Bab 8
Pintu terdengar diketuk beberapa kali. Inggit pun mengayun kaki turun dari ranjang, tergopoh ia berjalan menuju pintu depan. Inggit berdiri di depan pintu sembari merapikan rambut, luka di pipi bekas sayatan kemarin ditutup perban. Dia membuka pintu itu perlahan.
Seorang wanita berdiri membelakangi pintu, gaun putih berenda menampilkan betis yang mulus. Terperangah inggit menatap wanita itu yang kemudian berbalik, cantik, tersenyum penuh misteri. Tatanan rambut hitam dicepol rapi dengan satu garis putih di bagian tengahnya.
Anggun, wanita itu mengulurkan tangan. "Alina."
Inggit mengernyit. Pernah dia mendengar nama Alina, tapi di mana? Inggit membalas jabatan tangan wanita itu. "Inggit," ucapnya dingin sembari terus mengingat-ingat di mana dia pernah mendengar nama tersebut. "Silakan masuk." Inggit mengayun tangan sembari bergeser untuk memberi jalan.
Wangi bunga kantil menusuk penciuman Inggit, seketika bulu romanya meremang. Wanita itu duduk tanpa diminta. "Saya mau bicara," ucapnya sembari menoleh pada Inggit yang masih berdiri di depan pintu..
Inggit mendekat. "Sebentar saya bikinkan air." Dia berjalan hendak ke dapur.
"Tidak perlu, saya tidak butuh air."
Sedikit mencebik. Inggit kemudian mengangguk dan duduk di sebelahnya. Dia terkesiap saat tangan dingin perempuan itu menggenggam erat tangannya.
Wanita itu berdehem. "Saya teman Aditya dari kecil. Kita sangat dekat, sedekat kamu dengannya."
Inggit mengernyit. Wanita di hadapannya itu pasti sedang mengigau. Mana mungkin ada hubungan pertemanan diartikan seperti hubungan Aditya dengannya.
"Inggit ...." Tangan Alina membelai pipi Inggit yang tidak tertutup perban. "Aku sering menghabiskan malam dengan Aditya," desisnya. "Di bawah terangnya bulan dan cantiknya bintang-bintang." Dia tengadah menatap langit-langit rumah yang berdebu sembari menunjuknya.
"Maksud kamu apa?" Inggit menjauhkan wajahnya.
Alina mendekat ke telinga Inggit. "Aku Alina kekasih gelap Aditya," bisikan Alina membuat telinga Inggit mengalirkan cairan berwarna merah pekat.
Merasa ada sesuatu yang keluar dari telinganya, Inggit terperanjat dan menjerit saat darah mengenai jari-jemarinya.
"Aku hamil, Inggit. Aditya menghamiliku," pekik wanita itu.
"Siapa kamu?" Inggit bangkit dan mundur perlahan. Alina pun ikut bangkit, melangkahkan kaki seiring Inggit yang terus menjauh.
Jantung Inggit terus berdebar. Hatinya mulai resah, dia takut sesuatu yang ada dipikirannya itu adalah benar. Punggung Inggit menabrak tembok. Tangan Alina mencengkram rahangnya, mengangkat wajah Inggit hingga tengadah.
Perlahan kecantikan Alina pudar, tergantikan dengan sosok menyeramkan. Gaun cantik itu kotor dipenuhi tanah dan darah kering di sekujur tubuhnya, membuatnya begitu terlihat menjijikan, mata hitam legam itu menatap Inggit penuh murka, seolah dia ingin menelannya.
Jari kukunya kemudian memanjang, tajam bagai sembilu yang siap mengoyak seluruh permukaan kulit Inggit. "Matilah bersamaku," desisnya.
Inggit menjerit saat satu sayatan kembali melukai pipinya. "Aaahhh ... jangan." Dia memutar badan dan hendak lari. Namun, tangannya dicekal hingga tajamnya kuku itu merobek lengannya.
Inggit kembali menjerit sejadi-jadinya. Meringis menahan sakit. Luka robek di sepanjang tangannya membuatnya lemas.
Wanita itu mengeluarkan tawa yang mengerikan melihat Inggit ada dalam ketidak berdayaan.
Inggit terus berjalan memegangi tangannya, darah membuat jejak di setiap tempat yang di pijaknya. Tawa itu terus menggema di telinga Inggit, jantungnya semakin berdebar tak karuan.
Inggit kembali menjerit saat kuku tajam itu melukai punggungnya. Baju bunga-bunga hadiah dari Aditya robek sepanjang luka yang dia dapatkan. Napasnya terengah. Darah bercampur peluh membanjiri tubuhnya yang roboh.
Bau anyir semakin tak terelakan. Makhluk itu semakin beringas melukai Inggit. Kedua betis Inggit pun diberi tanda mengerikan itu, dengan luka panjang yang menganga.
"Ampun." Suara Inggit sudah melemah. Rasa sakit yang sedari tadi dia lawan telah menguasai hingga membuatnya tak berdaya.
Makhluk itu mengacungkan jari telunjuk, kuku panjang itu menusuk leher Inggit tepat di bagian laringnya. Membuat Inggit tidak bisa berteriak, bahkan perlahan napas beratnya semakin terasa sulit didapatkan, sehingga udara tak bisa sampai ke paru-paru.
Bibir Inggit terus bergerak hendak mengatakan sesuatu. Namun, nahas rasa sakit membawanya pergi meninggalkan semua yang ada di dunia. Tubuh bermandikan darah itu tergeletak tak bernyawa.
***
Ellena turun dari motor Arga. Sesuai kesepakatan, sore ini Arga berjanji akan mengantarnya ke hutan pinus. "Kakak tunggu sebentar ya, aku ganti baju dulu."
Arga mengangguk, dia tetap berada di atas motor vespa merahnya. Menatap kepergian Ellena. Namun, tiba-tiba Arga terkesiap melihat asap hitam membumbung tinggi tepat di atas genting rumah Ellena.
Ellena ragu untuk menggerakkan gagang pintu. Ada firasat yang membuat hatinya kembali resah. Ellena meraba tengkuk lehernya yang mendadak dingin. Dia merasa langit begitu gelap.
Ellena mundur perlahan, berbalik dan menoleh ke arah Arga. Arga tersenyum menatapnya, sementara Ellena tak begitu menyadari senyuman Arga karena dia fokus pada langit cerah di tempat Arga berada.
Lalu kenapa dia merasa begitu suram?
Perlahan Ellena melangkah, memutar gagang pintu. Berdiri sejenak di ambang pintu yang terbuka, mengedarkan pandangan, dia mulai panik saat melihat rumah yang berantakan.
"Ma ...." Ellena terus berjalan sembari memanggil ibunya. Jantungnya mencelus saat melihat darah tercecar di lantai. "Ma ...." Ellena mendorong kacamata yang sudah turun setengah hidungnya.
Bau anyir semakin menusuk penciumannya. Tiba-tiba dia menjerit histeris. Gemetar seluruh tubuhnya. "Mama!" Napasnya tersengal, mematung menatap jasad Inggit yang telungkup, sementara kepalanya menghadap tepat di mana Ellena berdiri. Mata Inggit terbelalak, luka sayatan seperti kemarin telah melukai seluruh tubuh ibunya.
Rena yang baru saja datang, terperenyak dekat kaki Inggit. Mulutnya terbuka tak bersuara. Napasnya terengah-engah. Cukup lama, seolah hilang kesadaran. Sampai akhirnya dia tersadar saat Arga bertanya pada Ellena.
"Ini kenapa, Ell?" tanya Arga ragu, jelas dia tahu ini perbuatan siapa, karena arwah perempuan tengah berdiri di sebelah Ellena.
Ellena menoleh pada Arga, rasa panik membuatnya tergemap, tak mampu berkata apapun.
Sementara Rena bangkit, berjalan penuh emosi ke arah Ellena. "Ini pasti kamu." Dia menatap Ellena nyalang. "Kamu habisi mamaku karena kamu tidak dapatkan kasih sayangnya, iya, 'kan?" Tangan Rena menampar keras pipi Ellena.
Ellena memegangi pipinya yang panas. "Bukan aku, Kak."
Arga terperanjat, dia segera mendekat mencoba menghalau Rena yang sekarang sedang berusaha menghabisi Ellena dengan mencekiknya. "Kamu harus bayar semuanya." Gigi Rena bergemeretak. Tangan semakin kuat mencengkeram leher Ellena saat Arga mencoba melepaskannya.
Ellena mencoba lepas dengan menahan tangan Rena yang semakin kuat mencengkram lehernya.
Tiba-tiba Alina menampakkan diri di depan mereka. Menarik tubuh Rena dan melemparnya hingga terpental.
Mata Ellena membola melihat apa yang terjadi. Tertegun Ellena melihat makhluk itu menatapnya cukup lama, hingga Alina menghilang dan meninggalkan beberapa buah pinus kering tergeletak di sana.
Dia berlari ke arah Rena yang pingsan. Sementara Arga mengambil buah pinus kering itu yang dengan sengaja dibiarkan terjatuh di sana untuk memberi petunjuk agar Ellena mengikuti arwah itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro