Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4 - The Worst Day

Mason harus pergi bekerja tetapi sebenarnya ia tidak mau. Setelah apa yang terjadi, ia hanya khawatir situasi ini akan terulang dan ia tidak akan berada di sana jika mereka berhasil mengambil anak-anaknya darinya. Untunglah Ethan menawarkan diri untuk mengawasi anak-anaknya selama ia bertugas.

Seperti biasa, Mason berpatroli dengan Sebastian. Ternyata, situasi di Kota Bawah sedang tidak baik, lebih buruk dari kemarin. Ada beberapa geng yang menyebabkan kekacauan di mana-mana, meneror warga sipil di sana. Kali ini, mereka telah menerima laporan tentang pencurian di sebuah bank. Beberapa polisi sudah ada di sana, tetapi mereka meminta bantuan, mengatakan bahwa perampok itu memiliki cukup banyak sandera.

"Apakah kau yakin itu bukan hanya pengalih perhatian untuk kita?" tanyanya kepada Sebastian.

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Aku tidak tahu." Mason mengangkat bahunya. "Mungkin hanya firasatku." Ia hanya berharap firasatnya salah. Jujur, geng-geng itu membuat banyak petugas bergegas ke sana. Untungnya, Chief Paul mengizinkan Mason dan beberapa petugas lainnya untuk tetap tinggal.

"Chief Paul to officer Monroe? We got a situation, tolong segera ke lokasi."

"Officer Monroe to Chief Paul, we're on the way."

Sesampainya di sana, beberapa polisi sedang menunggu di luar gedung. Mereka terlihat panik dan kebingungan. Mason bisa mendengar suara pistol dan teriakan sandera yang ketakutan dari dalam.

Paul Allen, sang ketua, menghampiri mereka. "Perampokan bank, tetapi menjadi situasi penyanderaan dan ancaman bom."

"Apakah kita tahu siapa itu?" tanya Sebastian.

"Kamera keamanan menunjukkan itu adalah … Manticore." Di akhir kalimat, suara Paul menjadi sangat pelan. Hampir seperti bisikan. Mason berkedip ke arah Chief itu. Manticore adalah grup yang dipimpin oleh Armand Martinez. Tetapi Armand sudah mati. Mustahil pria itu kembali dari kematian. Satu-satunya penjelasan logis adalah bahwa mungkin Armand tidak pernah meninggal. Ia hanya bersembunyi.

"Mason, jangan panik lagi." Sebastian meletakkan tangannya di pundak Mason, ia menatap rekannya dan mengangguk, mencoba untuk tidak memikirkan hal itu.

"Pak! Kami menemukan siapa yang tertembak!" seru salah satu petugas polisi. "It was Aaron." Mason bisa merasakan suasana di sekitar mereka berubah. Ada pandangan ketakutan di mata petugas. Apa yang dilakukan Aaron di sana? Aaron adalah salah satu paramedis. Ia tidak seharusnya berada di sana.

"Sir, jika kau mengizinkan, aku dan Mason akan masuk dan mencoba untuk mengevakuasi warga sipil yang terjebak di sana."

"Hati-hati, jangan ragu untuk meminta bantuan jika situasinya memburuk."

"Yes, sir," ujar kedua petugas polisi tersebut sebelum masuk ke dalam bank.

Di dalam bank, Mason dapat melihat resepsionis yang ketakutan dan seorang pria bertopeng hitam menodongkan pistol ke kepala wanita muda itu. Matanya bertemu dengan Mason, tepat pada saat itu, Mason merasa mual. Ketakutan di mata sandera, tangisan mereka, segala sesuatu di sekitarnya membuatnya merasa berada dalam situasi yang sama dengan Armand. Ketakutan mengelilinginya.

"Angkat tangan! Jatuhkan senjatamu!" Sebastian berteriak, membuat Mason sedikit tersentak karena kerasnya suara rekannya. Mason berusaha bersikap profesional dan melupakan serangan paniknya. Yang ia butuhkan hanya fokus pada situasi. Bukan dirinya sendiri. Ia mengarahkan senjatanya ke pria bertopeng itu.

Si pria bertopeng mendorong resepsionis ke lantai, Mason bisa melihat bom yang dipasangkan di dada wanita itu. Tidak heran mengapa dia begitu takut. Yang mereka butuhkan hanyalah mengeluarkan pria itu, dan menyelamatkan warga sipil yang ada di sana. Mason menembak pistol yang dipegang oleh pria itu, dan Sebastian menembak kaki kanannya.

Mereka tahu mereka seharusnya tidak melakukan ini. Tapi itulah gunanya memiliki senjata, bukan? Pria itu adalah ancaman. Sebastian menepuk pundaknya sebelum bergegas ke pria itu dan memborgolnya. Mason bergegas ke wanita itu dan mencoba menenangkannya.

"Miss, I need you to calm down." Itu tidak membantu. Wanita itu masih terengah-engah dan menangis, dan berusaha mendorong Mason menjauh. Mason menyimpan pistolnya dan mengangkat kedua tangannya. "Dengar, aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin kau tenang agar aku bisa menghentikan bom itu, oke? Cobalah untuk bernapas perlahan. Masuk dan keluar."

Beberapa petugas masuk dan mereka mengevakuasi wanita itu dari gedung. Mason berbalik menatap Aaron yang telah ditandu dan dibawa pergi. Setelah itu, ia pikir itu sudah berakhir. Tetapi ada tiga bom lain di sana. Mereka menghabiskan waktu tiga jam untuk mencoba menghentikan bom tersebut, sementara pria bertopeng itu telah menembak dirinya sendiri sebelum mereka sempat memintanya untuk menghentikan bom tersebut.

Itu sulit, tetapi mereka berhasil.

"Mason, kau baik-baik saja?" Sebastian muncul dari belakang, napasnya tersengal-sengal karena berlarian untuk mengevakuasi korban. "Mengapa kau tidak menghentikan bom itu? Kau bisa melakukannya, 'kan?"

"Tidak terlalu." Mason menyapu keringatnya. "Bagaimana kabar Aaron?" Sebastian tidak menjawab tetapi rekannya itu menyeretnya dengan cepat ke mobil.

"Ada apa denganmu?" tanya Mason, bingung.

"Ada yang salah dengan Aaron. Aku melihat pembuluh darah lengannya, hitam pekat. Itu tidak seharusnya terjadi, Mason," katanya, sambil menyalakan mobil. "Aku rasa kita harus menemui Jan sekarang."

"Pria bertopeng itu, apakah dia benar-benar seorang Manticore?"

"Ya. Ada tato ular di tangannya, lambang yang digunakan oleh Armand ketika pemberontakan itu."

Mereka berhenti di lampu merah dan Mason memperhatikan sesuatu di lantai, itu adalah selembar kertas, Mason meraih kertas itu dan membacanya.

I warned you to stop.

Ia memucat, merasakan detak jantungnya berhenti sejenak. "Kita harus ke rumahku, sekarang." Ia memberi tahu Sebastian yang bingung, tapi mengangguk. Mason bersandar ke kursinya, melirik ke jendela. Terakhir kali dia mendapat peringatan seperti itu, istrinya meninggal dan anaknya terluka. Itu pasti suatu peringatan lain.

Ia mendengar sirene di depan dan itu membuatnya lebih cemas. Mobil berhenti dan Mason dapat melihat banyak mobil di jalan dan beberapa petugas berusaha menghentikan orang untuk melangkah lebih jauh. Mobil menepi dan Mason segera keluar. Ia mendorong orang-orang yang berkerumun, kepulan asap hitam di langit senja membuat rasa kekhawatirannya semakin menggebu-gebu. Ia mendorong kerumunan, mati-matian berusaha untuk mendapatkan pemandangan rumahnya. Mason berdiri di depan trotoar rumah, matanya melebar. Rumahnya terbakar.

"No." Mason tersentak pelan, tidak dapat menemukan suaranya. Ia menatap nyala api api yang melahap rumahnya. Hidupnya. "No, no, please no," gumamnya, dan berlari melewati pita peringatan.

Beberapa petugas pemadam kebakaran menarik dan menahannya. Ia menatap pintu yang terbuka saat api membakarnya. Air mata memenuhi matanya. Ia mencoba melepaskan diri dari genggaman mereka. Ia harus masuk. Ia harus menemukan mereka. Orang-orang yang menahannya berjuang untuk membuatnya tetap di tempatnya. Mereka terus berusaha berbicara dengannya, tetapi dia tidak dapat mendengar suara mereka. Matanya kabur dan kosong, menyaksikan rumah terbakar.

Ia menggelengkan kepalanya. "Biarkan aku pergi!" teriaknya. "Biarkan aku pergi! Tolong, anak-anakku …." Ia tersedak isakan. Anak-anaknya.

Perjuangannya melambat dan dia berlutut saat ia melihat dunianya terbakar. Petugas pemadam kebakaran menepuk pundaknya saat ia berlutut di sana. Mereka mencoba berbicara dengannya tetapi ia tidak responsif. Ia hanya menatap. Mason merasa mati rasa, terlalu banyak emosi yang mengalir dalam dirinya sekaligus. Ia ingin menangis, menjerit, memukul sesuatu, muntah, apa saja. Waktu terasa melambat dan dunia sunyi. Ia tidak punya apa-apa lagi. Saat keterkejutan mulai mereda, Mason mendengar sirene lagi, kobaran api, dan orang-orang berbicara. Ia terus duduk di sana tidak berani bergerak.

"Apakah kau mendengarkanku?!" Seseorang berteriak di belakangnya. Ia melirik ke belakang dan melihat Jolene. Ekspresinya kosong saat wanita itu memelototinya.

"Apakah kau melihat apa yang kau lakukan?!" Jolene berteriak sambil menunjuk ke arah rumah. Mason merasa linglung dan seolah-olah sedang bergerak di bawah air. Ia kembali menatap kobaran api.

"Anak-anakmu mati karena kau!" Ibu mertuanya berteriak dengan marah. "Dan semua itu karena kau terlalu egois untuk membiarkan mereka memiliki kehidupan yang lebih baik!" Ia terus menatap saat kata-katanya menusuknya seperti pisau.

Ia membenamkan kepalanya di tangannya dan menangis pelan. Semua yang ia cintai dalam hidup, telah pergi. Ia tidak bisa mengungkapkan perasaannya, mati rasa, kosong, seolah-olah seseorang baru saja membunuh sebagian dari dirinya. Setelah beberapa saat, Mason duduk di rerumputan dan melipat tangannya di atas lutut. Ia duduk di sana dan menatap rerumputan. Air mata jatuh diam-diam. Semakin lama dia duduk di sana, ia menjadi semakin kosong.

Api akhirnya padam dan para penonton perlahan-lahan bubar. Ia tidak bergerak, bahkan saat cuaca mulai dingin. Seorang petugas pemadam kebakaran meletakkan
selimut di pundaknya dan ingin membawanya ke suatu tempat. Ia hanya menatap. Mereka meninggalkannya sendirian sejenak. Sebuah mobil polisi berhenti dan Paul keluar dengan Sebastian. Mereka berjongkok di sampingnya dan mengatakan sesuatu, tetapi ia tidak mendengar mereka. Mereka mengguncang bahunya dengan lembut mencoba mengeluarkannya dari situ.

Ia tidak mendengar apa yang mereka katakan. Petugas polisi itu menutup matanya saat mereka mengguncang
bahunya. Ia menyandarkan kepalanya di lengannya. Ia mengabaikan segalanya dan memikirkan anak-anaknya. Istrinya. Segalanya.

"Mason!" Ia tidak ingin kembali ke kenyataan. Tidak ada yang tersisa untuknya. Ia perlahan tenggelam dalam keputusasaan.

Mereka berhenti mengguncangnya dan terdiam. Beberapa menit kemudian, ia merasakan tangan kecil menyentuh bahunya. Ia perlahan menarik dirinya keluar dari kesengsaraannya dan fokus. Lengan mungil melingkari lehernya dan ia mendengar suara-suara kecil. Ia lebih fokus. Ia bisa mendengar orang berbicara dan radio berbunyi. Tetapi bukan itu yang menarik perhatiannya.

"Daddy?" Nama favoritnya. Ia mendongak dan melihat dua pasang mata biru dan sepasang mata cokelat yang indah menatapnya. Ia menahan isak tangis dan menarik mereka ke pelukan erat. Ia mencium kepala mereka dan memeluk mereka erat. Air mata lega jatuh di wajahnya.

"Aduh, Dad, kau memerasku." Ellie
mengeluh. Anak-anak bingung dengan perilaku Mason, tetapi dengan lembut membalas pelukan itu. Mason mendongak dan mendapati sahabatnya berdiri di depannya kemudian berjongkok di sebelahnya.

"Mason … I'm sorry we put you through that situation." Ethan berbisik sambil meletakkan tangan di bahunya. Mason hanya diam sambil memeluk anak-anaknya. Bahunya bergetar saat ia menangis lega.

"Kita perlu menemukan tempat yang aman untuk mereka." Ia mendengar Sebastian berkata. "Mason …" Sang mantan mata-mata menatapnya. "Apa kau punya tempat untuk menginap malam ini?" Ia bertanya.

"Ya, tentu saja mereka punya," balas Ethan segera. "Mereka bisa tinggal di tempatku sampai mereka mendapatkan tempat tinggal yang lebih baik."

"Ayah ..." kata Ellie sambil melihat ke atas. "Apakah aku tidak sengaja membakar rumah itu?" Mason setengah tertawa dan setengah menangis.

Ia mencium kening putrinya. "Tidak." Ia berbisik pelan. "I don't think you did." Tiga lainnya melihat ke rumah.

"Are we homeless now?" Clark bertanya saat ia menatapnya. Mason tersenyum sedih dan mencium keningnya tapi tidak menjawab.

"Tidak lama," jawab Sebastian sambil
melirik Paul. "Kami perlu memindahkan keluargamu." Ia menatap Mason dengan serius.

"Tidak, aku tidak bisa pergi," kata Mason sama seriusnya. "Tidak sampai seluruh anggota Manticore berada di balik jeruji besi." Matanya menyipit dan ia memeluk anak-anaknya
lebih erat.

"Aku mengerti." Paul bergumam.

Mason melirik ke mobil Jolene dan mengerutkan alisnya. Apakah ibu mertuanya benar? Ia memandangi anak-anaknya, dan mereka tahu dia sedang berusaha membuat keputusan yang sulit. Mereka mempererat cengkeraman mereka padanya saat air mata memenuhi mata mereka. Ia menatap mereka dan menyadari bahwa mereka tidak aman bersamanya. Tidak dengan Manticore di luar sana.

Mason berdiri dengan hati-hati dan mereka berpegangan erat padanya saat ia berjalan ke mobil. Nick ada di punggungnya dan ia membenamkan wajahnya di baju ayahnya. Kedua petugas itu saling memandang kemudian ke dokter yang mengawasi mereka pergi. Ia melirik dua lainnya lalu mengikuti. Mason diam dan tidak menoleh ke belakang saat dia sampai di mobil. Ia dengan hati-hati mengaturnya dan menutup pintu. Ia hanya berdiri di sana saat ia melihat mereka dan menatap ke angkasa.

Mason tidak ingin menyuruh mereka pergi tetapi ia merasa terbelah antara keputusan itu. Mereka akan lebih aman jauh darinya, kan?

***

Sooo, what do you think??

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro