Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 4 Ini mall, bukan kantor polisi

Ponsel berdering lima kali berturut-turut itu biasanya bukan pertanda bagus. Sama sekali bukan keberuntungan. Diangkat akan memberi pengaruh negatif pada perasaannya, diabaikan akan semakin menambah pengaruh negatifnya. Sulli mendesah. Dia baru saja selesai melakukan pekerjaan yang disuruh Andrew. Tidak bisakah laporannya menunggu ia menjejakkan kaki di Pyramid? Sungguh memiliki bos yang sangat tidak sabaran itu benar-benar merusak mood awal bulan setelah cairnya gaji. Sialan.

"Kamu kok seenaknya saja meninggalkan pengunjung duduk berjam-jam di lobi?" Belum saja Sulli mengucapkan kata halo, Andrew sudah merepet tak karuan. Tapi mendengar perkataan itu, mau tak mau Sulli melirik jam tangannya. Astaga ini pukul dua siang, dan rupanya Kali masih di sana! Tangan lelaki itu segera mengurut pelipis. Benar-benar memusingkan.

"Dia tidak menganggu pengunjung yang lain, kan? Katanya Ibu itu mencari kakaknya." Sulli memaparkan jawaban dengan nada rendah. Ia memasuki mobil dan segera memberi perintah kepada sopir untuk kembali ke Pyramid secepatnya.

"Ini mall, bukan kantor polisi! Suruh saja dia pergi kalo nggak mau belanja atau lihat-lihat. Imejnya cukup jelek bagi mall kita!" semprot Andrew di seberang sana. Sulli menghela napas. "Apa katamu?"

"Tidak, tidak ada, Pak."

"Kakaknya ini siapa? Pengunjung juga? Atau karyawan? Kalo karyawan cepat panggil dan pertemukan dengan dia!" Andrew masih saja mengomel. 

Bukannya ada Bu Lita ya di sana? Mengapa nggak nyuruh dia aja sih? gerutu Sulli kesal dalam hati. "Baik, Pak."

"Pokoknya suruh saja dia pergi, atau belanja atau gimana! Jangan kelamaan duduk di lobi!"

Perintah Andrew kadang terdengar masuk akal, kadang di luar nalar sama sekali. Tapi memang sebagai pusat perbelanjaan yang dicitrakan eksklusif dan mewah, ada perempuan norak yang nongkrong berjam-jam di lobi bukan tampilan bagus. Lagipula, apa sih yang dilakukan Kali di situ? Tidak bisakah ia berjalan-jalan menyusuri Pyramid untuk mencari kakaknya? Sedetik pikiran itu muncul, sedetik kemudian Sulli merasa menyesal. Dia kan hamil. Berjalan-jalan mengelilingi mall empat lantai bukan ide bagus untuk olahraga atau senam hamil.

Sesampainya di Pyramid, Sulli bahkan segera berlari, seraya berharap agar Kali tidak ada di sana sekarang. Tapi ternyata harapannya sia-sia. Kali masih di sana, menunggu dengan tampang bosan. Punggungnya bersandar pada sofa, sementara kakinya berselonjor. Dengan penampilan begitu, jelas saja Andrew ngamuk-ngamuk. Kali sama sekali tidak tampak seperti sosialita yang akan menghabiskan uang suaminya belanja. Jika saja memang seperti itu, tentu Andrew nggak akan mempermasalahkan.

Sulli melambai ke arah Ilham. "Kenapa dia masih di sana?"

"Belum ketemu kakaknya, Pak."

"Dia sudah makan? Dia kan hamil, seharusnya ...."

"Wah, Bapak perhatian sekali. Naksir ya, Pak?" Ilham kadang butuh dikemplang juga sepertinya.

"Ilham, jawab saja pertanyaan saya!" Sulli mulai tidak sabaran.

"Anu, Pak. Tadi sudah saya kasihkan bekal saya buat dia makan. Soalnya waktu saya tawari beli makan di restoran, dia nggak mau. Ini saya sudah beli lagi buat saya makan sendiri." Ilham menerangkan. "Kasihan Pak. Saya juga nggak tega lihat orang hamil, kayak nggak keurus. Suaminya dimana ya Pak? Kok bininya hamil nggak diurusin ...."

Jika saja Sulli berada dalam mood yang baik, bertukar gosip dengan karyawan yang lain itu bisa menyenangkan. Tapi sekarang, tuntutan dari Andrew, serta keberadaan Kali yang membuatnya tidak nyaman membuatnya makin jengkel.

Sulli mengabaikan Ilham dan berjalan masuk ke lobi. "Selamat siang, Kali."

Kali bangkit dari duduknya. "Oh, kamu sudah balik."

Respon macam apa itu? Sungguh jika tidak sedang bekerja yang mengharuskan ia bersopan santun terhadap pengunjung, dia ingin saja mengunyah hidup-hidup perempuan ini. Mereka bahkan tidak saling kenal, dan responnya seperti mereka kenal akrab.

Pengunjung yang melintas lobi sepertinya juga memperhatikan Kali, karena entah kenapa, baik yang hendak meninggalkan Pyramid atau baru masuk selalu menoleh ke arah mereka berdua. Sulli berkacak pinggang, sepertinya ini tidak mudah.

"Eh, begini Kali. Mungkin karena keberadaan Anda di sini akan menganggu pengunjung ..."

"Aku nggak ganggu siapa-siapa, kok!" potong Kali ketus. 

Astagaaaa Tuhaaaan ... ampuni aku, bisik Sulli kesal. "Bisa tidak, Kali beritahu nama lengkapnya Kakak Anda, jadi staf saya bisa segera mencarikan orangnya?"

Mata Kali membulat, seakan itulah jawaban yang ia tunggu-tunggu. "Wah iya, bener juga ya. Kenapa nggak dari kemarin aja, Pak Sulli!"

Sulli mencoba tersenyum saat hatinya jengkel dan kedua kombinasi itu menciptakan ekspresi aneh di wajahnya. "Baiklah ... tolong beritahu nama kakak Anda, Kali."

"Suyono. Ahmad Suyono." Jawaban Kali seakan memberi angin segar terhadap ledakan kejengkelan yang memenuhi dada Sulli. Segera saja asisten manajer itu menghela napas dan segera menelepon staf personalia untuk menanyakan apakah ada karyawan bernama Ahmad Suyono yang bekerja di Pyramid. Dan setelah beberapa menit, jawaban Mira, si personalia cukup melegakan hati.

"Ada Pak. Ahmad Suyono, staf event. Biasanya dipanggil Mat soalnya, jadi nggak banyak yang tahu. Saya panggilkan?"

Oh, si Mat yang itu. Baiklah, mungkin dia harus lebih pedulian terhadap nama lengkap karyawannya. "Iya, Mira. Segera suruh ke lobi, adiknya ingin bertemu." Sulli segera menutup telepon dan mengabarkan berita gembira itu pada Kali yang tampak sumringah.

"Ada toh? Akhirnya, coba aja dari kemarin kayak gini, saya nggak perlu bolak-balik." Gerutuan Kali yang sebenarnya menjengkelkan, tapi karena prospek ia segera bertemu kakaknya akan terjadi dalam lima menit, hal itu tidak mengganggu Sulli lagi.

"Iya, Kali. Ahmad Suyono ternyata bukan manajer, tapi staf event." Penjelasan Sulli membuat dahi Kali berkerut dan ekspresinya menjadi bingung.

"Ifen? Ifen apa itu?"

Sulli mendengkus. "Ah, sudahlah. Nanti biar dijelaskan sama kakaknya sendiri. Baiklah, kalau begitu saya tinggal dulu ya Kali. Mohon maaf tidak bisa menemani, saya banyak pekerjaan."

"Ya, ya, ya, Pak Sulli kan emang sibuk." Nadanya sungguh kombinasi meremehkan dan kekecewaan. Dan Sulli benci jika ada yang memanggilnya Sulli seperti nama perempuan. Mengapa juga namanya harus menggunakan nama western, tidak umum pula? Nama seperti Jack atau Robbie, jauh lebih mudah dilafalkan oleh orang Indonesia.

Sulli mengangguk dan segera berjalan cepat menuju lift. Tumpukan pekerjaan yang sepertinya setiap menit ditambahkan oleh Andrew jelas bukan main-main. Dia sungguh jauh lebih sibuk saat menjadi asisten manajer, ketimbang sang manajer sendiri yang tampaknya lebih suka duduk-duduk dan bertelepon saja di balik meja dibanding mengerjakan pekerjaan sungguhan.

Entahlah. Yang pasti, Sulli lega bahwa masalah Kali sudah selesai dan tidak akan membuatnya jengkel lagi. Segera saja saat pintu lift terbuka, ia berlari menuju ruangannya dan menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Semoga saat waktunya pulang kerja nanti, dia sudah bisa menyelesaikan semuanya tepat waktu dan tidak ada yang tertunda lagi. Semoga saat ia pulang nanti, ia bisa segera berendam dalam bathtub dan memutar musik klasik kesayangannya tanpa gangguan.

Sulli mengepalkan tangan dan berteriak, "Huh!" demi memompa motivasinya bekerja. Oh, kopi. Dia butuh kopi. Kafein akan sangat membantunya terjaga dan bersemangat terutama setelah pusing dengan urusan perempuan berbaju norak yang mungkin sekarang telah bereuni dengan kakaknya. 

*Episode04*

Hai, hai, siapa di antara kalian yang masih kerja dan punya bos kayak Andrew? Share di sini ya. 

Gimana menurut kalian episode yang ini? Sudah bikin jengkel atau geregetan? Atau chill aja? Kalau kalian di posisi Sulli, ketemu orang kayak Kali enaknya diapain? 


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro