Bab 2
Aditya mengambilkan nasi untuk sarapan Ellena. Rena mendengkus tidak suka. "Kenapa sih, Pa? Ellena terus ...."
Aditya mendaratkan tangan di puncak kepala Rena. "Apa sih? Kalian sama-sama anak papa, kok." Dia memberikan belaian hangat untuk Rena.
Rena mendengkus sementara Ellena tersenyum tipis sembari menyuap satu sendok nasi goreng ke mulutnya. Pelan, sangat pelan. Dia merasa waktu benar-benar lamban. Hanya kepalanya yang berputar dengan cepat dan berdenyut nyeri. Semalaman dia terjaga agar tidak mendapat mimpi itu lagi.
"Sayang, kamu baik-baik saja?" tanya Aidtya.
Ellena hanya mengangguk. "Baik kok, Pa." Dia bangkit dan mendorong kursi meja makan. "Ell berangkat ya. Takut telat." Dia berjalan ke arah Inggit dan mengecup tangannya. Ellena berdiri di depan Inggit cukup lama, berharap dia mau memberinya semangat.
"Papa antar ya, Ell?"
Ellena menoleh. "Nggak usah Pa." Dia meraih tangan Aditya. "Aku berangkat." Ellena berjalan keluar dari rumahnya.
Menyusuri jalan setapak dengan bebatuan kecil, Ellena terus berjalan. Sekolah tak jauh dari rumahnya. Masih berada di satu Desa yang sama.
Ellena Andriana Wijaya. Semua orang tahu dia adalah anak angkat keluarga Wijaya. Inggit tak pernah merahasiakan itu. Semenjak ditemukannya Ellena 14 tahun yang lalu di pinggiran hutan pinus, tempat Aditya biasa berburu rusa.
Sejak saat Aditya menemukan Ellena, dia tak pernah lagi datang ke hutan itu. Bahkan mungkin Aditya sudah lupa jalan menuju ke sana.
Ellena sudah sering mendengar tentang kisah seorang anak yang dibuang di hutan pinus. Mungkin itulah sebabnya dia selalu bermimpi tentang hal itu. Dia tak pernah tahu bahwa kisah itu adalah dirinya. Aditya selalu berhasil membungkam mulut Inggit.
Ellena menoleh saat tiba-tiba dia mendengar suara motor berhenti tepat di sebelahnya. "Kak Dimas antar?" Terdengar suara bariton menggema di telinganya.
"Kakak? Nggak-nggak usah." Ellena kembali berjalan.
Dimas melajukan motornya pelan mengimbangi derap langkah Ellena. "Kak." Ellena mendengkus karena merasa tidak nyaman diikuti Dimas.
"Sekalian, Ell. Kak Dimas anterin."
Dari kejauhan Rena menyipitkan mata, menatap tajam ke arah Ellena.
Ellena mengangguk. Lumayan bisa untuk menghemat energi. Ellena tak tahu sampai kapan dia bisa bertahan dengan rasa sakit di kepalanya.
***
Derit pintu terdengar sangat pelan. Rena tahu siapa yang datang. Dia ingin segera meluapkan kemarahannya.
Ellena mematung saat semua barang-barangnya di lempar dari kamar oleh Rena. "Mulai hari ini kamu nggak boleh ada di kamarku."
Ellena menarik napas. Dia berjongkok untuk mengambil sebuah kotak kayu yang baru saja dilempar Rena dengan keras. Dia bahkan lupa kalau itu adalah miliknya karena sekian lama Ellena tak bisa membuka kotak itu. "Terus aku tidur di mana?" lirihnya.
Rena menoleh dan menatapnya tajam. Dia mendekat ke arah Ellena. "Di gudang."
"Tapi, Kak. Kenapa?" Ellena mendongak menatap Rena.
Rena yang masih berdiri sengaja menginjak kaki Ellena hingga gadis itu meringis. "Memang aku tidak tahu, hm? Kamu tadi sekolah diantar sama Dimas."
Ellena tertunduk. "Aww ...." Dia terus meringis merasakan sakit di ibu jari kakinya yang diinjak Rena.
"Jangan pernah rebut Dimas dariku! Kalau tidak, habis kamu." Rena menarik rambut Ellena hingga Ellena mendongak.
"Aw ... sakit Kak."
Rena melepaskannya dengan kasar. "Beresin barang-barang kamu, bawa ke gudang," ucapnya. "Untung aku nggak balikin kamu ke hutan," desis Rena sembari melenggang pergi.
Ellena mendengar kalimat terakhir Rena. Dia sedikit mengernyit. Ingin bertanya apa maksud Rena. Namun, urung dia lakukan karena Rena terlanjur pergi.
Ellena membuka kacamata dan meletakkannya di dekat televisi. Sayup-sayup dia melihat seorang perempuan berdiri tak jauh dari tempatnya. Ellena kembali memakai kacamatanya untuk memperjelas apa yang dia lihat.
Namun, tidak ada apapun yang dia tangkap dengan bantuan lensa kacamatanya. Ellena mencoba membukanya kembali. Dia terhenyak karena perempuan itu terlihat semakin jelas dan mendekat padanya.
Jantung Ellena berdebar lebih cepat. Dia memejamkan mata kuat-kuat. Angin berembus tepat di depan wajahnya. Sedingin es. Itu yang Ellena rasakan.
Ellena berdiri dengan kuat. Tak ingin dia terjatuh bahkan roboh. Dia yakin perempuan itu sedang memutari tubuhnya. "Ellena," bisikan tipis membuat telinga Ellena menghangat.
Tiba-tiba tubuh Ellena luruh ke lantai, berada di antara tumpukan barang-barang.
Waktu senja makin meredup. Inggit dan Rena belum pulang dari kota, begitupun dengan Aditya. Sementara Ellena masih terkulai lemah tak sadarkan diri.
Derap langkah semakin mendekat ke arah pintu. Aditya terperanjat mendapati rumah dalam keadaan gelap, sementara Ellena tertidur di antara tumpukan barang yang berserakan. Apa rumahnya kedapatan pencuri?
Aditya mulai panik. Dia memeriksa kamarnya yang masih tampak rapi. Baju-baju masih tersusun dalam lemari. Tak ada satupun barang yang hilang. Hanya kamar Ellena yang sangat berantakan.
"Ell, kamu kenapa?" Aditya menggoyang-goyangkan bahu Ellena.
Ellena terbangun. "Papa?" Dia menghambur memeluk ayahnya.
"Ini ada apa, kok berantakan sekali?" Aditya mengernyit. Dia curiga Rena yang melakukannya, anak sulungnya itu memang sudah lama mengeluh, tak ingin berada satu kamar dengan Ellena yang sering terbangun tengah malam, sehingga mengganggu tidur Rena. Aditya membelai puncak kepalanya "Ya sudah papa bantu kamu buat bersihin gudang."
Ellena mengikuti Aditya mengeluarkan semua barang dari gudang ke luar rumah di halaman belakang. "Simpan di sini dulu, biar besok papa yang rapikan."
Ellena manut. Bolak-balik mengeluarkan barang-barang yang sudah tidak terpakai itu. Dia menghela napas. Berkacak pinggang melihat gudang yang hampir kosong. "Ini sisanya biar Ell aja, Pa."
"Iya. Papa bantu kamu untuk keluarin tempat tidur dari kamar Rena."
Ellena mengangguk. Niat sekali Aditya membantunya. Sesaat Ellena meragukan posisinya di rumah Aditya Wijaya itu.
Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Hanya cahaya lampu yang sedari tadi menerangi pekerjaan mereka.
"Huuuhhhh ...." Ellena meniupkan udara ke permukaan kanvas. Dia mengambil kain dan membersihkan debu yang menutupi cat di atas kanvas itu. "Cantik," puji Ellena pada sebuah lukisan perempuan berlatar hutan pinus yang kini ada di genggamannya.
Ellena mengambil paku dan palu untuk memasang lukisan itu di dinding.
"Ell, papa da--" Aditya terkesiap melihat apa yang sedang dilakukan Ellena. "Kamu dapat itu dari mana?"
"Dari sana." Ellena menunjuk sebuah peti besar berbentuk persegi empat. "Aku baru tahu papa jago lukis." Ellena turun dari bangku yang diinjaknya. Dia menatap lurus pada lukisan yang terpasang di bawah jam dinding. "Cantik. Dia siapa, Pa?" Ellena menoleh. "Itu bukan Mama, 'kan?"
Aditya membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. "Kamu buang aja itu." Aditya berbalik dan meninggalkan Ellena sendiri.
Ellena mematung. Merasa aneh dengan sikap Aditya yang tiba-tiba seperti itu. "Kenapa, Pa?" teriak Ellena.
Aditya pura-pura tak mendengarnya, membuat Ellena mengidikkan bahu. Dia tak peduli, yang jelas dia suka dengan lukisan itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro