Bab 10
Alina kembali melempar tubuh Aditya hingga terpental ke batang pohon satu ke pohon lainnya.
Aditya terengah, darah segar keluar dari mulutnya. Dia memegangi dadanya yang sakit. Sudah dipastikan beberapa tulang mengalami patah. Alina mendekat kuku tajamnya hendak melukai leher Aditya.
Ellena tak kuat lagi, dia harus menghentikan semuanya. Berat hati Arga melepas Ellena dan mengikutinya berlari ke arah mereka.
"Jangan lukai Papa," pekik Ellena.
Alina menoleh, menatap kotak yang dipegang Ellena cukup lama. Hingga kotak itu terbuka dan jatuh ke tanah, kotak musik, boneka kayu dan beberapa lembar foto berhamburan dari dalamnya.
Ellena terperangah dan berjongkok untuk melihatnya. Beberapa gambar memperlihatkan Aditya dan Alina juga dirinya yang masih kecil. "Mama?" Ellena bangkit menatap Alina berwajah sendu. Ingin dia peluk rindu itu. Waktu sudah memisahkan mereka.
Alina menatap Arga yang berdiri tak jauh dari Ellena. Seperti asap arwah Alina masuk ke dalam tubuh Arga.
Seperti sudah siap untuk menjadi perantara menyampaikan rindu ibu kepada sang anak, Arga menerima arwah itu dengan baik.
Alina dalam tubuh Arga berjalan ke arah Alina, kemudian memeluknya erat. "Ini mama, Sayang. Mama rindu kamu." Bibir Arga bergerak hanya saja suara yang keluar adalah suara Alina.
"Mama," ucap Ellena pelan. Dia menangis dalam dekapan ibunya. "Kenapa Mama pergi?" Meski Arga yang dia peluk. Namun, Ellena merasakan kehadiran ibunya.
Masa kelam 14 tahun yang lalu telah memisahkan ibu dari anaknya.
Alina mengunci pintu kamar dari luar sementara Ellena tertidur di dalam. Dia terus mendesak seorang pria yang selalu menjadikannya persinggahan sementara, apabila pria itu sedang bertengkar dengan istri sahnya.
"Kamu pergi. Aku tidak mau kamu terus mendatangiku. Aku lelah ...." Alina tampak frustasi. Dia mengenyakkan kaki berjalan ke depan pintu. "Sampai kapan kamu mau seperti ini? Aku juga punya hati." Dia menunjuk dadanya sendiri.
Aditya malah memeluknya. "Aku juga sayang sama kamu sama Ellena."
"Kalau begitu nikahi aku. Ceraikan Inggit." Alina mendorong tubuh Aditya sekuat tenaga.
"Aku tidak bisa."
"Kamu sudah berjanji akan menikahiku, nyatanya sampai Ellena berusia tiga tahun, kamu tidak memenuhi janjimu." Alina berdiri di depan jendela.
Sepasang tangan Aditya melingkar di perut Alina. Namun, Alina kembali menghindarinya dan berbalik. "Kalau begitu biarkan aku dan Ellena hidup tenang." Kedua tangan Alina mengatup di depan wajahnya sendiri. Kemudian dia menunjuk pintu. "Sekarang kamu pergi."
"Aku tidak mau pergi." Aditya merengkuh dan membelenggu Alina dengan mendaratkan ciuman di bibir wanita itu.
Kasar. Aditya melakukannya dengan kasar. Alina baru sadar Aditya hanya menginginkan dirinya sebatas pemuas nafsu.
Alina menendang selangkangan Aditya hingga terjengkang. Harusnya dari dulu dia menyadari itu. Kenapa dia selalu terbuai dengan cinta palsu Aditya. "Aku akan mendatangi Inggit dan menceritakan semuanya."
Aditya menahan kaki Alina hingga Alina terjatuh, suara lantai kayu menggema membuat Ellena terbangun dari tidurnya.
Dengan paksa Aditya menyingkap rok putih berenda milik Alina. Wanita itu berontak meski Aditya terus membelenggunya. Tak ada senjata selain dia harus menancapkan kuku tajamnya ke leher Aditya.
Cukup untuk membuat Aditya kesakitan. Bekas kuku Alina melukai lehernya. Dia meringis menahan sakit sembari memegangi leher dengan bercak darah di permukaannya.
Alina berlari ke dalam kamar Ellena, dengan cepat dia merogoh saku mengambil kunci kamar itu. Aditya mendorong pintu dengan keras. Beruntung Alina sudah berhasil menguncinya.
"Kamu pikir aku lemah? Satu dobrakan saja, pintu ini akan roboh," pekik Aditya di depan pintu.
Rumah kayu berlantai papan. Tentu saja mudah untuk dirobohkan. Alina duduk di tepi ranjang sembari mendekap Ellena yang ketakutan. "Tenang Sayang, kita cari jalan ke luar."
Aditya memang sudah gila. Kali ini Alina tidak akan sudi menyerahkan dirinya pada pria hidung belang itu. Alina menatap lantai papan yang diinjaknya. Papan berukuran 100 x 50 cm itu bisa terbuka seperti sebuah pintu rahasia yang bisa menghubungkannya langsung ke luar lewat bawah rumah panggung itu.
Mengendap, Alina turun sembari menggendong Ellena, sementara dia tidak tahu kalau Ellena menyambar kotak kayu jati berukuran kecil yang ada di kolong ranjang.
Dia menutup pintu itu perlahan. Alina terus berlari tujuannya hanya satu mendatangi Inggit dan menceritakan semuanya.
Sementara pintu berhasil terbuka. "Kamu di mana Alina?" teriak Aditya menatap keluar jendela. Dapat dia lihat Alina yang terus berlari membawa Ellena. "Kurang ajar!" Aditya berlari untuk mengejar Alina.
Dia tahu perempuan itu tidak dapat lari dengan cepat apalagi sembari menggendong anaknya. Alina terus berlari, saat Aditya hampir mendapatkannya, alina bersembunyi di bawah semak.
"Aku tahu kamu belum jauh, Alina. Kita bisa bicarakan ini baik-baik." Aditya memelankan suaranya untuk membuat Alina luluh.
Alina menoleh ke belakang. Tempatnya berada saat ini tak jauh dari utara hutan pinus. Rupanya tujuan dia berkelok karena panik, dia lupa letak rumah Inggit.
Alina mengendap dan lari ke hutan pinus. Berkali-kali dia tersandung, beruntung dia masih kuat menahan agar tidak terjatuh. Ellena dalam dekapan tidak mengerti kenapa ibunya terus berlari ketakutan.
Aditya melihat Alina yang masuk ke dalam hutan. Waktu menjelang maghrib, langit berselimut senja dengan warna orange memberinya terang untuk terus masuk ke dalam hutan. Tak dipikir apakah di sana ada binatang buas atau tidak. Yang jelas saat ini dia benci pada Aditya.
Alina sudah berlari sangat jauh dan semakin masuk ke dalam hutan. Sepertinya Aditya tahu jalan pintas hutan itu, karena saat ini dia sudah ada di depan Alina. "Kamu mau ke mana lagi, Sayang?"
Menjijikan! Aditya berubah layaknya binatang buas yang siap menerkam mangsa.
Alina menurunkan Ellena dari pangkuannya. "Kamu lari ke sana." Alina menunjuk jalan tempat Aditya pertama muncul di hutan. "Cari jalan ke luar dari hutan ini dan tunggu mama di sana."
Ellena mengangguk. Anak itu berlari menuruti apa kata ibunya.
"Apa yang kamu mau?" tanya Alina.
"Tentu saja aku mau kamu." Aditya mengerlingkan mata, membelai pipi Alina dan mendekatkan wajahnya ke wajah Alina. "Malam ini saja, setelah itu kamu boleh pergi, selamanya." Apa yang ada di isi kepala Aditya? Dia benar-benar tidak menghargai Alina selama ini.
Alina menarik napas mencoba untuk tetap tenang sembari mengedarkan pandangan mencari senjata yang bisa dipukulkan ke kepala Aditya.
Mata Alina kurang jeli, karena sebuah kayu teronggok di bawah kakinya. Alina mundur, mencoba menjauh dari Aditya. Kali ini dia dapat melihat kayu itu. "Berhenti!" pekiknya. "Berhenti Aditya. Kamu jahat!" Belum sempat Alina mengambil kayu itu.
"Aku baik, aku selalu memberikan apa yang kamu inginkan, apa yang anak kita butuhkan." Aditya terus maju, sementara Alina terus mundur. Aditya menarik tangan Alina dan membelenggunya dalam pelukan. "Kamu nggak bisa ke mana-mana lagi." Kasar. Aditya kembali melakukannya dengan kasar, dengan rakus dia menciumi Alina. Semakin Alina berontak semakin erat Aditya menahan tubuhnya.
Aditya hendak menjatuhkan tubuh Alina, dia sudah tidak tahan ingin merasakan hidangan utama. Aditya terus mendorong Alina yang masih kuat bertahan. Namun, saat Aditya hendak menyandarkan tubuh Alina yang masih dalam pelukannya, dia tidak melihat ada pohon pinus yang patah dan hampir roboh, hingga saat punggung Alina di dorong ke pohon itu dengan keras, pohon itu roboh. Sehingga Alina terjengkang dan pinggang belakang tertusuk batang pohon pinus yang runcing, sementara Aditya berada di atas tubuhnya, hal itu semakin menekan Alina untuk merasakan sakit akibat tusukan yang semakin dalam.
Aditya terkejut, dia segera bangkit. "Alina ...." Panik. Aditya segera menarik tubuh Alina agar terlepas dari pohon itu, cukup sulit, hingga Alina meregang nyawa dalam keadaan seperti itu.
Dia terperangah mematung di depan jenazah, beberapa saat lalu dia memperlakukan Alina seperti seekor binatang, lalu apa yang harus dia lakukan sekarang?
Aditya menarik napas. Dia memang sudah merencanakan kematian Alina, tapi bukan dengan cara seperti ini.
Darah semakin mengucur deras dari setiap sisi pinggang Alina. Aditya mencari batang pohon lain untuk menggali lubang di tanah yang basah. Dua jam Aditya berjibaku menggali lubang sedalam pinggang untuk menyembunyikan mayat Alina. Setelah itu dia memasukkan Alina dan menimbunnya tanpa rasa bersalah.
Aditya juga menggali bekas darah Alina, Dan ceceran darah di patahan pohon yang runcing itu pun disembunyikan dengan cara menaburkan tanah ke atasnya, dia berharap hujan akan menggerus jejak darah itu.
"Bohong." Aditya bangkit, terhuyung mendekat pada Ellena. "Dia bohong, Ell. Papa sayang sama kamu."
Ellena menoleh.
Alina kembali murka, dia masih dalam tubuh Arga dan melempar Aditya kembali. Rasa sakit yang Alina berikan tidak sebanding dengan apa yang Aditya lakukan padanya 14 tahun silam.
"Ell, kamu harus bunuh dia." Alina menunjuk Aditya yang kesakitan di bawah pohon berjarak satu meter dari tempat mereka berada.
Ellena menatap Aditya.
"Jangan Ell, jangan dengarkan dia, aku ini ayahmu, aku yang sudah membesarkanmu." Aditya memohon. Dia lupa bagaimana Alina memohon saat itu.
Alina benar-benar marah, hingga dia membuat satu pohon pinus tumbang menimpa tubuh Aditya Wijaya. Pekikan itu membuat Ellena segera memburu ayahnya. Aditya menggenggam tangan Ellena. Napasnya tersengal. "Papa minta maaf, Ell. Papa memang sudah membuat kamu kehilangan seorang ibu."
Ellena terperangah menyaksikan sebuah pembalasan dendam yang lama terkubur. Kenyataannya adalah, Ayah menghabisi ibunya, kini di beda alam ibunya telah menghabisi satu-satu orang yang Ellena punya.
Linangan air mata itu jatuh membasahi pipi Ellena, kala dia melihat Aditya meregang nyawa. Ellena bangkit dan berbalik. Alina masih dalam tubuh Arga dan memeluknya erat. "Mama sayang kamu selamanya."
Ellena mengangguk. Perlahan dia merasakan yang memeluknya saat ini bukan lagi Ibunya, melainkan Arga. Ellena dapat melihat Alina sudah berdiri di belakang punggung Arga dan tersenyum menatapnya. Ellena membalas senyuman terakhir itu. "Semoga Mama tenang di alam sana," gumamnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro