
O1: Max Havelaar
KANTIN bagian Barat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ramai bukan main pada jam makan siang, sebagaimana biasanya. Orang-orang hilir mudik, sesekali saling bersinggungan bahu. Mahasiswa dan dosen; laki-laki dan perempuan; mahasiswa baru dan tingkat akhir; seluruhnya berbaur dalam satu udara yang sama, berbagi pengap yang sama dan sesekali tercium asap rokok yang mengudara tanpa permisi. Tak terkecuali Yudan yang masih menyelempangkan ransel di sebelah bahunya, dengan satu buku Politik Kriminal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah usang di tangan kanannya, hasil berpindah-pindah tangan dari sang pemilik asli.
Ia cermat-cermat mencari celah sambil sesekali mengipas-ngipaskan wajahnya dengan tangan maupun buku di genggamannya. Rambutnya yang kecokelatan tebal setengkuk sesekali ia sugar, matanya yang tajam tanpa lipatan kelopak itu terus mengedar, siapa tahu menemukan jalur yang bisa ia serobot.
Setelah bergelut panjang dengan keramaian, langkah Yudan tiba juga pada penghujung kantin, pada warung fotokopi dan alat tulis kantor milik seorang pria 60-an yang akrab dipanggil Abah. Warung yang sepi itu jadi napas lega bagi Yudan, terlebih kala Abah menyambut kedatangannya dengan sapaan ramah, "Balikin buku, Mas?"
Cengir Yudan mengembang. Tangannya refleks meraih etalase kaca tempat Abah meletakkan dagangannya, selagi matanya mengedar pada rak buku kecil yang menggantung di sisi kiri warung. Bibirnya mengerucut kala matanya tak menemukan apa yang dicarinya. "Bah, minggu lalu perasaan ada buku Max Havelaar. Ada yang lagi pinjem, ya?"
Abah yang tengah sibuk merapikan fotokopian modul milik mahasiswa, seketika pindah fokus ke tempat di mana buku itu biasanya berada. Pria itu memicing, lalu berusaha mengingat-ingat dengan mata terpejam. "Oh, iya, ada sama si Anya, Mas."
"Anya?" Yudan asing dengan namanya. Bahkan, asing dengan kabar bahwa ada lagi mahasiswa lain yang suka meminjam buku pada Abah. "Mahasiswa FISIP, Bah?"
Anggukan Abah jadi validasi atas pertanyaan Yudan. "Anak HI, Mas Dan. Kalau buru-buru mau pinjem, bilang sama Anya aja, ya. Soalnya Abah teh belum tau kapan Anya bakal balikin bukunya."
Hening, Yudan tak memberi respons apa pun. Dalam benaknya, langsung muncul jajaran nama mahasiswa Hubungan Internasional yang dikenalnya. Memang tidak ada nama Anya, namun satu nama langsung terbesit di dalam benaknya untuk ia jadikan narasumber. "Ya udah, Bah, makasih ya. Ini buku yang kemarin saya balikin. Nanti saya yang tanya sama si Anya-Anya itu. Saya duluan ya, Bah," pungkasnya.
Tangan Abah melambai sekilas, menyambut kepergian Yudan dari warung fotokopinya. Sementara Yudan, melangkah dengan cepat, kembali tercebur dalam lautan manusia yang saling berteriak dengan para penjual maupun tawa riang di tengah makan siang para civitas academica.
"Yudan!"
Kepala Yudan sontak menoleh ke sumber suara, mendapati sahabatnya, Jiwa, si calon narasumber yang tadi sempat terlintas di benaknya. Senyumnya mengembang lebar, bersyukur sebab kelihatannya Tuhan akan melancarkan wawancaranya pendeknya dengan Jiwa. Yudan langsung bergabung pada meja yang ditempati Jiwa dan satu temannya lagi, Hansel. "Udah lama kalian?" tanya Yudan sambil bertukar tinju dengan keduanya secara bergantian. "Gue habis ke Abah. Baru aja mau nanya lo pada di mana."
Hansel mengangguk-angguk pelan. "Udah pesen makan?"
"Masih kenyang kebetulan," balas Yudan. "Gue tadi baru makan sekitar jam sepuluh. Nanti aja lah, gampang."
"Terus habis ini ada kelas, Dan?" Jiwa, si rambut legam tipis dengan mata bulat bak pingpong itu turut bergabung dalam obrolan sambil menyesap es teh manisnya yang tersisa setengah gelas bahkan sebelum ia mulai makan. Yudan sudah maklum. Laki-laki satu itu memang banyak minum dan gampang gerah, sampai-sampai harus memesan dua es teh untuk menemani seporsi makan. "Gue sama Hansel nggak ada kebetulan. Mau nyari buku ke Gramedia, ikut yuk."
Satu-satunya cowok pirang dengan potongan pendek di meja itu, Hansel, mengangguk mengiakan. "Iya, Dan. Cuma elo nih yang hafal tiap sudut Gramedia, biar gampang nyarinya, biar cepet juga," sahutnya sambil meninju lengan Yudan penuh canda. "Yoi nggak, Ji?"
"Yoi!" Jiwa mengangkat alis dengan cengir lebar.
Sudah rahasia umum—setidaknya di antara tiga serangkai ini—bahwa Yudan adalah satu-satunya kutu buku di sini. Kegemarannya pada sejarah apalagi. Ia tak sedikit membaca buku-buku sejarah yang bahkan belum pernah Jiwa dan Hansel temui judulnya pada jajaran rak perpustakaan mana pun. Ia mengoleksi koran-koran lama tahun 60 hingga 70-an, buku-buku dengan ejaan lama, hingga mengabadikan mesin tik milik kakeknya dari tahun 1972. Dan, itulah keunikan yang selalu membuat Jiwa dan Hansel bertanya-tanya mengapa si penyuka sejarah ini justru masuk prodi Kriminologi ketimbang Sejarah.
"Yah, mendadak," tukas Yudan. "Gue jam dua ada pertemuan sama anak-anak BEMF, mau evaluasi buat PKKMB kemarin, terus kayaknya sekalian bahas demise sih. Next time, deh, gue temenin."
Bola mata Jiwa dan Hansel saling bersobok. Mereka tahu ini adalah jawaban yang lazim meluncur dari mulut Yudan ketika keduanya mengajak keluar. Menjabat sebagai ketua departemen bidang akademik pada Badan Eksekutif Mahasiswa membuatnya hampir tidak memiliki waktu luang. Belum lagi, ia juga menjabat sebagai koordinator wilayah Jabodetabek pada aliansi BEM Seluruh Indonesia, membuatnya sibuk bukan main.
"Biasa deh, pejabat sibuk," senggol Hansel dengan iringan tawa tipis-tipis, yang ditimpali gelak tawa lebih lugas oleh Jiwa. "Ya udah, kapan-kapan. Tapi gue nggak mau, ya, kalau ngajaknya keliling Blok M sama Kwitang."
Yudan terkekeh. Lagi-lagi sudah rahasia umum bahwa Yudan sering bertualang di sekitar Kwitang, Senen, sampai Blok M untuk sekadar mencari bacaan-bacaan baru, memboyong buku-buku bekas yang menurutnya menarik.
"Jiwa, nih titipan lo!"
Kekehan tiga serangkai itu seketika terputus. Sekepal tangan yang tidak Yudan kenal melabuh tak jauh dari sikunya, sementara sebelah tangannya lagi menyodorkan gulungan modul yang sepertinya baru dijilid. Sontak Yudan menilik kepal tangannya, mengamati secara cermat sambil kepalanya bergerak naik dan berhenti pada mata cokelatnya yang jernih, tengah membulat di antara rambut hitamnya yang menjuntai hingga punggung. Bibir kecilnya yang terpoles lipcream merah muda itu membentuk kurva.
"Wih, udah selesai? Jadi berapa ini, Nya?" Jiwa menerimanya dengan ramah. Tangannya langsung menelusup ke saku celana, mencari lembaran uang untuk mengganti talangan teman seangkatannya itu. "Ada kembalian, nggak?"
"Ih, gede banget uang lo." Gadis itu berdecak. "Ya udah, nanti aja deh gampang. Gue nggak ada kembalian kalau sekarang."
"Ya udah. Ingetin deh nanti." Jiwa menarik kembali tangannya, memulangkan uangnya pada saku. "Makasih ya, Anya. Habis ini kelas di mana? Biar gue samper, deh, setelah makan siang kan pasti ada kembalian."
Mata Yudan sekejap membulat pada Jiwa ketika nama itu disebut. Anya. Barangkali, ini perempuan yang tadi Abah sebut-sebut? Harusnya sih, iya. Lagi pula, memangnya ada berapa banyak Anya di prodi Hubungan Internasional?
"Gue habis ini rapat HIMA. Nanti deh, gampang. Gue duluan ya, Ji, udah ditungguin," pungkas Anya sembari melambai pada Jiwa. Badannya berbalik, punggungnya menjauh dan hilang di balik lautan manusia.
Detik berikutnya, seorang pelayan tiba, menyajikan pesanan Jiwa dan Hansel berbarengan. Sementara dua sahabatnya itu sudah mulai siap menyantap makan siang, mata Yudan masih diam-diam mengekori sosok Anya yang kian menjauh. Entah magnet seperti apa yang dimiliki gadis itu sampai mata Yudan tak berpaling barang sedikit. Aroma manis dari parfumnya masih menguar di hidungnya, terkunci dan tak hilang.
"Dan, lo beneran nggak makan?" Hansel memetik jari, mengusir lamunan Yudan. "Mau rapat bukannya? Nanti kelaperan, lo kan lama kalau rapat."
"Oh iya, rapat!" ketimbang menjawab pertanyaan, justru pekikan itu yang keluar dari mulut Yudan bersama dengan dahinya yang ia tepuk sendiri. Tergesa-gesa ia mengenakan kembali tasnya, beranjak dari kursi untuk menepuk punggung temannya dan pamit, "Gue cabut duluan, ya. Takut terlambat ke sekret!"
"Iy—yah, anjir, buru-buru banget."
Yudan sudah keburu berlari dan menyeruak di antara barisan mahasiswa yang tak beraturan. Langkahnya membawa keluar dari kantin, bukan menuju sekretariat BEM Fakultas, melainkan ke arah prodi Hubungan Internasional.
Perempuan tadi masih berjalan dengan lambat di koridor yang kosong, bersama ponsel yang terus-menerus ia tekuri. Kesempatan besar bagi Yudan untuk mempercepat langkah hingga sejajar, lalu menyapa, "Halo, sori tiba-tiba. Lo ... Anya, ya? Anak HI?"
Mata Anya membulat. Tubuhnya sontak mengambil jarak dari si asing yang tiba-tiba berada di sisinya. Gadis itu waswas pada mulanya. Ia menilik sekujur tubuh Yudan, dengan singkat langsung ingat laki-laki yang tadi duduk satu meja dengan Jiwa. "Lo temennya Jiwa yang tadi?"
Bibir Yudan melengkung dalam hitungan detik. Ia mengangguk antusias sambil mengulurkan tangannya. "Oh iya, Yudan," tuturnya. "Kriminologi 2016. Temen deketnya Jiwa."
Cengiran canggung mengembang di wajah Anya, sekilas menerbitkan deretan giginya. Gadis itu menjabat tangan Yudan penuh ragu. "Anya, Hubungan Internasional. Temen Jiwa tapi nggak deket-deket amat," balasnya. "Ada perlu apa sama gue ya, Yudan?"
"Ah, itu ...," gumam Yudan sambil menggerayangi tengkuknya. Gugup tahu-tahu mendera kala matanya bersobok dengan milik Anya yang bulat dan cokelat, jernih pula. "Lo udah selesai baca Max Havelaar?"
Anya mengernyit. Berpikir panjang dalam senyap. Ia bahkan tak tahu kenapa wajah asing ini tahu-tahu muncul di depan matanya dan mempertanyakan buku yang sedang dibacanya tersebut. "Max Hav—lo tau dari mana gue lagi baca Max Havelaar?"
"Abah."
Mata Anya semakin membulat, begitu pula bibirnya yang kecil. "Oh, iya. Gue pinjem ke Abah. Baru dua hari, jadi belum selesai baca. Baru juga sepuluh halaman. Kenapa?"
Bibir Yudan mengerucut dengan instan. Kekecewaan lekas mengerubung segenap hati. Badannya yang tegap seketika melemas. Binar di dalam matanya lenyap samar-samar. "Yah ... ya udah deh. Nanti kalau lo udah selesai aja. Gue juga mau baca buku itu soalnya. Makasih ya, Anya ... gue cabut dulu, mau ke sekret."
Yudan melenggang pergi setelah melambaikan tangannya. Ia berlari kecil ke arah berlawanan, hendak kembali keluar dari gedung fakultas, tetapi, suara lembut itu menyentak derapnya untuk terhenti; membekukan badannya yang semula begitu luwes melangkah. "Eh, Yudan! Lo aja yang baca duluan, deh. Gue masih sibuk, jadi pasti bakalan lama."
Laki-laki berambut tebal itu balik badan, melihat tangan Anya sudah terulur padanya bersama buku dengan dominan sampul kemerahan. "Nanti kalau udah selesai, temuin gue lagi aja. Gue juga mau baca soalnya."
"Wih, siap!" seru Yudan penuh semangat. "Makasih, Anya!"
Anya baru saja mengangguk kala laki-laki itu kembali melambai untuk segera pergi dengan senyum mengembang bagai bunga-bunga. Tanpa Anya tahu, senyum itu bertahan hingga belasan langkah berikutnya. Tanpa Anya tahu, ia telah menarik perhatian Yudan pada interaksi singkat itu. Tanpa Anya tahu lagi, Yudan akan pastikan segera menemuinya lagi. Segera.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro