2.Suram
Aku kemudian langsung menelpon tante.
"Tante ini aku Zila."
"Iya ada apa Zila? Cepat pulang udah jam 11 malam," gerutu tante di telpon.
"Tante Ka ... Kasih."
"Kasih kenapa?" Sari nada bicaranya tante terdengar sedikit nada cemas.
"Kami di rumah sakit xxx."
"Apa? Kalian kenapa? Tunggu tante ke sana."
Tante terdengar sangat panik saat di telpon, setelah tante datang aku lalu memberanikan diri menceritakan kejadian yang menimpa kami tadi, lalu tante menemui Kasih di ruangan rumah sakit.
"Kasih ... tenang Nak...."
Ucapnya menenangkan anaknya yang sedari tadi menangis tak henti-henti.
"Ma... Mama hu.. hu.. hu.. "
"Tenang sayang, mama bersama mu."
"Aku gak berguna lagi ma."
"Stt ... jangan bilang gitu nak!"
Aku hanya melihat mereka berpelukan, tante menenangkan Kasih.
Malam itu aku dan tante menginap di rumah sakit menjaga Kasih.
Tengah malam aku terbangun karena sangat lapar aku pergi ke kantin rumah sakit, Kasih saat itu masih terbangun melamun dengan tatapan kosong.
"Emm ... Kasih aku mau ke kantin, mau titip sesuatu?"
Aku mengajaknya bicara tapi dia hanya menggeleng kepalanya, tante sedang tidur di sofa jadi aku tidak enak menawarkannya.
Saat aku kembali dari kantin aku melihat tangan kiri Kasih yang berlumuran darah dan tangan kanannya yang menggenggam pisau.
"Aaa Kasihhh!" teriak ku saat itu sangat nyaring sehingga membangunkan tante, tante dengan cepat memanggil dokter di ruang perawat dan setelah diperiksa dokter kasih sudah tak bernyawa lagi.
Keesokan harinya Kasih dimakamkan, tante masih belum bisa menerima anak satu satunya itu meninggalkannya, tante sangat lama berdiam diri di makam Kasih, aku sedikit memaksanya untuk pulang tante pasti merasa sangat syok atas kejadian ini lalu saat kembali ke rumah aku mencoba menenangkannya tapi aku malah diusir dengan tante.
"Tante tenanglah ikhlaskan Kasih," ujarku dari pintu sedangkan tante sedang duduk di cermin kamarnya.
"Kasih pasti kesepian, dia sepi dan aku juga sepi di sini haha... Ha.. Ha"
"Tante, tenanglah!"
"KELUAR DARI KAMAR KU!"
Aku membiarkan tante menenangkan dirinya, aku membiarkannya sendiri.
Malam setelah Kasih dimakamkan malam itu tante mencoba bunuh diri di kamarnya aku melihatnya saat tak sengaja ingin buang air
"Anak ku sayang aku akan menyusul mu sayang, Kasih sabar ya hihi."
Saat ia mulai mencoba mengangkat pisaunya aku mencela.
"Tante jangannn!! lepaskan pisaunya!"
Aku langsung masuk begitu saja ke kamar tante.
"pergi kamu! Aku ingin dekat dengan anakku."
Tante menodongkan pisau padaku, aku mencoba perlahan-lahan mendekati tante untuk mengambil pisaunya.
"Hi, kamu mau ikut aku juga ya menjemput Kasih hehe, biar kamu yang kubunuh dulu ya."
Tante semakin maju ke arah ku dengan pisau yang digenggamnya lalu ia menyerang ku dengan pisau yang dipegangnya, aku lalu lari dan bersembunyi di bawah kolong meja dapur dengan gemetar aku fikir ini adalah hari terakhirku.
"Zilaa.. a.. a.. Sembunyi dimana kamu anak manis."
Aku hanya fokus melihat pisau dan tangan tante saat di bawah kolong meja.
Aku tak tahan dan memberanikan diri keluar, mencoba melawan tante, lengan ku tergores pisau awalnya karena Tante menyarang begitu frontal tapi akhirnya aku memukul kepala tante dengan piring kaca hingga berlumur darah, aku sungguh tak sadar dan begitu saja memukul kepala tante, aku sangat takut saat itu karena darah yang mengalir begitu banyak.
Aku lalu menelpon polisi dan menceritakan kejadiannya pada mereka, tante di bawa ke rumah sakit dan untungnya tante tidak apa apa dan sudah sadar esok harinya.
Aku ingin bertemu tante tapi polisi tak mengizinkan jadi aku hanya bisa melihat tante dari luar ruangan.
Setelah beberapa hari di rumah sakit tante di masukan ke rumah sakit jiwa karena jiwanya terganggu dan mengalami syok berat.
Tante sama sekali tak mengenali dirinya, aku atau siapapun.
Dia hanya diam dan kadang tertawa-tawa kecil.
Aku mendapatkan harta warisan tante dan ayah ku tapi aku hanyalah gadis remaja yang mengolah itu seorang diri, tentunya hanya perasaan takut, cemas, gelisah, dan bingung yang ada pada ku tak ada rasa bahagia, aku terlalu suram.
***Tring ... Tring (Bel Masuk)***
"Zil aku turut prihatin atas kejadian yang menimpa mu akhir-akhir ini, aku yakin kau pasti kuat."
"Iya Yun makasih, sejak masuk SMA kamu selalu mendukung ku."
Untungnya sekarang aku masih punya Yuni.
"Iya harus gitu dong, yuk upacara!"
Saat amanat upacara Yuni ingin ke toilet.
"Zil masih lama kayaknya, aku kebelet pipis dari tadi."
"Iya sih, masih lama kayaknya amanat gurunya Yun."
"Aku ke toilet dulu lah lewat belakang."
"Yuk, Aku temenin!"
Aku ingin menemani Yuni tapi ia menolak.
"Gak usah Zil aku sendiri aja."
10 menit setelahnya, upacara selesai.
Tapi dari tadi Yuni belum kembali, kupikir Yuni sudah lebih dulu masuk kelas karena malas melanjutkan upacara tapi saat mau masuk kelas terjadi kehebohan dari kelas ku
"Aaaa tolongggg!!... "
Terdengar teriakan anak-anak cewek, semua siswa berdatangan ke kelas ku dan aku pun gak tau ada apa.
"Eh ada apa di depan?" tanyaku pada salah satu teman kelas ku
"Zila, teman sebangkumu itu gantung diri di kelas kalian, tepat di atas mejanya sendiri," jawaban teman ku membuatku terdiam sejenak dan berfikir.
"A ... apa?"
Aku sangat syok dan tak bisa berkata.
Kematian orang terdekat ku terjadi bertubi-tubi, setelah pemeriksaan polisi dinyatakan bahwa itu adalah bunuh diri tapi hal itu mengganjal di otak ku karena sebelumnya Yuni tidak sedang dalam masalah dia kelihatan sangat baik-baik saja.
Minggu depan adalah hari ujian tapi pikiran dan hati ku sama sekali tak memikirkan hal itu.
Aku menjual rumah tante ku lalu aku kembali ke rumah lama ku hanya seorang diri.
Kini aku benar benar-benar tanpa siapapun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro