Episode 2 Nama saya Sulli
Menjadi anak dari keluarga terpandang, jelas tidak membuat sang asisten manajer bisa begitu saja menduduki jabatan tertinggi dalam perusahaan yang menaungi Pyramid. Tangannya sibuk merapikan rambut, sekaligus menyematkan tag nama barunya setelah setahun bekerja di mall mewah itu. Baiklah, asisten manajer tidak buruk juga. Mungkin perlu beberapa tahun untuk bisa menggantikan Andrew, yang sepertinya senang sekali menyuruhnya menangani pekerjaan sulit. Mentang-mentang dialah manajernya. Di atas tag nama yang mengkilap itu tercetak nama yang cukup unik : Sulli, berukuran besar. Kemudian di bawahnya tertera jabatannya dengan tulisan yang lebih kecil : Junior Assistant Manager. Untunglah bukan nama lengkapnya yang berada di lempeng besi itu. Dia mendesah. Nama panggilannya saja cukup menjadi olok-olok waktu kecil. Tidak ada cowok jantan yang bernama Sulli, kenangnya getir. Dia terkadang ingin menyumpahi orang tuanya yang memberinya nama teraneh : Sullivan Dirgantara, lalu memanggilnya Sulli, bukan Ivan layaknya nama cowok pada umumnya. Tapi ia takut durhaka.
Sulli melangkah keluar dari ruangannya, yang juga ruangan rekannya yang lain, Lita. Well, ya, gadis itu kini menjabat Senior Assistant Manager setelah enam tahun bekerja, dan tiga tahun menjadi Junior. Mungkin saja jika keberuntungan menyertai Sulli, dia bisa menyamai rekor Lita. Setelah menuruni lantai demi lantai menggunakan lift, akhirnya ia sampai di lobi The Pyramid. Tapi ia tak menemukan perempuan aneh seperti yang dilaporkan Rizky, security di lantai atas. Lelaki itu menghela napas. Semoga saja tidak ada kejadian aneh-aneh selama ia menjabat sebagai asisten manajer di sini. Ia masih ingin menjaga reputasinya.
Celingukan, ia masih mencari keberadaan sosok perempuan ketika matanya tertumbuk pada pemandangan di teras. Tio, security depan sedang mengobrol—lebih tepatnya, mendengarkan omongan—dengan perempuan berbaju hijau aneh dengan motif bunga-bunga berwarna kuning besar. Itu sih teras bukan lobi, pikirnya saat ia melangkah keluar dan membuka pintu kaca.
"... aku sudah lama ndak ketemu dia, makanya penasaran sekarang rupanya seperti apa. Tapi aku ndak mau masuk lha wong pakaianku kayak gini, coba tadi sempat ganti baju, tak samperin(1) aja ke ruangannya." Suara perempuan itu medok dan nyaring. Mana mungkin sih Pak Andrew punya adik model begini, beliau kan ... lamunan Sulli terputus saat akhirnya Tio memanggil namanya.
"Pak, ini Pak, orangnya."
Sulli memberikan senyum terbaiknya. "Selamat malam, Ibu Kaliyana. Ada yang bisa saya bantu?"
"Kali, panggil Kali saja biar ringkas. Jangan panggil Ibu, aku belum jadi ibu. Anakku belum lahir." Segera saja Kali memukas. Sulli kembali memasang senyum sopan.
"Nama saya Sulli, saya asisten manajer di sini." Junior, tambahnya dalam hati. Tapi biarlah, ia menyebutkan begitu biar terdengar lebih berkelas daripada posisinya yang lama.
"Sali?" Kening Kali berkerut. Ia kemudian menunjuk tag nama Sulli. "Oh, Sul-li. Sali kayak nama cewek aja, Mas."
"Sulli. Sullivan (baca sa-li-van)." Sulli berusaha menyunggingkan senyum. Semoga perdebatan tentang namanya berakhir sampai di sini.
"Salifen? Salven? Alah, angele. Wes Sulli ae, wong tulisane Sulli kok.(2)" Kali mengibaskan tangannya. Punggungnya mulai pegal-pegal, karena perjalanan jauh, dan duduk di kursi security tidak membuatnya nyaman sama sekali.
Sulli membiarkan saja Kali menyebutnya sembarangan. Dia hanya ingin masalah cepat selesai. "Baiklah, Ibu Kali. Pak Andrew sedang berada di ruangan, jika Ibu berkenan menemuinya di sana, tentu lebih nyaman untuk eh, punggung Ibu."
Kali menggeleng cepat. "Pak Endru sopo (3)? Aku nggak pengen ketemu pak Endru. Aku pengen ketemu Mas Yono."
Sulli dan Tio berpandangan. Segera saja, tangan Sulli menarik Tio mendekat dan berbisik, "Katamu adiknya pak Andrew. Kok dia malah nyari Mas Yono? Mas Yono ini siapa?"
Tio mengangkat bahu. "Dia bilangnya mau ketemu Mas Yono, kakaknya. Kerja di Pyramid sebagai manajer, saya kira mungkin namanya pak Andrew Suyono begitu."
Erangan kecil terdengar dari bibir Sulli. Astaga ini namanya salah paham. Miskomunikasi. Sulli kembali menghampiri Kali. "Begini, Ibu. Mungkin ada kesalahpahaman di sini. Manajer kami, bernama Andrew Wirawan. Beliau setahu saya anak tunggal, jadi sangat tidak mungkin memiliki ... adik. Bisa Ibu Kali perjelas siapa pak Yono ini, sehingga saya bisa membantu menyelesaikan masalah Ibu?"
Kali berdecak kesal. Sudah satu jam lebih ia menunggu, mengapa orang-orang sialan ini tidak segera memanggil kakaknya? Apa kakaknya begitu menakutkan di sini, atau mereka ini orang yang ingin menyalahgunakan jabatan? Kalau opsi yang terakhir, Kali akan mengadu pada kakaknya, agar orang-orang ini dipecat saja.
Dia sudah melewatkan Maghrib begitu saja di jalan, saat perjalanan dari stasiun Pasar Turi ke mall ini. Sekarang sudah Isya, dan ia belum bertemu kakaknya sama sekali. "Begini, Mas atau Pak Sulli. Saya harus ketemu kakak saya sekarang. Saya dari luar kota, jauh dan capek sekali." Tangannya secara instingtif mengelus perutnya. "Saya belum mandi, ganti baju dan makan dengan layak. Saya pengen ketemu kakak saya dulu, baru kemudian ... kemudian, tinggal bersama dia sementara waktu."
Semoga penjelasannya tadi mudah dipahami, Kali berharap. Sulli tersentak, melihat tangan kurus itu membelai perut yang membuncit. Wow, mengapa dia tidak meminta suaminya menemaninya? Dan bagaimana mungkin ia sanggup menahan lapar begitu lama ketika ia sedang hamil.
"Masalahnya begini, Bu. Saya kurang yakin jika mas Yono atau pak Yono yang Ibu maksud adalah manajer di sini. Mungkin dia bekerja di bidang lain. Ibu bisa telepon beliau untuk memperjelas, atau nama lengkapnya. Saya akan sebisa mungkin membantu." Sulli sudah mulai pegal. Jam kerjanya harusnya sudah berakhir pukul lima sore, tapi ia tidak bisa meninggalkan Kali begitu saja. Andrew pasti tidak akan mau menghadapi masalah kroco-kroco begini.
Kali kemudian mengaduk tas yang ia cangklong di lengan kirinya. "Aku mau aja nelpon, tapi embuh (5) ini hapenya pada kemana. Aku mau bongkar-bongkar tas kok ya sawangane (6)."
"Begini saja, ibu bilang belum makan, kan? Silakan Ibu masuk ke dalam, membeli makanan di restoran kami, sementara kami akan mencarikan di database, karyawan bernama Yono."
Kali memandang ke dalam pintu kaca dan buru-buru menggeleng. "Endak-endak. Aku mau makan ndek sini kalo sama Mas Yono. Nek orangnya ndak ada, yo ndak enak(7)."
Sulli tersenyum kecut. Ah, rupanya Kali ini tidak punya uang. "Nggak papa, Bu Kali. Masuk saja, nanti biar bill-nya saya bayar."
Kali tampaknya tersinggung. "Aku bukane ndak nduwe duwet (8), Mas Sulli." Tangannya membuka tas cokelat besar yang terletak di dekat kursi, lalu mengeluarkan segepok uang berwarna merah. Di dalam tas tersebut terlihat masih ada beberapa tumpukan uang yang tak beraturan. "Aku cuma mau makan ndek sini sama Masku. Yawes, nek orangnya ndak ada. Aku tak balik aja dulu. Tak telepone dulu, sesok bekne bisa ketemu.(9)"
Omelan Kali membuat lelaki itu tak enak hati. Kali dengan gusar memasukkan kembali uang tersebut secara serampangan lalu menutup resleting tasnya. Kemudian dia pamit pada Tio dan tersenyum masam pada Sulli. Asisten manajer itu mendesah. Hatinya dicengkeram perasaan bersalah.
"Bu Kali, tunggu sebentar. Biar saya antar ke rumah. Saya mohon maaf jika perkataan saya menyinggung Bu Kali." Sulli mengangguk segan ke arah perempuan yang kini sedang susah payah menenteng tas berat itu.
"Iya, iya saya maafkan. Saya orangnya ndak pendendam. Tolong panggilin taksi aja, saya ribet kalo mau naik ojek harus pake aplikasi-aplikasi itu." Omelan Kali terdengar lebih keras. Sulli mendesah lalu mengangguk ke arah Tio. Tio kemudian menuju mejanya dan menelepon taxi yang mangkal di halaman Pyramid.
"Biar tasnya ditaruh dulu, Bu Kali. Taksinya akan datang dalam lima menit." Tio mempersilakan Kali duduk di kursinya lagi. Kali mendengkus, lalu duduk perlahan di kursi setelah memegangi perutnya. Sulli sempat meringis melihat adegan tersebut, karena membayangkan betapa ribetnya ibu hamil melakukan perjalanan sendirian, tanpa ditemani suami maupun walinya. Mengapa ia bepergian sendirian? Apalagi membawa uang kas sebanyak itu. Bagaimana nanti jika perempuan yang tampak lugu itu dirampok?
Pertanyaan demi pertanyaan berseliweran di benak Sulli, hingga taxi datang lebih cepat dari perkiraan Tio. Security tersebut sigap membantu Kali memasukkan tasnya ke dalam jok belakang, lalu membantu perempuan itu masuk. Sulli tersenyum dan menunduk penuh hormat ketika pintu taxi ditutup.
Ketika sopir menggerakkan roda mobil menjauhi pelataran Pyramid, Sulli mengembuskan napas lega. Satu masalah selesai, cek. Ia bisa pulang sekarang dan berendam dalam bathtub untuk mengenyahkan kepenatannya.
Kamus
1 Kuhampiri, kusamperin
2 sulitnya
3 Sudah Sulli saja, tulisannya kan Sulli.
4 Siapa?
5 Embuh : entah
6 Sawangane : kelihatannya. Sebuah ungkapan yang bermakna tidak semestinya.
7 Endak : tidak, nggak. Ndek : di
8 Aku bukannya nggak punya uang
9 Kutelepon dulu, siapa tahu besok bisa ketemu
*Episode 2*
Ada yang udah jengkel sama Kali? Pengen jitak kepalanya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro