Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 7

Ada banyak hal yang Ellena lalui. Setelah dia tahu siapa dirinya, rasa sayangnya untuk Inggit tak ada yang berubah, meski Inggit tak pernah benar-benar menyayanginya, baginya Inggit tetaplah ibu. Begitupun dengan rasa sayangnya pada Aditya, meski dia tidak tahu siapa ayah kandungnya. Tapi baginya Aditya tetaplah ayahnya.

"Ell?" Nuri--teman sebangku Ellena--menyikutnya. "Akhir-akhir ini aku lihat kamu sering melamun."

Ellena tersenyum tipis. Apa yang terjadi pada Rena membuatnya benar-benar syok. Apalagi setiap Rena melihatnya, kakaknya itu selalu menjerit histeris. Ada trauma dalam diri Rena, itu yang Ellena rasakan. Namun, kenapa harus Ellena yang jadi kambing hitamnya?

"Kamu kok melamun lagi?" Nuri tahu apa yang terjadi pada Ellena adalah sesuatu yang tidak biasa, karena saat dia melihat Ellena menyiksa Rena tempo hari, dia yakin itu bukan Ellena.

"Nur, aku--" Ellena menarik napas, "akan ceritakan semuanya sama kamu." Ellena memang butuh seseorang untuk mendengar keluh kesahnya. Nuri memang sahabat setianya, di saat semua orang menjauhinya karena satu hal. Justru Nuri-lah yang tetap ada di sampingnya dan tetap mempercayainya.

Ellena menarik napas, mulai dari mana? Hatinya diliputi kebimbangan. "Nur, entah kenapa aku merasa selalu ada yang mengikutiku."

"Maksudnya?"

Ellena menarik napas, dia menceritakan mulai dari keanehan di malam ulang tahunnya. Juga mimpi-mimpi yang sering menyambangi tidurnya setiap malam, bahkan teror yang akhir-akhir ini sering menyerang keluarga Wijaya.

Nuri setia mendengarkan tanpa memotong satupun kata yang sedang Ellena utarakan. Sesaat dia merasa bulu romanya meremang.

***

Sepulang sekolah Nuri memang menjanjikan Ellena untuk menemui seseorang yang bisa membantunya. Menurut Nuri sepupunya itu memiliki kemampuan dalam hal supranatural. Kemampuan istimewa yang dimiliki sepupunya itu, dirasa bisa membantu Ellena mencari jalan keluar.

Ellena mengikuti ide Nuri, mungkin Nuri akan mempertemukannya dengan pria gondrong, jarang mandi, dengan deretan cincin batu di sepuluh jari tangannya.

Nuri tertawa mendengar ungkapan Ellena. "Kamu kira sepupuku mirip Ki Joko Bodo?"

Seorang pria bersetelan semi casual berdiri di depan mereka. Ellena merasa terpukau melihat bagaimana cara pria itu tersenyum.

"Hai, Nur?" Pria gagah dengan rambut ikal itu menyapa Nuri yang sedang menikmati es teh manisnya.

"Hai, Kak." Nuri berdiri di susul Ellena. "Kenalin ini temanku, namanya Ellena yang kuceritakan di telepon barusan."

Pria itu mengulurkan tangan pada Ellena yang hanya menatap uluran tangannya itu dalam diam. Sehingga gadis itu terkesiap saat Nuri menyikutnya. Tergugup, Ellena meraih tangan pria yang Ellena perkirakan usianya mungkin saja baru 21-22 tahun.

"Arga."

Ellena tersenyum ramah. Kemudian melepaskan tangannya dan duduk kembali di sebelah Nuri. Dia tak menyangka ternyata tak semua paranormal memiliki penampilan yang nyentrik, buktinya Arga, dia berpenampilan layaknya orang biasa. Karunia kodrati yang dimiliki Arga, mungkin saja akan banyak membantunya.

"Jadi, apa yang bisa kubantu?" Suara bariton Arga menambah kegugupan Ellena.

"Mau minum dulu nggak? Mau aku bikinin teh? ucap Nuri menawarkan diri.

"Kopi," ucap Arga singkat.

Nuri mendengkus, "Ditawarin teh minta kopi." Dia melenggang pergi ke dapur.

Ellena tersenyum kecil pada Arga.

"Jadi, kamu kenapa?" tanya Arga tetap pada posisinya.

Ellena menarik napas. Agak tidak nyaman jika dia harus mendadak terbuka pada orang yang baru dia kenal, sementara di rumah saja, Ellena tak pernah terbuka pada ayah dan ibunya.

"Saya janji, akan bantu kamu. Kamu sahabatnya Nuri, "kan?"

Ellena kembali menarik napas. Lalu dia berujar, "Saya sering mendapat mimpi seorang perempuan di hutan pinus. Dan--" Ellena terdiam.

Arga menatap Ellena cukup lama menanti kalimat selanjutnya. Namun, sepertinya Ellena tak ingin melanjutkan kisahnya. "Kenapa?"

Ellena menarik napas. "Maaf, Kak." Jantung Ellena berdebar, berkali-kali dia menyeka keningnya yang dipenuhi peluh. Seluruh badannya bergetar tak nyaman. Napasnya tersengal-sengal.

Arga membimbing Ellena untuk mengatur napas. Meski begitu, tetap saja dada Ellena terasa sesak. "Maaf ya." Arga menggenggam tangan Ellena, sementara matanya terpejam.

Ellena tergemap. Dia menatap tangannya yang sedang digenggam Arga. Baru kali ini Ellena merasa resah itu pergi, betapa Arga membawa damai dalam hidupnya. Benarkah, atau ini adalah bagian dari mimpi?

Arga berdehem. Dia menarik napas, matanya terbuka dan melepaskan genggamannya dari tangan Ellena. "Ada seseorang yang mengikuti kamu, sepertinya dia ingin kamu menemuinya."

Jantung Ellena mencelus. "Siapa?"

"Ibu kamu."

Ellena terperangah. Seketika dia merasa hawa dingin menyeruak dari dalam dirinya. Debaran itu kembali datang, resah, gelisah, hingga tak terasa air mata jatuh melintasi pipi.

Arga terdiam menatap Ellena, bagaimana dia katakan, kalimat selanjutnya yang dia terima lebih berbahaya, jika Ellena mendengarnya.

"Ke mana saya harus pergi?" tanya Ellena dengan nada suara yang bergetar.

"Ke Utara hutan pinus."

Air mata kembali terjatuh. Apa yang akan Ellena hadapi setelah ini?

"Saya temani," ucap Arga lembut membuang keresahan di hati Ellena.

Ellena terdiam menatap mata Arga yang teduh. Dia terperanjat begitu Nuri datang membawa segelas kopi untuk Arga. "Maaf lama."

***

Ellena tergopoh begitu dia mendengar jeritan Inggit dari dalam rumah. Pintu terkunci saat Ellena mencoba membukanya. "Mama, buka pintunya, Ma." Ellena memukul daun pintu dengan telapak tangannya sembari menggerak-gerakkan gagang pintu.

Inggit menjerit sejadi-jadinya. Dia melemparkan piring ke sosok makhluk perempuan dengan mata hitam legam dan surai yang panjang. Makhluk itu terus mendekat meminta nyawa Inggit. "Matilah bersamaku." Suara tipis terus menggema di telinga Inggit.

"Pergi!" pekik Inggit dengan keras sembari melempar piring ke arah hantu itu.

Inggit menjatuhkan bokong di sudut dapur. Hantu perempuan itu terus mendekat, kuku panjangnya merobek pipi Inggit. Seketika merah darah memberi warna pada bajunya yang putih. Panas dan perih. Jantung Inggit terus berdebar dengan hebat.

Dia kembali menjerit, meraung-raung. Telapak tangan pucat itu menyentuh leher tepat di bawah dagunya. Dingin dan basah. Bau anyir dan bangkai bercampur dengan bau tanah yang basah. Inggit terpejam menahan napas dan rasa sakit saat kuku perlahan menusuk bawah dagunya.

"Mama?" Ellena berdiri di depan Inggit yang sedang terduduk di sudut dapur dengan mata terpejam dan kepala terdongak.

Inggit membuka mata dengan cepat. "Kamu?" Dia menelan ludah. Meraba pipinya yang terkoyak dengan darah segar yang terus mengucur mengenai kerah bajunya. Inggit bangkit sembari meringis. "Sejak kapan kamu di sini?"

"Baru masuk. Mama kenapa?" Ellena memiringkan wajah, menatap pipi Inggit dengan luka memanjang dan sedikit menganga.

Inggit menatap pecahan piring di lantai, kekacauan yang dia buat memang nyata. Ini bukan bentuk dari depresi. Teror itu memang benar dia rasakan.

Ellena berjalan hati-hati mengikuti Inggit ke ruang tengah. "Ma, lukanya dalam banget, ya. Kita ke dokter, yuk."

Inggit menoleh cepat. Napasnya masih terengah. Dia menghambur memeluk Ellena. "Mama takut." Tak dirasakan lukanya yang sakit. Dia menangis dalam pelukan Ellena.

"Mama duduk dulu, aku ambilkan air." Ellena berjingkat, mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih. Dia berjalan pelan dan kembali pada Inggit. "Mama minum dulu." Dia memberikan gelas tinggi itu pada Inggit. "Aku siapin dulu obat ya." Ellena berlalu tanpa persetujuan Inggit.

Inggit menatap punggung kecil itu. Dia menghela napas. "Kenapa anak itu baik?" Inggit telat menyadari apa yang dilakukannya pada Ellena selama ini adalah keterlaluan.

***

Ellena mengeluarkan kotak kayu dari dalam tasnya. "Malam-malam kotak ini mengeluarkan bunyi dentingan piano," ucap Ellena pada Arga sembari menyodorkan kotak itu. "Kurasa ada sesuatu yang ingin keluar dari dalamnya."

"Kenapa?" Arga menelisik kotak itu, memutar dan membolak-balikkannya.

"Malam itu aku juga dengar suara ketukan dari dalam kotak itu." Ellena menarik napas. "Aku harap Kakak bisa bantu aku buat buka kotak itu."

Arga tersenyum lembut. "Maaf Ell, saya nggak punya mantra apapun." Dia mengembalikan kotak itu pada Ellena membuat air muka Ellena berubah sendu.

Arga memegang stang motornya, kemudian menoleh kembali pada Ellena. "Tanpa kamu sadari, kotak yang kamu bawa itu adalah tempat bagi arwah yang selalu mendatangi kamu," ucap Arga. Bukan tanpa alasan, Arga melihat asap keluar dari dalam kotak itu, menguar dan menyebarkan wangi bunga kantil.

Ellena meraba tengkuk lehernya yang mendadak terbuai embusan angin.

Dimas dan Rena menatap mereka dari jauh. Memang Ellena dan Arga mengobrol di depan gerbang sekolah di bawah pohon besar yang rindang itu, wajar jika beberapa pasang mata terheran-heran menatap mereka. Pasalnya Ellena orang yang tak punya banyak teman, dia sangat tertutup, hanya Nuri yang mau berteman dengannya, itupun karena Nuri satu bangku dengan Ellena. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro