1 - Fourth Of November
29 October 2116.
Mason duduk di kursi di samping putranya yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Tubuh mungil itu kini penuh dengan perban, luka, dan memar. Jika boleh jujur, Mason tidak bisa melihat kondisi putranya sekarang. Ia telah melihat banyak luka, darah, dan memar. Namun, ia tidak pernah melihatnya di tubuh putranya. Biasanya hanya luka kecil di lutut.
Nick, putra bungsunya, dalam keadaan koma. Karena kecelakaan itu. Mason menggosok tangan kecil putranya, ia merasakan sesuatu di dadanya. Seperti ada sesuatu yang menikamnya berulang kali di sana. Fakta yang paling menyedihkan adalah ia tahu ia tidak bisa berbuat apa-apa ketika insiden itu terjadi. Yang bisa ia lakukan hanyalah menjadi kuat untuk anak-anaknya dan melindungi mereka.
"Pulanglah, Mason." Ia tersentak, tidak menyadari bahwa Ethan ada di sana. Mason mendongak ke arah temannya yang memberinya senyum sedih dan menyentuh bahunya. "Aku akan menjaga Nick. Kau pulanglah dan istirahat. Clark dan Ellie pasti merindukanmu."
Mason mengangguk pelan. Sebenarnya ia tidak ingin meninggalkan Nick, bukan karena ia tidak mempercayai Ethan, ia hanya takut jika terjadi sesuatu. Tetapi Ethan benar, tentang anak-anaknya yang lain merindukannya. Mereka pasti khawatir tentangnya.
"Terima kasih, E." Ia bangkit dan memberi Ethan tepukan kecil di bahu. Ia berjalan keluar dari rumah sakit dan masuk ke mobilnya. Dalam perjalanan, Mason berhenti di McDonald's dan membeli happy meals untuk anak-anaknya.
Sesampainya di rumah, suasana sangat sepi. Mason tidak terlalu suka itu. Ia keluar dari mobilnya dan berjalan menuju rumah. Ia menghela napas dan mengetuk pintu, adik iparnya, Madison Reynolds, yang sering dipanggil Maddie membukakan pintu untuknya.
"Mason, aku senang kau pulang, anak-anak merindukanmu." Maddie tersenyum, membiarkannya masuk. "Mereka masih tidur. Bagaimana kabar Nick?"
Mason meletakkan happy meal yang dibawanya di meja dan berbalik menatap adik iparnya. "Dia dalam kondisi kritis, koma."
"Oh Tuhan, aku harap dia akan baik-baik saja."
"Bukankah kau harus pergi bekerja sekarang?" tanya Mason, melirik ke jam yang ada di dinding. Jam menunjukkan pukul sembilan lewat enam menit. Hari itu hari Senin.
"Ya, tapi aku meminta cuti selama dua hari untuk mengawasi anak-anakmu," jawab Maddie, mata cokelatnya meredup, "aku sangat menyesal tentang apa yang terjadi pada istrimu."
"Terima kasih, Maddie, tapi itu bukan salahmu." Ia tahu seberapa dekat Maddie dengan Lauren. Bukan salah siapa-siapa kecuali orang yang mengacau dengannya. Mason bersumpah ia akan memburu orang itu sampai ia melihat mereka di penjara.
"Daddy?" Mereka berdua melihat ke tangga, Clark yang berusia sembilan tahun berdiri di sana, mengusap matanya, jelas masih mengantuk.
"Hello, buddy." Mason tersenyum, menaiki tangga dan memeluk Clark. "Apakah kau baik-baik saja? Did you behave? I hope you don't bothered your aunt too much."
Clark mengangguk pada pertanyaannya. "Di mana Nick dan mommy?" Ini adalah momen yang sudah Mason coba hindari.
"Well, Nick berada di rumah sakit. Dia baik-baik saja." Ia mengacak-acak rambut Clark. "Kau lapar? Aku membawa happy meal. Di mana adikmu? Dia sudah bangun, 'kan?"
Clark tidak menjawab pertanyaannya. Ia hanya menatapnya, dan tatapan yang diberikan putranya menghancurkan hati Mason. Ia menghela napas dan berjongkok sesuai dengan tinggi Clark. "Ibumu ... dia tinggal dengan bintang-bintang sekarang." Clark terdiam, mata birunya mulai berair dan anak berusia sembilan tahun itu mencoba yang terbaik untuk menahan air matanya.
"Mommy's gone ...." lirih Clark.
"Yes, sweetheart." Mason tidak menyukai ketika suaranya hanyalah sekedar bisikan, hampir tidak terdengar. Dia berdehem dan tersenyum lembut. "Dia bahagia. Dia selalu di sini, tidak akan pernah meninggalkanmu," katanya sambil menunjuk ke hati Clark. Clark mengangguk dan Mason menarik anak laki-laki itu ke dalam pelukannya.
"Daddy?" Suara Ellie terdengar, Mason menoleh dan mendapati anak perempuannya berdiri di depan pintu kamarnya, memegang boneka beruang cokelatnya. Mason mengulurkan tangannya pada anak perempuannya dan gadis kecil itu berlari ke pelukannya. "I want mommy," bisik Ellie.
Mason menarik napas panjang dan mengelus kepalanya. "I know. Tapi aku di sini, kita akan baik-baik saja." Ia mempererat pelukan itu ketika ia mendengar anak-anaknya menangis.
Mereka melepaskan pelukan setelah beberapa menit dan anak-anaknya memakan happy meal mereka. Mason tersenyum lelah, mengamati mereka makan dengan lahap. Lauren tidak akan mengizinkan anak-anak mereka makan burger sebagai sarapan. Ia menunduk menatap tangannya, dia harus kuat sekarang. Lebih kuat dari sebelumnya. Ia akan melakukan apa saja hanya untuk menjaga senyum di bibir anak-anaknya.
Setelah sarapan, Maddie mengajak Clark dan Ellie bermain di taman. Mason menggunakan waktu luang itu untuk membereskan rumah dan mandi. Ia masuk ke kamarnya, duduk di tepi tempat tidur dan mengambil sebuah bingkai foto. Itu adalah foto keluarganya ketika mereka berlibur. Matanya berair lagi ketika ia melihat wajah Lauren yang tersenyum lebar.
Mason menyeka air matanya lagi dan meletakkan foto tersebut di nakas. Dia mulai memikirkan kertas itu. Siapakah orang yang memperingatkannya? Ia pasti mengenal orang ini. Mengingat masa lalunya, ia memiliki banyak musuh. Ia adalah seorang agen. Seorang mata-mata. Sebelum ia memilih untuk pensiun.
Mungkin masa lalunya bisa membantu. Mason berdiri dan mengambil laptopnya dari meja. Ia menyalakan laptop itu dan membuka situs living science, memasukan kode rahasianya. 41165. Situs tersebut berubah dan kemudian layar laptop tersebut mati. Setelah beberapa detik, laptop menyala kembali dan tulisan A.F.A (Armed Forces Agency) muncul. Banyak sekali data berharga yang ada di dalam situs tersebut dan hanya agen-agen tertentu yang bisa mengaksesnya.
Mason sudah berada di A.F.A sejak ia berusia lima tahun. Ada kejadian yang membuat agensi tersebut memungutnya dan membesarkannya. Ia sebenarnya terkejut ketika aksesnya masih berfungsi, bahkan setelah tiga tahun pensiun. Ia mulai mencari daftar agen yang tidak aktif atau pengkhianat. Setahun sebelum ia pensiun, A.F.A terpecah menjadi dua kubu dan membuat agen-agen saling melawan. Akibatnya, agensi tersebut kehilangan cukup banyak anggota.
Ada cukup banyak nama, tetapi yang paling menarik perhatiannya adalah Armand Martinez. Ia adalah orang yang sudah memimpin pemberontakan dan membuat A.F.A terpecah menjadi dua kubu. Sebagian agen berpihak padanya, sedangkan yang lain masih mempertahankan kesetiaan mereka kepada A.F.A.
Armand dinyatakan meninggal dalam aksi pemberontakannya sendiri.
Mason menghela napas, kembali ke halaman utama. Ia mengetik namanya sendiri dan melihat bahwa statusnya bukan pensiun, tetapi agen tidak aktif. Itu membuatnya heran. Ia sudah secara resmi keluar dari agensi tersebut, mengapa statusnya justru agen tidak aktif? Ia pun melihat ke misi-misinya yang sudah terselesaikan. Namun, ada satu misi yang masih dalam status terkunci.
Mission: Protect.
Ia mendengar pintunya diketuk, sebelum menjawab, Mason mematikan laptopnya. "Masuk."
Pintu terbuka dan Clark masuk, memegang ponselnya. "Uncle Ethan menelepon." Mason mengangguk dan Clark memberikan ponsel tersebut kepadanya sebelum pergi dari kamar.
"Ada apa?"
"Nick sudah sadar."
***
Mason bergegas ke rumah sakit dan menemukan putra bungsunya bersama dengan Ethan, menangis dan bingung. Dia bergegas ke sisi Nick, mencoba menenangkannya. Dia menepuk punggungnya, membelai rambutnya, tetapi Nick tampaknya tidak tenang. Bocah itu tampak stres tentang sesuatu.
Dia mendongak ke arah Mason dan menyentuh lehernya. Nick membuka mulutnya tetapi tidak ada suara yang keluar. Mason tidak menjawab, dia terus memeluk Nick dan mencium rambut hitamnya yang acak-acakan. "Ssshhh, it's okay now. Daddy's here."
Ia butuh sepuluh atau lima belas menit untuk menidurkan Nick, bocah itu lelah karena menangis. Setelah beberapa menit, Ethan kembali masuk ke dalam ruangan itu.
"Bagaimana dia?" Mason bisa mendengar langkah kakinya mendekat tetapi mantan mata-mata itu tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari putranya.
"Dia baik-baik saja sekarang. Ini akan sulit baginya, kau tahu apa yang aku maksud."
"Kita bisa mengajarinya bahasa isyarat. Aku ini dokter, ingat?"
"Ya, aku ingat. Terima kasih." Setelah pemberontakan dan Mason keluar dari agensi, Ethan bekerja sebagai kepala petugas medis yang merupakan salah satu agen tidak aktif. "Ethan, ada sesuatu yang ingin kutanyakan."
"Apa itu?"
Ia menatap sahabatnya. "Mengapa statusku masih tercantum sebagai 'inactive agent'? Aku sudah pensiun."
Ethan terdiam selama beberapa saat. Pria itu melihat ke jendela dan pintu masuk ruangan, sahabatnya menghela napas panjang dan menjawab, "Kita tidak bisa membicarakannya sekarang. Ini pertanyaan serius, Mason. Aku tidak bisa menjawabnya di sini."
Mason mengangguk. "Apakah kau pikir ini direncanakan?"
"Apa yang direncanakan?"
"Kecelakaan itu."
Ethan menghela napas lagi. "Aku tidak tahu. Tapi aku berharap aku tahu. Agar aku bisa membantumu."
Mason memalingkan muka, menatap putranya. Ia berkedip beberapa kali agar air matanya tidak jatuh. Bagaimana jika seluruh kecelakaan ini ada hubungannya dengan statusnya yang tidak aktif di agensi? Mungkinkah mereka berencana untuk menyerangnya? Untuk membawanya kembali? Dia mendongak ketika teleponnya berdering. Itu Sebastian, rekannya. Mantan rekannya di agensi. Mereka keluar bersama-sama dan menjadi polisi.
Jadi ia menjawab, "Aku di rumah sakit. Apa yang terjadi?"
"Pembobolan di sektor lima belas, tempat penyimpanan persenjataan A.F.A. Aku tidak tahu detailnya, aku baru diberitahu dan disuruh untuk memberitahumu."
"Pembobolan?" ulang Mason. Ia menatap Ethan yang sedang menatap layar ponselnya dengan ketakutan jelas di wajahnya. "Terima kasih, Seb." Mason mematikan teleponnya.
"Oh, sial," umpat Ethan, "dua belas penjaga terluka. Aku harus pergi ke sana."
"Hati-hati."
Ethan mengangguk dan berjalan tergesa-gesa menuju pintu. Sebelum keluar, ia berbalik. "Kabari aku jika terjadi sesuatu," katanya. Mason mengangguk.
***
4 November 2116.
Beberapa hari kemudian Nick keluar dari rumah sakit. Anak laki-laki itu tidak terlalu senang dengan kondisinya atau tentang apa yang terjadi pada ibunya. Mason tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang, terutama jika kau melihat orang itu meninggal di depanmu.
Mereka mengadakan pemakaman. Mereka tidak mengundang banyak orang, hanya keluarga dan beberapa teman. Mason berdiri diam sementara anak-anaknya mengucapkan selamat tinggal kepada ibu mereka.
"I will be good, I promise. Goodbye mommy." Ellie meletakkan setangkai mawar di dada ibunya dan mencium pipinya.
"I will never let anyone take us from Dad," kata Clark, "I'll protect Nick and Ellie."
Nick sepertinya ingin mengatakan sesuatu juga. Sayangnya, ia tidak bisa. Mason memperhatikan dengan tenang saat anak bungsunya menyentuh pipi Lauren. Setelah itu, bocah itu melangkah mundur ke arahnya, dan ia mengangkatnya, anak laki-laki itu menangis diam-diam ke jasnya.
Seseorang melangkah masuk, Mason melirik Maddie yang tersenyum sedih kepadanya. Adik iparnya tidak mengatakan apapun, ia hanya mengambil Nick dan membawa Clark dan Ellie keluar, memberikannya waktu untuk sendirian.
Itulah yang sangat Mason butuhkan. Saat anak-anak pergi, ia memegang tangan Lauren. "I love you," katanya, sambil mengelus tangan dingin Lauren dengan ibu jarinya. "How am I going to do this without you?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro