Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 • latihan di teater

ʜᴀᴘᴘʏ ʀᴇᴀᴅɪɴɢ !

• /// •

Sepertinya organisasi aneh itu benar-benar melindungi murid baru. Alex berpikir kalau Reza dan anggota Departemen Keamanan Sekolah itu tidak main-main membentuk organisasi dan bisa dipastikan mereka akan mengurus siapa yang meneror Cassandra dengan kartu hitam jelek itu. Walaupun masih shock dengan kejadian di loker, Alex mulai tenang menyadari ia dapat perlindungan dari sekolah. Setidaknya tidak seperti sekolah lamanya yang suka membiarkan penindasan pada murid lemah.

Daripada itu, Alex sedikit terkesan dengan seorang gadis bernama Alanna yang menolongnya dari Jackson. Sayangnya mereka tidak sekelas.

Setelah bel istirahat berbunyi, Alex yang tadinya berniat ke kantin bersama Cassandra mempercepat langkah ke toilet. Membiarkan Cassandra terlebih dulu ke kantin demi menuntaskan panggilan alamnya. Alex duduk di jamban dengan pandangan lurus ke pintu. Seketika dia berdecak. Ada banyak coretan di sana yang memuat berbagai macam nama serta kutipan-kutipan absurd. 

RAFI GIGOLO

GENG TEMPE KOCAK (TEMAN PENOLONG)

SEKOLAH INI RUSAK!

YANG PAKE TOILET INI KAYAK B*BI

PAK KEVIN TUKANG DONGENG

HATI-HATI ADA GENDERUWO

Ada pula gambar-gambar di sana, seperti gambar wajah yang dibuat seadanya, gambar tak senonoh, gambar jari tengah dan coretan-coretan lain yang tak kalah gilanya.

Parah banget.

Alex tahu di setiap sekolah pasti ada orang usil yang suka mencoret-coret dinding atau meja sekolah, tapi di toilet ini—Alex tak habis pikir. Segabut itu kah mereka sampai mencoret pintu toilet? Kenapa pula bagian toilet ini tidak di perbarui saja dengan cat? Karena tulisan-tulisan itu sangat merusak pemandangan. Sepertinya, sekolah lebih sibuk menemukan siapa C dibanding merenovasi sekolah mereka.

Sedang asyiknya membaca coretan-coretan, Alex terperangah menyadari ada sepasang sepatu yang berdiri tepat di depan pintu. Alex dapat melihat sepatu itu mengarah ke arahnya lewat celah yang ada di bawah.

"Ekhem." Alex sengaja mengeraskan suara, berupaya memberitahu kalau di dalamnya ada orang. Tapi, pemilik sepatu itu masih di sana. Satu menit berlangsung pun, dia tak juga pergi.

Sial.

Karena merasa tidak nyaman, Alex pun menyudahi buang airnya dan menekan tuas. Cepat-cepat berdiri, mengancing celana. Sebelum membuka pintu, ia sudah memantapkan hati jika seandainya orang di depan toilet ini adalah Jackson. Alex takkan meladeninya dan langsung keluar toilet, mencari Reza atau anggota DKS agar ia aman dari sasaran bullying. Ya, itu yang akan ia lakukan nanti.

Seiring dengan helaan napas panjang, Alex pun memutar handle pintu hingga perlahan terbuka semakin lebar.

Namun tak ada siapa pun di sana.

Suasana toilet sepi. Tak ada orang di urinoar ataupun wastafel. Pintu bilik lainnya juga terbuka lebar, tak ada yang menggunakan toilet selain dirinya.

Ini nggak lucu. Alex bergumam ketika bulu remangnya berdiri mengingat kematian siswa yang menggelar pesta terlarang itu, jadi dia cepat-cepat keluar sebelum menghadapi peristiwa mistis lainnya. Langkahnya dipercepat seperti dikejar dan—Alex terpelonjak saat hampir bertabrakan dengan Alanna yang muncul di selasar tembok—ikut terkejut karena kepalanya hampir menubruk dada Alex.

"Alex," tegur Alanna.

Alex menetralkan napasnya yang terengah.

"Lo kenapa?" tanya gadis itu lagi.

Alex menggeleng. Meski tampak jelas wajahnya memucat, tapi ia tak ingin mengatakan kejadian tadi pada Alanna.

"Lo nggak lagi diganggu Jackson 'kan?"

"Ng—nggak kok," jawab Alex. Bagaimanapun juga, ia tak tahu kalau pemilik sepatu tadi adalah Jackson atau bukan—atau barangkali saja ia salah lihat.

Alanna mengembuskan napas lega. "Kalau orang di loker tadi gangguin lo, jangan sungkan lapor itu ke OSIS. Di sini orang-orang cuma segan sama Reza doang."

Alex tak tahu harus menanggapinya seperti apa, jadi ia hanya tersenyum.

"Lo kelihatan pucat tuh, belum sarapan?"

"Udah," jawab Alex lagi. Kali ini Alex tak bohong kalau dia sudah sarapan dari rumahnya tadi. Hal yang menyebabkannya harus ke toilet beberapa menit yang lalu.

"Lo sakit?" tanya Alanna lagi, memastikan.

Alex menggeleng.

Alanna kelihatan ingin mencecar pertanyaan lagi karena belum mendapat penyebab Alex memucat, tapi karena merasa Alex tidak nyaman, gadis itu hanya menggaruk kepala.

"Sori kalau gue banyak tanya, tapi kalau lo merasa nggak enak lo bisa ke UKS. Di sana banyak obat-obatan."

Alex tersenyum. "Makasih, Alanna. Tapi aku nggak apa-apa."

"Baguslah kalau gitu," ucap Alanna.

Sejenak terdiam, Alex refleks memutar kepala ke samping kanan setelah mendengar bunyi belira dimainkan dalam gedung.

"Itu gedung teater. Kalau mau masuk ke dalam buat lihat-lihat boleh kok." Alanna berujar membuat Alex cepat menatapnya.

"Emang—boleh?"

"Boleh. Yuk." Alanna berjalan mendahului sambil tersenyum, memasuki gedung itu.

Sebelum memutuskan ikut, Alex mengamati sekitarnya dengan was-was. Sejujurnya Alex masih penasaran dengan pemilik sepatu yang menghantuinya di toilet tadi, tapi karena tak mau terlalu larut memikirkannya, dia pun mengikuti Alanna memasuki gedung teater.

Gedung ini mungkin satu-satunya yang paling besar di SMA Selatan Baru, sepenglihatan Alex. Bagian panggung lebih besar daripada kursi penonton yang acak. Beberapa alat musik berserakan di depan panggung seperti belira, suling dan gitar serta kertas-kertas chord dan properti lainnya. 

"Bentar lagi bakal ada pementasan opera. Karena latihan dibatasin sampe jam empat sore, jadi kita curi waktu buat diskusi jam istirahat ini," ucap Alanna ketika memasuki gedung.

"Hey, Alex!"

Alex menoleh mendengar sapaan Sonia yang mengacungkan beberapa kertas dengan gembira. Ternyata gadis itu juga bagian dari club teater. Alex tersenyum dan mengangkat tangan sekilas, balas menyapa.

"Rekrut anggota baru lagi, Na?" tanya Sonia.

"Menurut lo gimana?" Alanna bertanya menunjuk Alex membuatnya bingung.

"Not bad. Alex bakal cocok gantiin Jay." Setelah Sonia bilang begitu, beberapa orang mengangguk-angguk.

"Huh?" tanya Alex, menatap Alanna.

Alanna terkekeh. "Lex, mau nggak join club opera?"

"Aku?" tanya Alex lagi, memastikan.

Alanna mengangguk. "Jay, pacar gue harusnya jadi pemeran utama. Tapi keadaannya nggak memungkinkan karena dia masih dirawat. Beberapa orang yang masuk club opera juga jadi korban kebakaran kemarin dan masih di rumah sakit. Pemainnya tinggal sedikit."

Alex terbata, tidak tahu harus menjawab apa.

"Alanna udah ngajak yang lain, tapi mereka mundur karena nggak percaya diri sama akting mereka. Di saat musibah sekolah begini, opera tuh jadi harapan biar bisa menghibur sekolah. Mau ya, Lex?" Kali ini Sonia yang bersuara, berupaya membujuk Alex.

"Ta—tapi aku nggak bisa akting," jawab Alex pada akhirnya.

Alanna mengembuskan napas panjang. "Yah, sayang banget ya. Padahal kepribadian lo lumayan cocok sama karakter yang bakal diperanin."

Sejujurnya Alex merasa tidak enak hati menolak tawaran Alanna. Berkecimpung dalam dunia akting sama sekali bukan ranahnya, membayangkannya saja Alex geli sendiri. Apa lagi ini opera, tak hanya akting tapi juga bernyanyi. Tapi kalau ditanya ingin, Alex juga ingin berada dalam suatu organisasi—agar bisa mendapat banyak teman di sekolah yang memandangnya aneh ini.

"Tapi—" Alex menjeda membuat raut Alanna yang tadinya lesu, terangkat ceria. "Aku mau latihan kalau—kalian mau ngajarin."

"Serius?" tanya Alanna.

Alex mengangguk kikuk.

"Wow! Oke. Pulang sekolah kita bakal latihan. Gimana?" Alanna jadi bersemangat, sama dengan Sonia dan beberapa orang lain.

"Cobain latihan sekali aja, Lex. Kalau udah mantap, nama lo bakal gue tambahin ke pemain," ucap Sonia.

Alex takkan bohong kalau bilang ini adalah pertama kalinya ia mendapatkan dorongan dari teman-teman di sekolah. Maklum, sekolah sebelumnya suka merundungnya dan mengata-ngatainya nerd hanya karena terlalu patuh dan berpenampilan rapi di sekolah. Jadi Alex mengangguk, menyetujui latihan pulang sekolah nanti.

• /// •

"Lo gabung ekskul opera itu?" tanya Cassandra, pulang sekolah.

Alex mengangguk. "Kamu nggak tertarik join?"

Cassandra menggeleng. "Gue nggak bisa akting."

"Aku juga," jawab Alex. "Tapi aku mau latihan."

Cassandra tak merespons.

"Aku cuma—pengen punya banyak teman. Setelah dihubungkan sama abjad C itu, aku merasa orang-orang anggap kita aneh. Aku nggak mau dianggap kayak gitu lagi, kayak sekolah lama aku. Makanya aku mau ngelakuin sesuatu biar nggak dipandang sebagai sekte sesat itu."

"Dengan cara gabung ekskul lo pikir lo bisa punya teman?" tanya Cassandra. "Gue inget tiga hari yang lalu Sonia ngajak gue keliling sekolah, ternyata dia sengaja kenalan buat ngawasin kita doang. Hal yang sama bisa berlaku ke lo, Alex. Lo sadar kan sekolah ini tuh aneh banget?"

Alex mengernyit.

"Gue lihat lo tadi sama Alanna, anak kelas sebelah. Gue tahu dia kelihatan baik, tapi bisa aja dia bagian Departemen Keamanan Sekolah yang punya misi lain lagi. Lo harus hati-hati."

Entah kenapa Alex tidak suka mendengar perkataan Cassandra barusan seolah semua orang di sekolah ini harus diwaspadai, padahal Cassandra belum mengenal mereka dengan baik.

"Cassie, aku minta maaf kalau tadi udah nyinggung soal peneror kartu pagi tadi. Aku nggak bermaksud bikin kamu kepikiran, oke? Dan kayaknya kamu harus kenalan sama lebih banyak orang lagi untuk tahu mereka itu baik atau nggak."

Cassandra terperangah mendengar Alex mulai menceramahinya. Bisa-bisanya lelaki itu memberi petuah seakan-akan sudah mengenal semua orang di sekolah ini.

Alex menambahkan, "Kalau kamu masih curiga sama Sonia dan Departemen Keamanan Sekolah, sebaiknya buang jauh-jauh pemikiran kamu. Organisasi itu bisa dipercaya, Cassie. Kalau bukan mereka, kita berdua pasti bakal jadi bulan-bulanan di sekolah ini."

"Hah, oke. Terserah!" seru Cassandra, lalu melengos meninggalkan Alex yang masih ingin melanjutkan.

"Cassie!" panggil Alex. Gadis yang dipanggil tak menoleh dan tak berapa lama kemudian, menghilang dari pandangannya.

Alex mendengkus. Padahal ia tak bermaksud membuat gadis itu kesal sama sekali dan hey, harusnya Alex yang kesal di sini kenapa jadi gadis itu yang ngambek?

"Alex!" tegur Alanna di kejauhan. Alex menoleh ke arahnya dan menghampiri ketika diberi isyarat mendekat.

Tentu saja Alex tidak lupa kalau hari ini dia harus latihan. Tak benar-benar latihan juga sih soalnya ini bukan jadwal latihan opera, melainkan ini hanya latihan pribadi Alex. Dan Alanna yang akan menjadi tutornya.

Mereka bilang selama pementasan opera di awal dan akhir tahun, hanya Jay yang cocok dipasangkan dengan Alanna. Sayangnya lelaki itu tidak bisa ikut pementasan kali ini. Jangankan pementasan, tournament basket pun ia tidak bisa karena Jay termasuk korban kebakaran dengan luka berat di insiden kemarin.

"Jay itu—gimana kabarnya?" tanya Alex, berusaha memulai obrolan karena tak mau canggung.

"Dia udah baikan kok. Murid-murid korban kebakaran kemarin banyak yang udah keluar rumah sakit."

Alex terdiam, sekarang tak tahu harus menanggapi bagaimana.

"Kalau Jay udah masuk sekolah, lo harus kenalan sama Jay. Kalian berdua pasti bakal jadi temen baik."

Ya, Alex juga berharap seperti itu. Berharap semoga Jay tidak seperti beberapa orang yang memandangnya aneh di sekolah ini—atau seperti Jackson yang terang-terangan mengganggunya. Alex semakin lega menyadari kalau ia akan punya banyak teman nantinya.

"Lo emang kayak gini, yah?" tanya Alanna, seketika.

"Huh?" Kini ganti Alex yang menatapnya dengan dahi yang mengerut. "Gini gimana?"

"Sopan banget. Kelihatan pendiam dan ... takut?" Alanna menjawab, terdengar seperti menebak. "Entahlah. Gue ngeliatnya lo kayak berusaha berbaur aja, padahal sebenarnya lo tipe introvert."

"Oh, ya?" Alex menggaruk kepalanya.

"Lo ngingetin gue sama kakak gue sih. Persis banget kayak lo." Alanna tersenyum. "Nevermind."

Alex tak menanggapi lagi. Mereka kembali hening dalam waktu yang cukup lama hingga sampai ke gedung teater. 

Alex mengedarkan pandangan ketika pintu dibuka. Gedung itu agak gelap jika pintu ditutup. Tak banyak cahaya yang masuk karena hanya ada tiga ventilasi di sana yang mengarah ke balkon kelas lantai dua, tiganya lagi tempat cahaya matahari masuk. Kebetulan jam tiga sore ini, sinar matahari bisa tembus menerangi panggung. 

Alex menarik naskah yang diserahkan Alanna dan mulai membaca.

"The Spy of Marionette?" tanya Alex. Membaca judul naskah.

"Yup."

"Kenapa marionette?"

Alanna memasang tampang berpikir. "Karena gue punya beberapa marionette di rumah dan gue terinspirasi dari itu."

"Kamu yang nulis naskahnya?"

Alanna tersenyum dengan pipi yang merah. 

Ah, Alex baru saja tahu kalau gadis ini bisa membuat naskah. Alex pun mulai membaca dialognya yang ditandai dengan stabilo merah. Lagu-lagu yang akan mereka bawakan tampak asing baginya. Well, Alex takkan bohong kalau kehidupannya agak primitif hingga tak tahu lagu-lagu yang tertera di naskah itu.

"Suara aku—nggak begitu—"

"Nggak. Jangan bilang gitu," potong Alanna. "Semua orang yang gue bawa ke ruangan ini selalu pesimis dan bilang gitu. Please, dicoba dulu."

Alex menatap Alanna yang wajahnya memelas sekarang. Alanna benar. Alex berada di ruangan ini kan untuk latihan, harusnya ia mencoba dulu sebelum memutuskan.

"Gue nggak tahu lagunya."

"Hm ...," Alanna menarik kembali naskah dalam genggaman Alex. "Oke. Liat gue, ya."

Gadis itu meloncat naik ke panggung. Alex pikir ia akan ditinggal menonton sendirian di bawah ini, tapi ternyata Alanna mengulurkan tangan ke arahnya dengan senyuman manis.

"Yuk."

Alex agak malu dengan ajakan gadis itu, tapi ia tak mau berlama-lama mengabaikan Alanna yang sudah mengulurkan tangan, jadi Alex menerimanya dan ikut meloncat ke panggung. Berdiri tepat di tengah-tengahnya, memandang kursi-kursi yang kosong.

"I spy with my own two eyes
A land soon to meet their demise
Let me give you my piece of mind
I was never on your side...,"

Kini, perhatian Alex sepenuhnya ada pada Alanna yang sudah bernyanyi sambil memutarinya. Gadis itu mengambil peran yang harusnya dimainkan Alex, dengan aktingnya sendiri. Suaranya menggema merdu di gedung ini, bahkan Alanna tak kesulitan saat mengambil high-note tanpa iringan musik yang membuat Alex semakin takjub melihatnya.

Ah, sekarang Alex jadi tahu kenapa beberapa orang memilih mundur dan pesimis menggantikan Jay. Akting serta suara Alanna benar-benar mendominasi. Sehebat apa lelaki bernama Jay itu sehingga menjadi satu-satunya yang pantas dipasangkan dengan Alanna dalam teater? 

Alex jadi ragu dengan dirinya sendiri.

"You're all my marionettes...,"

Seiring dengan nyanyian Alanna, cahaya matahari tak lagi menerangi panggung. Alex melihat ke ventilasi, di mana cahaya mentari tadi berganti menjadi gumpalan awan hitam di sana. Keadaan teater perlahan gelap.

Alex mengalihkan pandangan ke kursi penonton di bawah yang berantakan.

"I will bring this nation to an end...,"

Deg! Alex merasa jantungnya berpacu cepat, kepalanya pun mendadak sakit—seperti ada yang meremas otaknya dan tubuhnya ikut lemah. Alex terhuyung, menatap Alanna yang sekarang berdiri di depannya dengan pisau dalam genggaman—dan tangan yang penuh darah.

"Alex?"

Alex dapat mendengar teguran Alanna, tapi entah kenapa matanya tak bisa berkedip. Tubuhnya kaku dan pikirannya memerintahkannya untuk lari dari gedung itu.

"Alex? Lo nggak apa-apa?"

Dalam penglihatannya, Alanna mengangkat pisau tepat ke arah kepalanya. Gadis itu semakin dekat.

"Alex?!"

Dan ketika Alanna menyentuhnya, Alex berhasil mengerjapkan mata dengan napas yang terengah. Alex tak menghiraukan Alanna, malah Alex mendorong Alanna yang mendekat hingga gadis itu terjatuh dan segera berlari keluar dari teater sambil memegang kepalanya.

◼ T B C

AN (2): Diharapkan untuk mendengar lagu di media (karena itu lagu yang dinyanyiin Alanna) 😈 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro