Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 9


Arga membungkuk untuk memungut buah pinus kering itu. Dia menengok pada Ellena yang sedang mencoba melihat kondisi Rena. "Ell, udah biarin, ayo kita ke sana sekarang," ajak Arga.

Ellena menoleh dan mengangguk. "Tunggu." Dia berjalan ke kamar untuk mengambil kotak kayu itu. Lalu kembali mengikuti Arga ke luar rumah. Dia naik ke atas motor Arga. Namun sayang, motor Vespa Arga sempat ngadat, beberapa kali susah dinyalakan.

"Gimana?" Ellena turun.

"Ini nggak biasanya." Arga pun turun, dia menarik standar dua dan menginjak kick starter beberapa kali. Akhirnya mesin menyala, dia menarik tuas kopling dan memasukkan gigi ke persneling satu. Beruntung motor itu mau berdamai sebelum si pemilik benar-benar kesal. "Ya udah yuk."

Ellena mengangguk lalu naik. Sayang sekali motor melaju lambat, Arga menambah kecepatan dengan menarik tuas kopling dan memutar persneling dua kali ke belakang. "Maaf yaa, Ell."

Ellena tak menjawab. Hatinya sedang resah, dia teringat Inggit, sedangkan Aditya entah ke mana, sudah dua hari ayahnya itu tidak pulang. Air mata terus melintas membasahi pipi.

Arga tahu Ellena sedang resah. Dia menarik tangan gadis itu dan melingkarkan di perutnya. Dia siap memberi sandaran untuk Ellena, apalagi setelah dia tahu hidup Ellena selama ini sungguh tidak mudah.

Ellena menatap punggung tegap Arga. Tanpa ragu dia menyandarkan kepalanya ke punggung itu. "Aku takut," ucapnya.

Matahari perlahan terbenam, Arga dan Ellena masih dalam perjalanan menuju hutan pinus. Ellena belum pernah pergi ke sana, dia tidak tahu medannya seperti apa. Entah dengan Arga, Ellena belum bertanya hal itu sebelumnya.

Langit semakin gelap, tampak bulan memberi terang perjalanan meraka. Arga berhenti di sebuah jalan berbatu pinggiran hutan pinus. "Ini Utara hutan pinus," ucap Arga.

Ellena menengadah, langit seperti memutarinya. Kilasan mimpi seorang anak kecil terekam dalam ingatan, teriakan si anak terdengar memanggil ibunya, hingga Ellena mengerjap saat Arga memanggil dan berdiri di depannya. "Ell?"

"Iya."

"Ayo, keburu malam." Arga mendahului di susul Ellena setengah berlari, langkah laki-laki itu begitu lebar.

Ellena tidak fokus dia terus teringat dengan mimpi-mimpinya, hingga tertinggal jauh dari Arga. Entah ke mana tujuan Arga, seolah ada yang menuntunnya untuk terus melangkah.

Arga menoleh. "Ellena?" Dia berlari kembali pada Ellena yang sedang membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut. "Kamu nggak apa-apa? Maaf aku nggak bermaksud untuk ninggalin kamu."

Ellena menegakkan tubuh. Napasnya terengah bukan karena lelah. Derap langkahnya seolah diiringi lagu itu. Lagu yang pernah dia dengar hingga membawanya pergi menjauh dari keluarga Wijaya.

Ellena menutup kedua telinganya. Memejamkan mata dengan kuat. "Aaaaa." Teriakannya berhenti saat dia merasakan Arga merengkuh tubuhnya. Dekapan hangat Arga sedikit memberinya tenang. "Aku di sini, Ell. Kita hadapi sama-sama. Kamu nggak sendiri."

Napas Ellena masih terasa memburu.

"Kita pelan-pelan saja," desis Arga sembari memegangi kedua pipi Ellena. Dia dapat melihat Ellena yang begitu frustasi.

Ellena hanya mengangguk. Dia percayakan sepenuhnya pada Arga, bahkan lebih dari dirinya sendiri. Arga menarik tangannya perlahan, membimbingnya untuk melangkahkan kaki di bawah sinar bulan.

Tangan Ellena begitu dingin. Resah, gelisah kembali meliputi hati, begitu dia mendengar tepat di telinganya. "Aku menantimu, Ellena."

Ellena terperanjat dan menghentikan langkah. Arga menoleh cepat. "Kenapa?"

Ellena terdiam, kenapa dia merasa hutan itu seolah hendak menelannya. Debaran di balik dadanya menggema. Peluh mulai membasahi seluruh tubuhnya. "Kak." Suara Ellena bergetar.

"Ya." Arga mendekatkan wajahnya. Keresahan tergambar di setiap pergerakan bola mata Ellena. Arga menarik sepasang tangan Ellena. "Kamu bisa percaya aku, Ell."

Ellena mengangguk. Arga benar. Ellena hanya perlu percaya dan terus berjalan mengikutinya. Melawan semua rasa yang membuatnya takut. Melawan semua keresahan itu.

Mereka kembali berjalan menyusuri dalamnya hutan. Cahaya semakin tipis memberi terang. Kerik jangkrik bersahut dengan angin, derap langkah mereka menginjak dedaunan kering cukup membuat kegaduhan. Tiba-tiba Arga berhenti saat dia melihat seorang pria berdiri di atas lubang sedalam lutut.

"Kak?"

"Ssstttt." Arga mengacungkan telunjuk di bibirnya, kemudian telunjuk itu mengarah pada pria yang sedang menggali tanah.

Pandangan mata Ellena mengikuti pergerakan telunjuk Arga. Dia menyipitkan mata, meski sudah berkacamata rasanya tetap saja Ellena tidak dapat mengenali siapa pria itu. "Apa kita perlu ke sana?" bisik Ellena.

Arga menatap Ellena di bawah tipisnya cahaya, entah itu hanya perasaannya saja, yang jelas dia tidak melihat resah itu lagi. Kemudian Arga menggelengkan kepala. Menggenggam tangan Ellena semakin erat. "Kita lihat saja dari sini, apa yang sedang dia lakukan."

Ellena menjawab dengan anggukan. Dia suka dengan mata teduh Arga yang seolah menyihirnya untuk tetap percaya pada pria yang baru beberapa hari dikenalnya.

Semakin dalam lubang tergali, hingga setengah badan pria itu. Ellena dan Arga tetap pada posisinya.

Pria itu mengumpulkan tulang belulang yang masih tersisa ke dalam bajunya. Lalu dia naik ke atas dan duduk di tempat yang datar. Pria itu menengadah menatap langit suram, bibirnya bergerak pelan, seolah sedang membaca kalimat yang bisa memanggil arwah.

Tiba-tiba Arwah Alina berdiri tepat di depan pria itu. Membuat Ellena terkesiap.

Saat Ellena hendak mendekat, Arga menahan tangannya dan memberinya isyarat agar Ellena tetap di sini, jangan mendekat sebelum semua jelas.

Ellena menoleh dan kembali mundur. Mereka berdua bersembunyi di balik pohon pinus yang cukup besar.

"Kita belum tahu siapa pria itu," bisik Arga.

"Kita akan tahu kalau kita melihat mereka lebih dekat, Kak," jawab Ellena pelan.

Arga menarik tangan Ellena dan mengajaknya berjalan, namun tetap tersembunyi dengan berpindah dari balik pohon satu ke pohon lain. "Di sini cukup, Ell?"

Ellena menatap lurus ke arah dua orang beda alam itu. Dia rasa ini terlalu jauh untuk mengenali siapa pria itu, mengingat tak adanya cahaya. Tapi gema suara mereka berdua cukup terdengar dengan jelas.

Tangan pria itu mengatup di depan Alina dengan posisi berlutut. "Aku minta maaf, tolong kamu jangan ganggu keluargaku."

Ellena menajamkan telinga, begitupun dengan Arga.

Tawa mengerikan Alina menggema memecah keheningan malam, membuat merinding siapapun yang mendengarnya.

"Apa yang kamu mau? Nyawaku, ambil. Tapi jangan pernah kamu mengambil Ellena."

Ellena terperanjat. "Papa?" Matanya membola menatap punggung Aditya dari jauh.

Arga mengernyit. "Ell?"

Debaran dan keresahan itu kembali menyelimuti hati Ellena. Berjuta pertanyaan kembali hadir di benaknya. Apa yang sedang Aditya lakukan di sana? Dua hari tidak pulang, apa dia sengaja datang ke tempat ini? Bahkan dia tidak tahu Inggit mati dalam keadaan mengenaskan.

Tiba-tiba angin seolah menerbangkan tubuh Aditya dan melemparkannya hingga mengenai batang pohon.

"Papa!" jerit Ellena.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro