4 • hari yang sama
ʀᴇᴢᴀ ɢʀᴇʏ
ʜᴀᴘᴘʏ ʀᴇᴀᴅɪɴɢ
• /// •
"Kesalahan praktikum, Bapak bilang? Jelas-jelas ini direncanain! Dan ini udah pasti rencana Pak Jiff!" seru Reza.
Ederik menggelengkan kepala saat Reza menggebrak meja, membuat Inspektur Deon, sejumlah polisi dan guru tersentak karenanya. Terlebih di sana ada Pak Jiff yang sudah berumur, tampak ketakutan saat dituduh seperti itu.
"Reza, tenangkan diri kamu dulu," ujar Ederik.
"Kebakaran itu bikin teman-teman saya sekarat, pak! Kalau ada korban jiwa emangnya Bapak mau tanggung jawab gantiin nyawa mereka?!" seru Reza lagi. Beralih ke arah Pak Jiff, penanggung jawab praktikum kimia. "Ngaku aja deh. Emang sengaja kan ngunci kita di sana?"
"Sa—saya benar-benar nggak ngunci kalian, Reza. Saya juga kekunci di kamar mandi, gimana saya bisa ngunci kalian?"
"Emang ada yang percaya kalau Pak Jiff kekunci di kamar mandi? Handphone disita, APAR diganti sama ethanol, udah gitu sengaja ke toilet dan ngunci ruangan. Mau ngeles apa lagi? Jangan-jangan Pak Jiff sekongkol lagi sama C itu!"
Inspektur Deon bersitatap dengan rekan polisi lainnya seolah kehabisan cara menenangkan Reza yang semakin lancang membentak Pak Jiff.
"Reza, bukan hanya laboraturium yang dikunci, tapi semua ruangan juga dikunci. Ruang guru juga begitu. Kamu nggak boleh nyalahin Pak Jiff gitu aja." Ederik masih berusaha menenangkan Reza.
Kemudian beralih ke arah Inspektur Deon, mengangguk seraya mengizinkannya bicara.
"Kebakaran terjadi dari dalam. Ruangan tertutup atau tidak, penyebab kebakarannya bukan berasal dari para guru, Reza."
Reza menatap Inspektur Deon.
"Kamu paham maksud saya, kan?"
"Jadi maksud Pak Deon yang bikin kebakaran itu kita sendiri?"
"Coba pikirkan baik-baik, dari arah mana api berasal, siapa saja yang kira-kira ada di dekat arah api itu."
Reza terdiam, berusaha berpikir.
Inspektur Deon mulai lega melihat Reza yang tenang. Karena sepengetahuannya anak bernama Reza ini memang selalu meledak-ledak jika sesuatu tak bergerak sesuai keinginannya, apa lagi ia tak pandang umur membentak para guru di ruangan ini. Inspektur Deon pun mendekat membelakangi para guru dan menyapu bahu Reza seraya berbisik.
"Jangan keluarkan di sini, kamu sadar kan ini bukan tempat yang aman untuk bersikap begitu?"
• /// •
Laboraturium Kimia. Tempat di mana Inspektur Deon, Reza dan Ederik berada sekarang. Abjad C yang dipilox merah menjadi objek yang mereka amati, seakan abjad itu sengaja terukir dan membiarkan orang-orang menduga apa dan siapa C yang dimaksud tanda itu.
Semua peralatan kimia membekas menjadi kepingan abu. Reza mengedarkan pandangan. Masih teringat dengan jelas bagaimana teman-temannya berjuang keluar dari ruangan yang terbakar, setidaknya mengambil hydrant yang ada di luar ruangan untuk meredam api, tapi mereka baru bisa keluar setelah merusak pintu kurang dari lima menit. Sialnya, APAR yang harusnya meredam api ternyata diganti dengan cairan ethanol hingga menyebabkan api membesar, alih-alih mengecil.
Walaupun tak ada korban jiwa, tapi beberapa murid masih dirawat di rumah sakit akibat sengatan luka bakar, ada pula yang masih kritis karena menderita sesak napas.
"Api muncul dari arah belakang, dekat lemari penyimpanan ethanol," ucap Reza menunjuk reruntuhan. "Kita duduk sesuai kelompok. Kelompok satu paling depan, berurutan sampai kelompok lima di belakang."
"Siapa orang pertama yang sadar ada kebakaran?" tanya Inspektur Deon.
"Sonia Grena. Dia ada dalam daftar peserta," jawab Reza
Inspektur Deon pun mulai membaca nama-nama peserta praktikum kimia lewat kertas yang ada digenggamannya dan benar saja nama Sonia Grena ada di urutan kelompok terakhir.
"Kamu nggak lihat siapa yang ada di titik api?"
Reza menggeleng.
"Gimana? Udah jelas kan itu bukan kesalahan praktikum? Tapi direncanain." Reza melanjutkan sambil melirik Inspektur Deon dan Ederik bergantian.
"Kita belum dengar keterangan lainnya, Reza," jawab Inspektur Deon. Terdengar menenangkan, tapi tak juga menolak fakta itu. "Gimana keadaan luka bakar kamu?"
Reza terbilang salah satu korban yang punya luka bakar di punggung dan bahunya karena melindungi beberapa teman yang nyaris ditimpa reruntuhan api. Seharusnya Reza masih dirawat di rumah sakit bersama teman-temannya, tapi ia malah memaksa keluar dengan dalih luka bakarnya tak parah demi ikut penyelidikan ini dan memastikan bahwa kebakaran ini direncanakan, bukan kesalahan praktikum seperti yang dimuat dalam media.
"Luka saya nggak penting. Saya nggak separah itu," jawab Reza, ketus. Ia berlenggang melewati Inspektur Deon, sepertinya masih belum terima dengan jawaban pria itu.
"Sudah setahun sejak insiden itu, C kembali lagi dengan jejak baru. Gimana menurut Pak Deon?" Pertanyaan Ederik membuat Inspektur Deon beralih ke arahnya.
"Saya rasa, kita selangkah lebih dekat menemukannya ... lewat kertas ini," jawabnya sambil mengacungkan kertas yang berisi dua puluh nama peserta praktikum. Ederik mengangguk setuju.
Baru saja ingin menambahkan pertanyaan lainnya, seorang satpam tergesa-gesa mendekati mereka membuat Reza, Ederik dan Inspektur Deon menoleh.
"Di depan ada demo, pak," ucap pak satpam.
Ederik memijat pelipisnya. Sudah menduga kalau kericuhan ini pasti akan terjadi setelah keluar pemberitaan lamanya bantuan petugas damkar dalam kebakaran kemarin. Tanpa banyak pikir lagi, ia bergegas menarik tungkai keluar diikuti oleh Reza dan Inspektur Deon.
Ini bukan kali pertama sekolahnya di demo. Setelah insiden pesta seks yang dilakukan Rafi---korban C setahun lalu---mereka juga pernah menghadapi amukan masyarakat yang merasa SMA Selatan Baru adalah tempat di mana kriminal di bawah umur berkumpul. Jadi, Ederik sudah terbiasa menghadapinya.
Dapat mereka dengar dengan jelas bagaimana masyarakat di depan gerbang mulai gaduh, meminta kepala sekolah keluar dari sana agar mereka dapat menuntaskan kebingungan dan kekesalan mereka akan musibah sekolah. Karena setelah pemberitaan itu, sekolah kelihatan diam saja seolah tak peduli.
"KELUARIN KEPALA SEKOLAHNYA!"
"SEKOLAH KRIMINAL, NGGAK PANTAS JADI SEKOLAH!"
"SEKOLAH TUMBAL!"
Inspektur Deon segera mengeluarkan HT, memandang puluhan orang yang sudah ricuh di sana. Mereka melakukan demo seolah-olah insiden sekolah mengganggu kehidupan pribadi mereka, padahal mereka juga punya kehidupan sendiri yang lebih penting dijalani hari ini dibanding demo, bukan? "Amankan gerbang depan, jangan sampai mereka masuk sekolah. Perhatiin juga benda yang mereka bawa."
Dan begitu Ederik menujukkan wajahnya di depan umum, mereka semakin ricuh lagi. Menggoyangkan gerbang agar terbuka hingga beberapa murid di sana mulai ketakutan. Para polisi berdiri di sana, menghalau mereka yang bisa saja merusak fasilitas sekolah.
"Saya nggak yakin kamu bisa ikut ngurusin masalah ini, Reza. Keluarga kamu nggak akan senang kalau kamu ikut campur dan juga ... kamu nggak tahu siapa yang kamu lawan," ucap Inspektur Deon, setelah menurunkan HT-nya.
Reza yang ada di sebelahnya pun menyipitkan mata. "Mungkin. Makanya harus cari tahu siapa yang dilawan. Iya kan?"
Reza memutuskan pandangannya dari pendemo, kali ini melirik para murid yang tadinya ingin pulang tapi tertahan sedikit jauh dari gerbang dengan wajah ketakutan hingga menemukan Cassandra Emerald yang stagnan di tengah-tengah mereka dengan kartu hitam dalam genggaman.
"Saya ke ruang OSIS dulu. Kalau udah selesai, saya bakal temuin Pak Deon lagi," ucap Reza. Lalu membalikkan tubuh meninggalkan Inspektur Deon yang mengangkat kening.
"Ah, Reza. Dia nggak sadar apa, lagi bicara sama siapa." Inspektur Deon menggelengkan kepala, merasa tak ada harga dirinya di hadapan anak itu.
Reza menarik diri dari sana menuju ruang OSIS. Alanna, sekretaris OSIS segera mengambil tempat ketika Reza masuk, mengambil blazernya.
"Ketua nggak apa-apa?" tanya Alanna, khawatir.
Reza mengangguk. "Di luar bahaya, arahkan semua murid ke gedung tengah dan jangan dekat-dekat dengan gerbang apa lagi nekat keluar sekolah lewat pintu lain. Jangan sampe jadi sasaran mereka yang niat ribut dan ngundang tawuran sekolah lain."
Alanna mengangguk, segera saja membuat pengumuman lewat microhpone dan memantau para murid agar berada di gedung tengah.
"Bulan depan ada tournament basket. Ketua, apa kita harus hentiin semua kegiatan ekskul sampe ini reda?" tanya Rania.
"Nggak. Kegiatan ekskul harus tetap jalan."
"Tapi, kalau diterusin orang-orang bakal bilang kalau kita apatis."
"Mereka udah latihan sejauh ini, nggak bisa dihentiin. Kebakaran bukan berarti semua aktivitas sekolah berhenti." Reza menautkan jemarinya di atas meja. "Kita bakal bikin batas waktu latihan buat anggota ekskul. Nggak ada yang boleh latihan sampai malam lagi dan nggak boleh ada yang ke sekolah malam hari. Semua urusan sekolah dan ekskul harus selesai jam empat sore."
Rania pun hanya mengangguk.
"Alanna, hari ini kamu wakilin aku untuk jenguk mereka yang ada di rumah sakit. Aku mau laporan keadaan mereka besok. Rania, sampein ke blogger kalau mereka harus posting tentang kasus kebakaran. Bilang aja kasus ini masih dalam penyelidikan. Jangan sampai ada yang mikir sekolah cuek sama kejadian ini."
Reza melirik Alanna dan Rania bergantian yang dijawab dengan anggukan setuju mereka.
"Selain itu, yang lain kontrol penanggung jawab ekskul. Kalian boleh kerjain tugas kalau di luar udah nggak ribut lagi."
Setelah bilang begitu, Reza bangkit dari tempat duduk. Mengamati para pendemo yang masih ricuh di bawah sana dan Pak Ederik yang berusaha menenangkan mereka—mungkin dengan iming-iming akan membuka konferensi pers besok dengan kabar tak ada korban jiwa serta korban kebakaran sudah dalam penanganan medis. Artinya, sekolah sudah bertanggung jawab dalam musibah ini. Reza tak yakin apa itu bisa membuat mereka tenang, tapi dia juga yakin pendemo di luar sana pasti tak benar-benar peduli dengan masalah sekolah. Beberapanya hanya niat merusuh.
Ponselnya bergetar, ia pun memalingkan pandangan dari sana dan merogoh ponselnya. Ada pesan masuk.
Sonia:
Aku udah pastiin nggak ada yang kenalan sama mereka hari ini
Mereka nggak begitu mencurigakan
Reza:
Kita bicarain ini di basecamp
Sonia:
Siaapp bos!
Begitu Reza memalingkan pandangan dari ponsel, Reza mengernyit ketika cukup jauh di bawah sana ada seorang lelaki yang berjalan mengendap-endap ke arah toilet perempuan.
Sebagai ketua osis, Reza sudah mengenal orang-orang di sekolahnya terlebih para lelaki. Meski tak tahu nama mereka, tapi ia tahu rupa mereka karena hampir semua laki-laki di sekolah ini familier. Dari kelompok lelaki yang gemar bertingkah sampai kelompok yang anti sosial, Reza tahu mereka semua.
Namun untuk lelaki yang mengendap-endap itu, Reza baru kali ini melihatnya. Jadi ia meyakini lelaki itu sebagai salah satu murid baru yang masuk hari ini.
Alexander Kagara.
Reza segera menyimpan ponsel ke dalam saku blazernya dan mengikuti Alex. Berbeda dengan Alex yang mengendap, Reza malah mempertegas langkahnya, tak peduli Alex akan menyadari kehadirannya atau tidak. Dilihatnya lelaki itu berdiri di belakang pilar yang mengarah ke toilet perempuan tanpa melakukan pergerakan apa pun. Seperti sedang menguntit.
Reza tak mau membuang-buang waktu. Ia pun menghampiri dan segera menaruh tangannya di pundak Alex hingga lelaki itu tersentak.
"Ngapain di situ?" tanya Reza, wajahnya datar.
"Eh—itu—" Alex terbata dengan pandangan yang dipalingkan ke sembarang arah. "Aku mau ke kamar mandi."
Reza menaikkan sebelah alisnya, dengan dagu yang bergerak menunjuk simbol perempuan di sana seolah memberitahu Alex kalau ini daerah toilet perempuan. Alex mengikuti arah pandangnya.
"Maaf, aku bingung di mana kamar mandi cowok."
"Sebelah." Reza menunjuk selasar yang berlawanan arah dengan toilet perempuan.
"Ma—makasih."
• /// •
Bukannya tak tahu soal gosip sekolahan tentang murid baru itu, tapi Reza sedang sibuk memperbaiki berita yang bersileweran di media tentang dugaan kebakaran lab sekolahnya. Reza tahu kok, Cassandra dan Alex dihubungkan dengan penemuan abjad C di TKP dan dikatakan sekte sesat seperti C hanya karena mereka masuk di saat yang sama dengan penemuan tersebut.
Entah siapa pula yang menyebarkan gosip sialan itu, Reza belum berpikir akan menyelidikinya.
Tapi, kalau dipikir kembali tak ada salahnya mencurigai mereka. Lihat saja, di hari pertama ini Reza menemukan ada yang aneh dari murid baru bernama Alex—yang mengendap-endap ke toilet cewek.
Maka setelah kericuhan di luar sekolah reda, Reza menemui Ederik di ruangannya dengan tujuan mencari tahu informasi dua murid baru itu. Surat keterangan pun diberikan Ederik pada Reza dan dibacanya dengan seksama.
Tak ada informasi penting di sana, hanya tentang sekolah asal dan surat berkelakuan baik mereka selama di sekolah lama. Cassandra Emerald, gadis brunette dengan hazel eyes itu pindahan dari Sydney, sementara Alexander Kagara pindahan dari sekolah negeri.
"Bisa-bisanya Bapak nerima murid baru di saat begini," cicit Reza.
"Alexander Kagara harusnya masuk minggu kemarin. Tapi karena orang tuanya sakit dan dirawat di Singapura, dia harus nunda sampai minggu ini."
Reza mengernyit. "Gimana dengan Cassandra?"
"Alasan pribadi karena David Emerald mantan rekan bisnis saya, Reza. Orang tuanya meminta Cassandra masuk di sekolah ini biar Cassandra bisa hidup mandiri."
"Apa dia bocah umur enam tahun?" sarkas Reza, menaruh kembali surat keterangan itu dan menatap Ederik.
"Tapi memang begitu alasannya." Ederik mengembuskan napas panjang. "Saya pikir, nggak ada yang harus dicurigai dari mereka."
Tak ada tanggapan.
Ederik melanjutkan, "Selain itu, kamu tahu cara kamu menuduh Pak Jiff di ruangan tadi itu keterlaluan?"
"Bapak sendiri nggak curiga dengan Pak Jiff?"
"Kita belum bisa membuktikan Pak Jiff salah, Reza." Pandangannya beralih ke luar sekolah. "Untuk sementara, kita serahin kasus ini ke Inspektur Deon. Kamu nggak boleh main hakim sendiri dengan menuduh Pak Jiff karena kenyataannya semua ruangan dikunci hari itu. Jangan buat posisi kamu di sekolah ini dikecam para guru atau misi kita akan gagal total."
Reza tampak ketus mendengar itu.
Ah, ya. Dia tahu kalau semua orang menganggapnya punya kekuasaan tertentu di sekolah ini. Punya image besar sebagai calon pewaris perusahaan keluarga; Ten Corporation, menjadi salah satu culture shock di SMA Selatan Baru. Faktanya sekolah ini tak pernah bergengsi atau bahkan menarik masyarakat kelas atas. Sekolah yang digadang sebagai sekolah buangan karena tak ada yang bisa dibanggakan; prestasi yang minim, akreditas rendah, eksistensi apa lagi. Hidup di tengah-tengah Kota yang punya banyak sekolah bergengsi membuat eksistensi SMA Selatan Baru semakin dipandang sebelah mata. Jadi, kehadiran Reza Grey—dari keluarga terpandang membuat Ederik sedikit angkuh dengan menjadikan Reza Grey sebagai patokan peraturan di sini.
Satu-satunya peraturan yang diberikan Ederik pada semua guru dan murid adalah, ikuti peraturan OSIS yang disusun Reza. Well, itu alasan pertama yang Reza tahu. Alasan berikutnya karena Ederik terkesan dengan misi Reza yang membentuk organisasi keamanan sekolah setelah beredarnya pembunuh dengan jejak abjad C yang dipercaya berada di sekitar sekolah mereka.
Alasan yang dijadikan senjata untuk mencari tahu ... siapa sosok dibalik jejak C yang sering menghantui sekolah mereka selama beberapa tahun ini. Ederik bisa bilang begitu karena tak pernah ada yang punya nyali mengungkap hal itu sebelumnya, selain Reza dan beberapa orang yang dipercayanya.
◼ T B C
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro