sabar, Ning, sabar." Gadis itu menarik napas dalam-dalam dan dihembuskan perlahan, seraya mengelus dadanya agar lebih tenang. Ini baru awal dari rentetan kesialan yang selalu Hening konsumsi tiap harinya.
***
"Lho, kamu kenapa Ning? Kok sudah pulang?" Sayani berlari keluar rumah menuju putrinya yang dari masuk pagar sudah ngos-ngosan dan terlihat kumal, ekspresi Hening cemberut menahan tangis, keringat mengucur karena hari telah berganti menjadi terik. Rambutnya pun terurai berantakan, kucirannya terjatuh tadi saat berlari. "Kok nyeker? Sepatumu mana?"
Sambil terisak Hening mengangkat satu sepatu yang ada di genggamannya, tinggal sebelah, beruntung ia masih bisa menyelamatkan pasangannya saat tiba-tiba tadi diserang soang milik tetangga di ujung jalan masuk.
"Tadi ojek daring Ning mogok, terus karena lama jadi Ning bilang mau jalan kaki aja dari depan sana, terus Ning lupa kalau belum lewat rumahnya Bu Kokom yang punya soang galak itu ... yasudah Ning lempar sepatu aja soangnya yang mau nyerang Ning, terus lari sampai rumah, Ning capek Ma."
Hening memeluk tubuh Sayani mencari kenyamanan, perempuan paruh baya itu pun mengelus punggung anaknya dengan raut wajah khawatir. "Yasudah kamu mandi dulu gih terus makan. Baumu prengus, sana, biar cantik dan wangi lagi."
Hening mengangguk lemah lalu melepaskan pelukannya dan berjalan dengan kaki yang diseret karena malas, tenaga seakan sudah terkuras habis. Ia pun membersihkan diri, menyiapkan mental untuk menceritakan soal pemecatannya yang kesekian kali.
Mereka pun duduk bersampingan di sofa ruang tengah. Sayani mendengar tuturan Hening dengan hati kecewa bercampur sedih. Selama ini anaknya harus melewati hari-hari yang berat, hembusan napas penuh beban dilaku Sayani, ekspresinya terus memperlihatkan kekhawatiran sejak tadi. Sebagai seorang ibu, ia tidak bisa tinggal diam dan harus melakukan sesuatu.
Hening sudah berganti memakai pakaian santai, habis mandi tubuhnya pun sudah harum sabun. Ia telah bercerita keluh kesahnya kepada Sayani, namun hati gadis itu masih terasa berat.
Perutnya sedikit terisi nasi yang sedang ia santap dengan lauk telur dadar, ia mengunyah dengan perlahan, menelan makanan itu penuh tenaga ekstra di kala mood jelek yang menghadang. Sayani dengan sabar menemani Hening di sana.
Kehadiran Sayani cukup menenangkan bagi Hening, setelah meluapkan semuanya, ia merasa sedikit lebih baik.
"Sudah baikan?" Sayani menanyakan keadaan anaknya dengan nada yang lembut. Hening pun mengangguk pelan.
"Makanya dengarkan kata Mama! Betulan kejadian kan?" Sayani bersedekap, perubahan yang signifikan darinya, kini malah memojokkan Hening. Ruang tamu berukuran sedang membuat keduanya terlihat menonjol. Hening dengan tampang pasrah, dan Sayani yang mendominasi suasana.
Tidak jadi menenangkan. Ternyata Sayani sedari tadi hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengomel.
"Habisnya, Mama itu doakan anaknya yang baik-baik, bukan malah bahas soal nanti kalau dipecatlah ... jadi Ning dipecat betulan."
"Lho, soalnya kamu nggak mau dengar masukan dari Mama." Sayani tetap berpegang teguh dengan ucapannya. "Kemarin Mama sudah bilang kan, ini yang ngomong orang pintar di kampung lho, Ning."
"Hening cuma percaya sama Tuhan," elak Hening.
"Cangkemmu iku lho. (Mulutmu itu lho)." Sayani mencubit pelan mulut Hening yang sedang manyun dengan satu tangannya.
"Coba, menurut Mama di mana Ning bisa dapat pria mapan, sopan ... terus apa lagi?' Hening menatap Sayani dengan serius, mencoba mengingat persyaratan yang diberikan oleh orang pintar yang menurutnya hanya ada di komik-komik yang dia baca, kurang masuk akal.
"Dompet tebal," timpal Sayani dengan tenang, tapi di dalam hatinya sangat setuju dengan poin ini.
"Iya, itu, sama ... warna mata kayak Hening?" Ia terkekeh hambar. "Warna hazel kayak gini mungkin kalau Ning carinya di Korea, bakal mudah."
Ledakan pertengkaran diantara keduanya pun terjadi. Sejak kedatangan Sayani ke Jakarta, ia terus memberikan peringatan kepada putrinya yang bebal.
"Hanya itu satu-satunya solusi, Ning, kamu mau nggak percaya juga kesialan yang menimpamu itu nyata," jelas Sayani.
Hening meletakkan piringnya lalu menghadap ke Sayani sepenuhnya. "Terus, ada persyaratan terakhir soal ciuman itu, Mama nggak masalah anaknya nyium anak orang, gitu?"
"Ya memang kenapa? Umurmu sudah hampir seperempat abad, toh anak manusia yang bakal kamu cium, bukan anak gorila. Kucing tetangga aja sering kamu cium-cium kan."
"Itu beda lagi, Ma." Jawab Hening dengan suara sehalus mungkin.
"Sudah, pokoknya Mama nggak mau tahu!" Ucap Sayani tidak terbantahkan dengan raut wajah kesal. "Harus segera kamu cari pria itu atau ...."
Hening memasang ekspresi penuh curiga, menatap takut-takut Sayani, pasti setelah ini sebuah ide gila yang tidak terduga akan terucap dari bibir pedas ibunya.
"Atau apa, Ma ...?"
***
Hi Honey! Gimana kabarnya? Semoga selalu dalam keadaan baik.
Selamat datang di cerita ke-2 dengan judul MITAMBUH.
Aku buat kisah ini dengan alur yang sangat ringan, maksud tujuan agar teman-teman yang mungkin lagi suntuk sama kehidupannya bisa terhibur pas baca MITAMBUH, hehe, semoga suka dengan ceritanya ya.
Happy reading ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro