Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 3 Abaikan saja

19 September 2019 Pukul 09:00 pagi

Sulli terkejut saat ia hendak memasuki pintu depan lobi Pyramid, sudah ada Kali yang sedang duduk di salah satu anak tangga. Pakaiannya tampak lebih baik, meskipun menurut Sulli selera perempuan ini norak amat. Kemeja batik dengan warna cokelat gelap serta celana panjang dengan warna senada membuat penampilan perempuan tersebut tampak rapi. Rambutnya yang terlihat kasar, seakan tidak pernah disentuh oleh benda bernama sampo dan kondisioner, diikat kuncir kuda, setidaknya tidak serampangan seperti kemarin malam. Tangannya sesekali mengelus perutnya yang membuncit, dan harus Sulli akui, mungkin karena dia hamil, makanya lelaki seperti dirinya mudah jatuh iba pada Kali. Sebab jika bertemu di kondisi berbeda, perkataan yang keluar dari mulut Kali cenderung mudah memprovokasinya untuk berbuat kekerasan semisal ... menabok mulutnya. Serius. Untuk seorang ibu hamil yang biasanya berhati-hati terhadap omongan, Kali ini cukup menjengkelkan.

"Selamat pagi, Ibu Kali." Sapaan itu muncul setelah Sulli meyakinkan diri untuk menghilangkan ekspresi heran di wajahnya. Apa yang dilakukan oleh perempuan itu di sini? Sepagi ini? Mall saja belum buka!

"Kali saja. Aku belum jadi ibu." Nah kan? Sulli ingin sekali menjitak kepala perempuan itu karena gemas. Berapa sih umurnya? 25, 26, 30? Dia tidak seiimut itu untuk dipanggil adik, demi Tuhan! Wajahnya yang kusam dan dihiasi beberapa noda hitam, serta beberapa bagian kulit yang terbakar matahari, semakin membuatnya lebih tua daripada usianya. Sepertinya. Entahlah, Sulli tidak mau menebak-nebak.

"Baiklah ... Kali. Ada keperluan apa, Kali di sini?" Sulli memberikan senyum ramah. Walaupun dalam hatinya sudah merasa jengkel dengan kehadiran perempuan ini. Semoga dia tidak menimbulkan banyak masalah, bisik Sulli dalam hati.

"Ketemu Masku."

"Sudah janjian sekarang?"

"Belum." Kali menggeleng. Ya Allah Gusti! Sulli menghela napas demi menenangkan gemuruh dalam dadanya.

"Mungkin bisa janjian dulu, Kali. Biar nggak sisipan kayak kemarin." Sulli memberikan saran.

"Teleponnya nggak diangkat. Mati." Kali menunjukkan sebuah ponsel yang tampak jadul sekali, di tengah hingar bingar ponsel berlayar besar saat ini. Sulli bahkan bisa menebak merek dan tipenya, karena bentuknya yang khas dan ngetrend di tahun sebelum kejayaan ponsel pintar. Nokia 5310 Xpress Music. Ponsel itu ngehits pada zamannya, tapi tidak sekarang. Sulli bahkan meragukan ponsel tersebut bisa menyala jika memang dibeli pada tahun 2007. Ya ampun.

Tapi ajaibnya ponsel tersebut memang menyala. Saat Kali menunjukkan kontak nomor yang diberi nama : Mas Yono di sana. Sulli menatap deretan nomor tersebut dengan ekspresi datar. Angka tersebut tidak berarti apa-apa baginya. Jikalau memang dia—si Yono ini, manajer atau apalah—jelas susah menghapal nomor telepon seseorang zaman sekarang.

Sulli menggaruk rambutnya yang telah diolesi pomade. "Iya, mohon maaf, saya nggak tahu nomor telepon itu, Kali."

Kali berdecak gemas. "Aku sudah mencoba meneleponnya, tapi mati terus. Dia ganti nomor apa gimana? Mau ketemu dia aja kok susah, sih?"

Lha kamunya juga ngotot nggak jelas gini, pikir Sulli. "Oke, mungkin bisa ditemui di rumahnya? Kemarin Anda nggak mampir ke rumah pak Yono?" Sulit untuk tidak berbicara formal saat berada di lingkungan kerja, Sulli mengakui. Dan permintaan Kali agar tidak dipanggil Ibu semakin menyulitkan.

Beberapa karyawan yang bekerja di mall tampak mulai berdatangan, mengirim senyum terbaik pada Sulli lalu masuk ke dalam. Sulli melirik jam tangannya, ia sudah lima menit berada di sini, dan belum mengurusi pekerjaannya sama sekali.

"Aku sudah ke rumah yang lama, tapi sudah dijual." Kali berkata getir. "Dia sudah pindah, makanya itu aku nyari ke sini lagi. Mungkin bisa ketemu di sini."

Sulli langsung merasa tak enak hati. "Oke, baiklah. Tunggu saja di lobi, ada sofa yang cukup empuk di sana, biar duduknya ... eh, nyaman. Siapa tahu nanti bisa papasan," ujar Sulli seraya menunjuk deretan sofa yang dipajang di lobi.

Kali ragu-ragu menatap sofa tersebut. "Bayar piro?"

"Oh, nggak bayar, Ibu Kali." Jawaban Sulli membuatnya mendapatkan delikan yang tidak sopan dari Kali. Sulli menghela napas. "Iya, Kali. Silakan masuk dan duduk saja di sana sambil menunggu kakaknya. Saya eh, masih ada pekerjaan." Sulli mengangguk sopan lalu melenggang masuk ke dalam. Ia menahan pintu demi menunggu Kali mengikuti langkahnya, tetapi perempuan tersebut menggeleng. Sulli pun menyunggingkan senyum sopan lalu menutup pintu lobi.

Karena kesibukan, Sulli bahkan melupakan Kali sampai dia melihat perempuan itu duduk di sofa merah lobi Pyramid, ketika hendak menemui klien atas titah Andrew. Sulli bahkan tersentak kaget. Masih berada di sini juga?

Kali tersenyum saat melihatnya, lalu melambai, sementara Sulli bahkan sejenak lupa atas keharusannya bersikap ramah pada pengunjung. Bolehkah aku pura-pura tidak melihatnya dan kabur kembali ke lantai atas? harap Sulli. Benar-benar mulai menjengkelkan sekarang. Sulli melirik ke depan, sepertinya Ilham, security yang bertugas sekarang sama sekali mampu mengabaikan kehadiran perempuan tersebut. Sulli akhirnya tersenyum dan mengangguk, lalu berjalan menuju pintu depan. Kali kembali tersenyum (ini mencurigakan, menurut Sulli) lalu kembali menunduk menatap sepatunya. Lelaki tersebut menghela napas dan menghampiri Ilham.

"Pak Ilham, pengunjung itu masih ada di sini?" Segera saja asisten manajer itu mengeluarkan pertanyaan.

Ilham berdiri dengan sikap hormat dan melapor, "Iya, Pak. Katanya menunggu kakaknya. Saya kurang tahu maksud ceritanya jadi saya biarkan menunggu di lobi."

"Maksud cerita apa?"

"Iya, tadi Ibu itu sempat cerita, tapi saya nggak mudeng. Nyari kakaknya yang jadi manajer di sini apa gimana itu. Saya tawari buat ke kantornya pak Andrew saja, dia menolak."

Sulli menggeleng penat. "Dia bukan adiknya pak Andrew."

"Lho? Lalu adiknya siapa? Bu Lita?"

"Bukan juga. Bukan adikku juga," timpal Sulli demi melihat Ilham yang sepertinya hendak membuka mulut. "Intinya, saya nggak tahu siapa yang dia maksud. Selama nggak mengganggu pengunjung, biarkan saja lah dulu. Kakaknya yang mana aja dia nggak mau jawab kok."

Ilham kemudian mendekati Sulli dan berbisik, "Apa mungkin dia keluarganya pak Dewa ya, Pak?"

Sulli menatap ke arah Kali yang sepertinya memainkan sepatunya. "Entahlah. Saya juga nggak tahu. Jujur saja, dia mulai mengganggu ketenangan saya."

Ilham tiba-tiba cengengesan. "Lho, awas jatuh cinta lho, Pak."

"Ngawur!" sergah asisten manajer itu dengan segera. Matanya melotot ke arah Ilham yang segera mengkeret. Sulli memikirkan beberapa pertanyaan yang ingin diajukan kepada Kali, atau cara-cara yang cukup sopan untuk menyingkirkan perempuan itu, tapi ia urungkan. Pekerjaannya masih cukup banyak dan seorang Kali tidak berhak menambah pekerjaannya. Tidak berhak.

Ia pun melangkah menuju parkiran, di mana sopir kantor telah menunggu untuk mengantarnya.


Kamus

Piro : berapa

*Episode03*

Halo, Keliners!

Gimana pendapat kalian mengenai cerita Missing sejauh ini? Coba tulis di komen ya, jangan lupa senggol votenya :D

Betewe, aku menulis cerita ini terinspirasi oleh salah satu mall di Surabaya Barat. Bentuknya emang nggak pyramid, tapi secara tampilan dan target marketnya, emang untuk kaum jetset atau high class. Kaum seperti saya yang makan di mall nunggu gajian mungkin malu masuk situ, persis kayak Kali. Soalnya aku akhir-akhir ini rada ngawur kalo pake baju keluar. Saking udah biasa dengan pandemi selama dua tahun, jadi OOTD ku kalau keluar ya outer yang udah buluk, masker, celana/rok panjang, jilbab instan. Dah. Makanya kalau sekarang masuk mall yang jadi inspirasiku menulis ini, pasti bajuku sungkem sama baju yang digantung di sana he he he 

Coba absen dong, di kota kalian, kalian suka berkunjung ke mall apa dan apa yang bikin kalian suka ke situ?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro