Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6

Rena menatap layar ponsel yang menampilkan deretan chat dari Dimas. Air mukanya berseri-seri. Tangan kanan menciduk satu sendok nasi goreng kecap, dia hendak memasukkannya ke dalam mulut yang sudah terbuka.

Namun, Inggit datang melempar sepiring nasi itu dan memukul tangan Rena agar segera membuang sendok itu jauh-jauh dari mulutnya. "Astaga." Mama kenapa?" Rena terperanjat dan bangkit dengan cepat.

"Sejak kapan kamu makan belatung," ucapnya sembari bergidik ketakutan.

Rena mengernyit, bukannya Inggit sendiri yang memasak nasi goreng itu untuknya? Dia menatap nasi yang tercecer di lantai beserta pecahan piring yang berhamburan. "Mama kenapa?"

Inggit menjerit histeris. Nasi goreng yang dia buat berubah jadi gerombolan belatung yang kini berhamburan seolah mencari jalan. Dia mengentak-entakkan kaki karena beberapa butir nasi menempel tepat di kakinya.

"Aargh ... arghh ...."

"Mama ...," teriak Rena panik melihat ibunya diselimuti rasa takut bercampur jijik. "Pa ... Papa ...," Rena memanggil Aditya yang entah ke mana, pasalnya Aditya meninggalkan rumah sejak hari masih gelap. Hanya Ellena yang keluar dari kamar mandi dengan panik.

"Kenapa? Mama kenapa, Kak?"

Inggit terus menjerit sembari menjinjit.

"Ell, kamu beresin ini." Rena menunjuk lantai yang berantakan. "Aku mau bawa mama," ucap Rena sembari memegangi lengan ibunya dan membawanya pergi menjauh dari tempat itu.

Ellena menghela napas. Dia memunguti pecahan piring itu dengan hati-hati. Kekacauan apa yang baru saja dia lewatkan?

Saat pecahan piring itu sudah berkumpul dalam satu wadah. Dia mengambil sapu dan pengki untuk mengumpulkan nasi goreng yang tercecer itu. Namun, tiba-tiba dia terperanjat mendengar Rena dan Inggit kembali menjerit histeris.

Ellena bangkit mencari keberadaan mereka. Dia berdiri di ambang pintu dapur, tercengang menatap Aditya yang berjalan gontai sementara darah mengucur dari ibu jari tangannya.

"Papa?" Ellena mendekat.

Tatapan mata Aditya kosong. Dia seperti berjalan di sebuah pemakaman dengan banyak lubang. Berkali-kali dia jatuh dengan satu kaki yang terlipat ke belakang sementara kaki yang lain terlipat ke depan, seolah dia terperosok ke dalamnya. Hingga Aditya merasa seperti orang pincang.

Ellena meraih tangan Aditya, membantunya untuk berdiri. "Papa."

"Alina?" Aditya bangkit dan memeluk Ellena. "Kamu masih hidup?" tanyanya dalam hening.

Ellena merasa heran. Kenapa Aditya seperti tidak mengenalnya? Darah segar dari ibu jari Aditya mengucur deras mengenai punggung Ellena.

"Aku minta maaf untuk semua yang telah aku lakukan," ucap Aditya semakin merekatkan pelukannya. "Aku menyesal."

Darah mendesir naik ke ubun-ubun Inggit. "Siapa Alina?" pekiknya. Namun, Aditya seolah tak mendengar Inggit, bahkan Inggit sempat membuat koyak tubuh kokoh Aditya dalam pelukan Ellena.

Aditya meraih kedua tangan Ellena dan berkata, "Aku janji aku akan menikahimu, Alina."

Inggit semakin murka. "Ini tidak bisa dibiarkan." Giginya bergemeretak. Dia meminta Rena untuk mengambil seember air. Tapi Rena tak mengindahkan titahnya, sehingga dia terpaksa mengambilnya sendiri.

Rena memegangi kepalanya yang sakit, bahkan dia merasa mual, rasa takut berlebih terhadap darah membuatnya merasakan hal seperti itu, bahkan tubuhnya begitu lemas.

Inggit tergopoh membawa seember air dan menyiramkannya pada Aditya dan Ellena dengan jarak lima puluh senti meter dari tempat mereka berada. Napasnya terengah, lelah bercampur marah.

Aditya tersadar saat dia merasa perih di ibu jarinya. "Mama?" Dia menatap Inggit yang sedang murka.

Ellena terkesiap saat Inggit melempar ember itu ke arahnya. "Bawa," pekik Inggit padanya. Ellena langsung mengambil ember itu dan pergi ke kamar mandi. Dia tidak mengerti dengan apa yang terjadi, pertanyaannya sama seperti Inggit. "Siapa Alina?" gumamnya.

"Aww ...." Aditya meringis sembari mengacungkan ibu jarinya ke atas. Matanya membola menatap jari yang tinggal separuh. "Mama, ini papa kenapa, Ma?" teriaknya panik.

Inggit mendelik padanya. Namun bibir meneriakan nama Ellena dengan keras. "Ellena."

Ellena bergegas lari dari dapur ke arahnya. "Iya Ma."

"Kamu urus papa kamu." Inggit mengentakkan kaki dan pergi meninggalkan Aditya.

Ellena mencebik. Bukan dia ingin menjadi durhaka. Tapi dia teringat tatapan nanar Aditya padanya saat menyebutnya dengan sebutan Alina. Itu adalah tatapan yang paling menjijikan yang pernah Ellena dapatkan.

***

Akhir-akhir ini keluarga wijaya memang tidak dapat tenang, setiap malam mereka selalu mendapat teror berupa suara teriakan minta tolong, jeritan seorang perempuan. Begitupun dengan malam ini, Inggit dan Aditya segera keluar dari kamar. Mereka tidak tahu ini pukul berapa yang jelas mereka merasa tidur sudah cukup lama.

Jeritan itu terus menggema, teriakan minta tolong semakin jelas mereka dengar. Inggit kira itu adalah Rena, sementara Aditya merasa itu adalah Ellena.

Keduanya berkumpul di ruang tengah. Namun, hanya gelap menyelimuti keberadaan mereka. Aditya tak melepaskan genggaman tangannya dari Inggit, begitupun sebaliknya.

Derap langkah semakin mendekat, riuh angin menerbangkan ranting-ranting pohon yang jatuh di atas genting.

"Pa ...." Inggit menggenggam erat tangan Aditya. Sesuatu bertiup tepat di tengkuk lehernya. Semakin dekat angin itu berbisik. "Ellena anakku."

Terkesiap. Inggit menjerit dengan mata terpejam. Panik, Aditya mencoba menenangkannya.

Samar-samar cahaya terlihat dari dapur. Semakin dekat ke arah mereka. "Mati lampu sekampung, Pa," ucap Ellena sembari membawa lilin. "Pukul satu," imbuhnya.

"Pa, Rena Pa." Inggit panik menggoyangkan tangan Aditya.

"Rena," teriak Aditya dan Inggit bersamaan. Rena menggebrak-gebrak daun pintu. Berteriak meminta tolong, sesekali teriakan itu di selingi jeritan histeris hingga membuat kerongkongannya kering. Inggit dan Aditya baru ingat Rena fobia terhadap gelap.

"Kamu buka pintunya, Ren," titah Inggit.

Rena terus menggerak-gerakan kenop pintu yang sedari tadi macet tak bisa dibuka. "Nggak bisa, Ma, Pa," teriak Rena dari dalam.

Rena terus mencoba. Namun, tangannya terhenti, napasnya tertahan, detak jantungnya melambat. Rasa dingin menjalar tepat di pergelangan kakinya, sedingin es, lembab dan basah. Napasnya terengah memikirkan apa yang sedang terjadi. Sepasang jari jemari mencengkeram betisnya dan kuku panjang itu berhasil merobek kulitnya. "Arrghhh ...." Rena mengerang. Dia merasakan bau anyir darah segar menusuk hidungnya.

"Mama!" teriak Rena terus-menerus. "Papa ...." Air mata terus keluar bercampur peluh membasahi pipi.

Rena terus menjerit saat dia kembali merasakan sayatan kuku itu. Betapa sakit dan perih. Namun, yang lebih membuatnya menderita adalah jiwanya yang terguncang.

Rena pingsan saat terang sudah kembali. Aditya dan Inggit mendorong pintu yang sudah longgar, namun terhalang oleh kaki Rena, sehingga membuat mereka panik. Apalagi Rena tergeletak dengan kaki berlumur darah dan beberapa luka sayatan di kedua betisnya.

Inggit menjerit meneriaki nama anaknya. Jantung Aditya mencelus, dia hanya bisa mematung di saat Inggit dan Ellena menghambur memburu tubuh Rena.

Aditya teringat dengan beberapa teror sebelumnya. Seandainya dia mengindahkan hal itu.

"Ini semua gara-gara kamu." Inggit mendorong tubuh Ellena hingga terjengkang. "Pasti semua ini ulah hantu mama kamu," pekik Inggit.

"Inggit!" teriak Aditya penuh murka mendengar apa yang dikatakan Inggit. Belum pernah Aditya semarah itu, sampai dia berani memanggil Inggit dengan sebutan nama di depan anak-anaknya.

Ellena terkesiap mendengar bentakan Aditya pada Inggit. Apalagi melihat Inggit ditarik paksa oleh ayahnya itu. Dia melirik Rena yang masih pingsan, lumuran darah itu mulai mengering meregangkan kulit Rena.

Ellena mengikuti Aditya yang membawa paksa Inggit ke dapur, dia mengintip di balik pintu.

"Jangan pernah kamu katakan apapun soal Ellena," ucap Aditya penuh penekanan.

"Aku jadi curiga. Jangan-jangan dia itu anakmu dari perempuan lain?"

PLAK! Satu tamparan mendarat di pipi Inggit hingga perih dan panas. Aditya sadar tamparan itu sangat keras karena telapak tangannya pun ikut sakit.

Inggit menatapnya sedih. Dia tidak pernah menyangka Aditya berani memperlakukannya seperti itu, hanya karena Ellena. Air mata jatuh melintasi pipinya yang sakit.

Dia pergi meninggalkan Aditya yang masih tersulut emosi. Ellena segera bersembunyi dekat gorden penghalang antara pintu. Dia mendengar tangisan Inggit.

Inggit kembali ke kamar Rena. Memeluk anaknya sembari meratap. "Sayang bangunlah."

Ellena pun datang membawa baskom berisi air hangat dan waslap. Dia tak bicara apapun, hanya langsung mengelap betis Rena yang bermandikan darah segar.

Inggit menatap apa yang dilakukan Ellena. Setelah apa yang dia perbuat pada Ellena selama ini, dia tidak mengira gadis itu tetap baik pada mereka.

"Ell?" Suara Inggit terdengar pilu di telinga Ellena.

Ellena menoleh. "Iya Ma."

Kali ini air mata Inggit keluar sebagai bentuk penyesalan. "Mama minta maaf."

Ellena mengangguk pelan. "Mama nggak salah kok, mama nggak pernah salah." Setetes air mata turun melintasi pipi Ellena. Dia terenyuh melihat Inggit bersikap lembut padanya.

Ellena membantu Inggit mengangkat tubuh Rena ke atas kasur. Dia juga mengambilkan kotak obat dan mengobati luka Rena dengan Betadine. Rena memang belum sadarkan diri, jadi dia tidak akan mendengar teriakan Rena yang menahan rasa sakit.

Inggit tahu Aditya pergi meninggalkan rumah. Suaminya memang seperti itu, jika sedang marah padanya.

"Kamu harus tahu yang sebenarnya, Ell."

Ellena menatap Inggit, semoga Inggit mengatakan kebenaran tanpa dia harus meminta.

"Aku bukan orang yang melahirkanmu. Empat belas tahun yang lalu, Aditya menemukanmu di sebuah jalan berbatu pinggiran hutan pinus. Hanya itu yang mama tahu, Ell."

Ellena tergemap mendengar penuturan Inggit. Bagaimana mungkin itu terjadi. Kisah tentang seorang anak perempuan yang dibuang di hutan pinus, jadi apakah itu dirinya?

"Maaf karena baru mengatakan ini padamu, Ell."

Ellena mengingat semua mimpi yang selalu terjadi di hutan pinus. Apa dia harus mendatangi tempat itu? Dan apakah semua mimpi yang dialaminya itu adalah nyata?

***

Dentingan sendok beradu memecah keheningan. Aditya dan Inggit saling diam, hingga Inggit memutuskan pergi ke kamar Rena sembari membawakan makan untuk anak kesayangannya itu.

Ellena masih menemani Aditya. "Papa semalam ke mana?" tanya Ellena, mengingat semalam setelah kejadian itu Aditya pergi hingga pagi baru kembali.

"Ada. Kamu nggak perlu tahu."

"Terus kapan aku harus tahu, siapa aku sebenarnya?"

Pertanyaan Ellena membuat mata Aditya menghunjamkan tatapan menusuk. "Apa yang mau kamu tahu, kamu itu anak papa," tegas Aditya.

"Papa bohong. Aku sudah tahu semuanya kalau aku anak yang papa temukan di jalan berbatu pinggiran hutan pinus itu, 'kan, apa itu benar, Pa?"

Aditya bangkit. "Itu semua bohong."

Ellena ikut bangkit. "Pa ... tolong katakan sebenarnya."

"Itu kenyataannya Ellena, kamu anak Papa sama mama Inggit." Aditya melempar sapu tangan ke atas meja. Kemudian Aditya berlalu meninggalkan Ellena.

"Lalu Alina itu siapa, Pa?" Pekik Ellena pada Aditya yang terus melenggang pergi. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro