🍁- 𖤘 :: Mengkhawatirkanmu.
“Suhu benar-benar turun, ya. Untung aku lumayan tahan dingin.”
Iris mata maroon mengedar ke penjuru arah. Sinar matahari sore membantu kedua netra itu melihat pemandangan daun musim gugur yang melayang hingga perlahan jatuh ke atas batu nisan dan menumpuk di atas sana.
Annara White. Gadis bersurai hitam itu tengah melangkahkan kaki menelusuri jalan di antara makam yang berjejer, sembari menggosok kedua telapak tangan untuk mencari kehangatan di tengah-tengah udara dingin ini.
“Eh, bunga untuk ibu gak jatuh, kan?” Nara meraba saku mantel bagian kanan. Mendapati satu buket bunga di sana. Untuk sang mama. Alasan yang membuatnya mendatangi tempat ini setelah ia pulang dari bekerja.
Nara memang sering mengunjungi makam ibunya setiap bulan November. Sebab ia berpikir tentang filosofi musim ini.
Musim gugur mengajarkan makhluk hidup untuk melepas sesuatu yang memang harus pergi, seperti mereka yang telah ditinggalkan oleh orang terkasih karena keadaan. Hanya bisa merelakan dengan lapang dada, walau rasanya sangat menyakitkan.
Itu yang sang gadis rasakan sekarang. Merelakan kepergian yang tak bisa disangkal. Karena takdir telah bertindak.
Gadis itu berjongkok di depan satu makam yang telah ditimbun daun-daun nakal. Tangan kanannya bergerak menyapu daun-daun kering itu, lalu meletakkan buket bunga miliknya ke atas batu nisan bertuliskan nama sang mama.
Hana.
Nama yang indah. Layaknya senyuman wanita itu.
Nara menyunggingkan senyuman lembut. Menatap batu nisan dengan pandangan sendu. Mengingat semua kenangan indah bersama ibunya saat beliau masih hidup dulu. Semua nasihat dan cerita yang ia bagikan, makanan manis buatannya, dan suara tawa khas miliknya. Yah, itu kenangan yang indah, dan Nara bersyukur masih bisa mengingat semuanya meski samar.
“Haaa ...?”
Nara menolehkan kepala ke arah kiri. Mendapati seorang pria bersurai putih yang tengah menatapnya dengan pandangan tak percaya, dengan mulut menganga lebar.
“Eh? Satoru?” Nara berdiri. “Bukannya kau tadi pergi menjalankan misi?”
Gojo Satoru. Seorang penyihir dengan julukan yang terkuat. Kekasih hati sang gadis. Pria itu seharusnya pergi melakukan pekerjaannya sejak Nara berangkat menuju pemakaman ini. Lalu, kenapa dia malah ke sini?
Gojo merentangkan kedua tangannya ke atas. Tersenyum ceria khas dirinya.
“Ayo, kemarilah~ peluk akuuu~!” katanya dengan nada riang.
Nara tertawa. Tangan kanannya menutup sebagian wajah yang mulai memerah. Ia menggelengkan kepala. Lantas berkata, “Kau belum menjawab pertanyaanku, loh~”
“Cih.” Gojo mengerucutkan bibir, lantas kedua tangannya masuk ke dalam saku. “Aku habis pulang dari misi.”
“Mau ke makam kak Suguru?”
“Seperti yang kau liat, tapi aku tidak tahu kalau kau juga akan ke sini, sih, Nara.”
Nara melebarkan senyuman. “Aku tadi mau mengajakmu ke sini, tapi karena kau punya pekerjaan. Jadi, aku putuskan untuk pergi sendiri.” Gadis itu mengedikkan kedua bahunya. “Omong-omong, tumben pekerjaanmu cepat selesai?”
“Huh? Tentu saja. Kau pikir aku siapa?” Gojo menaikkan sebelah alisnya.
“Tidak, bukan itu maksudku.” Nara menggeleng. “Biasanya kau akan main-main dengan musuhmu sampai menghabiskan waktu, tapi kau kembali dengan cepat padahal baru pergi tiga puluh menit yang lalu.”
Gojo bungkam. Netra indah sebiru langit menatap batu nisan ibu gadisnya sembari memikirkan alasan yang bagus untuk menjawab pertanyaan Nara. Karena ... Gojo tak mungkin berkata jika dia sengaja melakukan itu karena ingin bertemu dengan gadisnya segera.
Meskipun mereka sepasang kekasih, si surai putih kadang tak tahu bagaimana cara menunjukkan perhatian untuk sang gadis. Yah, orang yang sudah terlalu lama hidup di atas 'langit' untuk pertama kalinya memiliki perasaan di hati. Kebingungan mengekspresikannya hingga berakhir dengan cara yang salah. Jujur untuk menunjukkan perasaanya pun sulit dia lakukan karena tak terbiasa.
Beruntung, Nara adalah orang yang telah memahaminya.
“Oh? Kutukan yang kulawan terlalu lemah. Jadi, karena membosankan, aku menyelesaikannya dengan cepat. Aku jadi bingung kenapa para petinggi memintaku untuk melawan roh kutukan itu,” jawab Gojo dengan nada angkuh.
Nara mengerjapkan mata. Kedua mata maroon menatap tepat ke arah sang pria. Melayangkan pandangan khawatir setelah lelaki itu berkata dengan nada sombong khas dirinya. Meskipun ia tahu Gojo adalah yang terkuat, tapi keangkuhan atas kekuatan besar yang ia miliki bisa jadi bumerang untuk diri Gojo sendiri. Namun, mengatakan kalimat hati-hati pada orang seperti dia rasanya percuma, lelaki ini keras kepala. Tak bisa ditaklukkan begitu saja.
Meskipun begitu, tak ada salahnya untuk mencoba berkata.
“Kau ini memang kuat dan nyaris sempurna, tapi ... karena kesempurnaanmu itulah, kesombongan menjadi musuh besar yang harus kau lawan.” Nara melangkah menghampiri sang pria. Kedua tangannya bergerak menggenggam tangan kanan Gojo. Menangkupnya.
Gadis itu mendongak. Menatap Gojo. Memberikan senyuman hangat, juga tatapan teduh yang menenangkan.
“Aku tak bisa memaksakan kehendak seseorang untuk berubah dan tak akan ada yang benar-benar berubah jika aku menekan.” Gadis itu tertawa kecil. “Satoru ... aku hanya ingin bilang, berhati-hatilah. Melihatmu meremehkan orang lain membuatku cemas. Sangat. Pikiran jika kau terkena masalah karena keangkuhanmu sendiri benar-benar membuatku sesak.
Orang lemah ... bisa menang melawanmu saat kau yang terkuat lengah pada mereka.” Pandangan gadis itu berubah sendu.
Gojo bungkam. Menatap Nara dari balik kain hitam dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia tak menyangkal perkataan gadis ini, tapi tak menyetujui juga.
“Aku tahu kebiasaan itu sulit untuk dihilangkan. Aku pun juga tak memaksamu untuk berubah jika kau tak menginginkannya. Aku hanya ... mengatakan kekhawatiranku saja,” kata perempuan itu dengan volume rendah.
“... Hee.” Gojo tersenyum miring. Gadis ini mengkhawatirkannya. Tentu saja. Hal itu mengundang perasaan senang yang perlahan merasuki hatinya. Walau sulit dan ia tak terbiasa, mempertimbangkan perkataan gadisnya bisa ia lakukan sebagai bentuk jika dirinya menghargai perkataan Nara.
“Nara ... perkataanmu itu ....” Tangan kiri Gojo terangkat mengusap tengkuknya.
“Hm?”
“Aku akan memikirkannya.”
Nara membelalakkan kedua mata. “He—”
“Kalian ngapain mesra-mesraan di depan pemakaman? Cari spot lain, kek. Gak modal, deh.”
Nara dan Gojo menolehkan kepala ke asal suara. Mendapati pria dewasa berumur 38 tahun, bersurai hitam dengan mata hijau. Kouno Haruto, guru dan wali Nara, yang sedang menepuk-nepuk lehernya menggunakan buket bunga yang ia pegang.
“Pak tua ....”
“Sensei ....” Ekspresi Nara berubah lelah.
“Aku ke sini mau mengunjungi makam Hana-san dan kekasihku, tapi malah mendapati kalian pacaran.” Haruto menggelengkan kepala. “Ckck, dasar anak muda.”
“Tch. Dasar pengganggu.”
“Kau mau kubawakan cermin, Nak Gojo?” Haruto melangkah mendekat.
“Huh? Aku tahu kalau wajahku tampan, Haruto. Buat apa bercermin lagi, ha?”
“Haha.” Haruto tersenyum nyelekit. “Perkataanmu itu makin membuatku ingin mencakar wajahmu.”
“Memang bisa?”
“Anak siala—”
Nara mengejapkan mata. Melayangkan tatapan tak percaya. Ia masih tercengang dengan jawaban Gojo setelah ia mengatakan tentang rasa kekhawatirannya. Meskipun dia adalah kekasih sang surai putih, pria ini jarang menunjukkan sifat penurut. Yah, Nara paham alasannya. Namun, melihat pria itu ingin mempertimbangkan ... membuat senyuman mekar pada wajahnya yang manis.
“Huh? Nara, ayo pulang. Aku laparr~!”
“Aduuhhh, dasar pasangan muda.” Haruto menangkup kedua pipinya yang bersemu merah.
“NARAA! PAK TUA INI KENAPA, SIH?!”
“AAAAAA!”
Nara menyaksikan interaksi Gojo dan gurunya. Seenggaknya ... aku tak perlu terlalu khawatir sekarang. Ia memiringkan kepala. Melebarkan senyum hingga kedua mata tertutup.
Seperti kisah ini.
▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃
. * ˚
· ⋆
˚ · ⋆
· . ⋆ ·
. . *
· ⋆
「NOTE」
Pake OC-ku sesekali enggak papa, lah, yaa🤣🤣🤣
Chapter selanjutnya tidak ada hubungannya dengan part ini.
Ann White
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro