Bab 4
Tanah basah dan beberapa genangan air menandakan semalam terjadi hujan yang cukup deras. Ellena berjalan setengah berlari karena dia merasa seperti ada yang mengikutinya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket berbahan woll.
Beberapa kali Ellena menoleh ke belakang, mencari sesosok makhluk yang terus mengikutinya, atau itu hanya perasaan Ellena saja.
Selain dingin, hujan juga menyisakan langit yang suram, seperti suasana hati Ellena akhir-akhir ini, kejadian suram membuatnya selalu merasa resah dan gelisah. Kini setiap malam, tidur merupakan sesuatu yang tak pernah dia inginkan dan tetap terjaga adalah pilihan.
Ellena terus berjalan menyusuri jalanan licin itu, setengah jalan lagi dia akan segera sampai di sekolah. Namun, setiap langkah kakinya terhenti, Ellena merasakan dingin menusuk tulang di bagian tengkuk lehernya. Lagi-lagi dia merasa seseorang tengah mengikutinya.
"Ell." Motor berhenti tepat di sampingnya.
Ellena terkesiap. "Kak Dimas?" gumam Ellena pelan. Apa sedari tadi Dimas yang mengikutinya?
"Kak Dimas antar?"
Ellena menggelengkan kepala. Dia tidak ingin berurusan dengan Rena. Peringatan Rena tentang Dimas waktu itu sudah jelas. Ellena memilih kembali berjalan dengan cepat. Dimas tak mau mengalah begitu saja. Dia mendorong motornya beriringan dengan Ellena.
Langkah Ellena terhenti. Dia menoleh. "Kok didorong? Mogok?"
"Kalau kamu nggak mau naik motor aku, nggak apa-apa. Yang terpenting itu kita bisa berangkat bareng."
Ellena tersenyum. Tipis sekali, sampai-sampai Dimas tidak melihatnya. Lelaki itu hanya melihat Ellena yang tampak berseri. "Mau, ya?" tanyanya lagi.
Ellena masih tampak berpikir. Apa setelah ini dia dalam masalah.
"Ell?"
Ellena terkesiap. "Iya."
"Jadi, kamu mau?" tanya Dimas memastikan.
Ellena kembali terdiam. Namun, kepala terangguk.
Dimas tersenyum. "Ya udah ayo naik," ajak Dimas memberi isyarat dengan menggerakkan kepala ke samping.
Ellena tersenyum. Kali ini senyumnya lebih kentara dibanding tadi. Dia baru menyadari ketampanan Dimas. Kemana saja dia selama ini?
Duduk menyamping di belakang Dimas. Senyumnya masih terukir, namun sedikit sekali. Ellena tidak ingin orang lain tahu apa yang dia rasakan saat ini.
"Ell," panggil Dimas. Ellena langsung mendekatkan telinga ke kepala Dimas agar dia bisa mendengar apa yang dikatakan lelaki yang sedang memboncengnya itu.
"Kenapa kamu nggak pernah berangkat bareng sama Rena, padahal kalian serumah?"
Ellena bukan tak mendengar apa yang dikatakan Dimas. Namun, dia tak punya jawaban, pasalnya pertanyaan itu juga sering menggelayuti pikirannya. Kenapa Rena seolah tak pernah menganggapnya sebagai adik. Bahkan di sekolah pun Rena seperti menghindarinya.
Dimas berhenti di depan gerbang sekolah. Ellena turun seraya berkata, "Aku nggak tahu, coba tanya kak Rena langsung. Kalian 'kan sekelas," ucap Ellena pelan.
Suara Ellena begitu lembut membelai telinga Dimas. Lelaki itu menatap Ellena yang segera tertunduk sehingga pandangan mata mereka tidak bertemu. Ellena memang gadis yang pemalu.
"Makasih ya, Kak. Udah ngasih aku tumpangan."
Dimas mengangguk. "Sama-sama."
Ellena berjalan di lorong sekolah. Di sepanjang lorong selalu ada orang yang berkelompok-kelompok, entah itu dua orang, tiga orang, atau bahkan lebih. ada yang sengaja mengobrol di bawah tangga seperti sedang bersembunyi.
Lagi-lagi Ellena merasa seperti ada yang membersamainya berjalan. Derap langkah dia rasakan begitu dekat. Ellena menoleh cepat, berputar untuk melihatnya. Namun, dia tak mendapati siapa-siapa. Hanya ada dirinya yang berjalan di lorong itu.
Ellena berbalik dan-- "Aww."
"Sini kamu." Rena menarik tangannya ke sudut lorong dekat tangga. Seketika sepasang laki-laki dan perempuan yang sedang berada di sana membubarkan diri. Dengan kasar dia mendorong adiknya. Hingga Ellena meringis saat punggung mengenai dinding.
"Kamu benar-benar cari masalah ya, Ell."
Ellena mengangkat wajah menatap Rena. "Maksud Kakak apa?"
"Jangan sok manis kamu di depan Dimas." Rena mencengkeram rahang Ellena dengan keras. "Kamu sudah tahu apa akibatnya, bukan?" Dia mengempas rahang itu dengan kasar.
"Aww." Ellena kembali meringis sembari memegangi tulang rahang bagian bawah yang sakit akibat cengkraman dan kuku Rena yang menusuk ke pipinya.
Telapak tangan Rena ditekankan ke dinding dekat kepala Ellena. Wajahnya mendekat dan berbisik, "Aku nggak mau cari ribut sama kamu Ell, jika seandainya saja kamu menuruti apa kataku."
Rena hendak melangkah dan berniat untuk menginjak kaki Ellena seperti biasanya. Namun, dia melihat sesosok makhluk masuk ke tubuh Ellena, sehingga membuatnya terperanjat dan segera mundur.
Ellena mengangkat wajah, mata merahnya menatap tajam ke arah Rena. Satu tamparan keras dia layangkan dengan keras, sehingga membuat semua orang berburu ingin melihat apa yang sedang terjadi.
Sudut bibir Rena robek dan mengeluarkan cairan asin berwarna merah. Dia merasa pipinya panas, berdenyut nyeri, bahkan sampai bengkak.
Ellena kembali mendekat, meski Rena terus mundur. Namun, dia berhasil menarik kerah baju Rena, kemudian Ellena mengangkat dan melemparnya sejauh dua meter dari tempatnya berdiri, hingga Rena terpelanting, tulang punggung terasa patah mengenai dinding yang menghalangi tangga.
Semua anak menjerit menyaksikan apa yang dilakukan Ellena pada Rena. Dimas berdiri tak jauh dari tempat mereka berada, dia menyaksikan semuanya. Anggapannya tentang Ellena yang pemalu, pendiam dan lembut sirna sudah.
Rena tersenyum tipis melihat keberadaan Dimas, meski sakit seluruh tubuh, tapi ini adalah kemenangan untuknya karena setelah ini sudah pasti Dimas akan menjauhi Ellena.
Tubuh Ellena luruh ke lantai. Sesaat setelah arwah itu keluar dari dalam dirinya. Ellena merasa ada sesuatu yang telah mengendalikannya.
Guru-guru dan semua orang memburu mereka berdua. Rena dilarikan ke rumah sakit karena pingsan. Sementara Ellena dibawa menghadap guru BK.
***
Kemarahan Inggit pada Ellena memuncak. Ingin membalas, namun dia takut kejadiannya akan berakhir sama seperti Rena. Dia sudah mendengar semua dari anaknya itu, bagaimana sesosok arwah masuk ke tubuh Ellena.
Aditya tak bisa berbuat apa-apa saat Inggit mengunci Ellena di kamar. Bahkan tak memberinya makan dan minum. Meski Ellena meminta maaf dan memohon, keputusan Inggit terlalu kuat untuk ditentang.
Ellena menangis menahan haus dan lapar. Mencoba mengetuk pintu agar Aditya mau membantunya. Nyatanya tidak. Sampai lelah dan tak bersuara pun ayahnya tak bisa berbuat apa-apa karena semua dikendalikan oleh Inggit.
Malam semakin larut. Cahaya bulan purnama mengintip di balik jendela kecil itu. Ellena duduk di sudut kamar termenung, mencoba mencerna dengan apa yang telah terjadi.
Tiba-tiba dalam sunyi, sebuah dentingan piano terasa mencekam. Ellena mengedarkan pandangan, menajamkan pendengaran. Suara itu semakin jelas di telinganya.
Sebelumnya tak pernah dia mendengar suara itu. Ellena memiringkan kepala menatap ke kolong ranjang, dia yakin suara itu berasal dari sana. Namun, kemudian senyap. Ellena menarik napas. Menenangkan irama jantungnya.
Sesaat kemudian Ellena terkesiap karena suara ketukan lebih kencang dari suara piano yang cukup tenang. Geram, Ellena mengambil senter untuk melihat apa yang ada di kolong ranjangnya itu.
"Ini pasti tikus," gumam Ellena sembari berjongkok mengarahkan senter ke sana. Namun, hanya sebuah kotak kayu jati dengan ukiran khas jawa teronggok begitu saja di lantai dingin dan gelap itu. Tak ada tanda-tanda bahwa tikus ikut menginap di kamarnya.
Dia mengulurkan tangan untuk mengambil kotak yang terus mengeluarkan suara ketukan yang cukup nyaring, seolah ada sesuatu yang ingin keluar dari dalam kotak itu.
Tiba-tiba kesunyian kembali Ellena rasakan. Untuk kali ini dia membenci semua suara-suara aneh yang keluar dari dalam pikirannya sendiri. Mungkin dia terlalu lelah, sehingga membuatnya sering berhalusinasi. Bahkan Ellena kesulitan membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak.
Cukup! Ellena tidak ingin gila. Jelas-jelas sejak dulu kotak itu tidak dapat dibuka, mana mungkin ada suara, apalagi ada sesuatu yang ingin keluar dari dalamnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro