Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3 - Mirisnya Hidup Tika

Sudah ku bersihkan mejaku, ku rapikan pula kursiku, tapi kau memilih duduk di sofa bersamanya.

(Qoutes ini berasal dari Ig : @wrifko)

******

"Tika, anterin ibu ke Cimahi ya!"

"Tika! Kamu harus bisa ya beresin, 300 kaos."

"Tika, kamu kirim double hari ini bisa nggak?"

"Mbak Tika, anak saya lagi rewel nih ... pijitin bisa?"

"Tika, adik saya punya PR, kamu bisa bantu kerjain?"

"Kartika, kalau sampai dua hari ke depan tugas kamu belum kamu serahkan, nilai UAS kamu nol!"

"Jangan lupa bayar hutang minggu ini!"

"Neng Tika, kostan belum."

"Tika ..."

"Kartika ..."

ARG!!! Rasanya kepala Tika hampir meledak saat ini juga. Seharian ini dirinya benar-benar merasa begitu terbebani dengan hidupnya. Pekerjaan yang tak henti-hentinya, urusan lain yang menambah kesibukannya, dan penagihan hutang yang tak ada habisnya.

Harus seperti apa lagi Tika menghabiskan seluruh tenaganya agar ia bisa hidup dengan baik tanpa gangguan dari luar?

Terkadang Tika merasa bahwa dunia sangat tidak adil padanya. Di luar sana, banyak sekali orang yang menyia-nyiakan uang dengan menghabiskannya secara Cuma-Cuma, sementara dirinya ... untuk uang makan saja butuh banyak sekali pertimbangan. Terkutuklah pamannya yang sudah membebankan seluruh hutangnya pada Tika!

"Kamu nggak apa-apa?" suara yang membuat bibir Tika tersenyum terdengar menyapa telinganya. Kartika menoleh dan meraih satu gelas susu yang Radit sodorkan padanya.

"Keliatannya aku gimana, kak?" tanya Tika.

Radit duduk di sampingnya seraya menyeruput kopi hitam kesukaannya. Mereka berdua tengah mengobrol bersama di salah satu pujasera yang tak jauh dari kampus mereka.

"Kamu keliatan kacau," sahut Radit.

Benar. Memang tebakan Radit mengenai keadaan Tika selalu benar. Tidak pernah salah sedikitpun.

"Hidup aku udah kacau kali kak, udah kayak benang kusut, Hayati lelah. Mau nikah aja, tapi calon belum ada. Jadi ya udah deh, kuliah dulu aja," candanya.

Radit tertawa, "Ngebet banget bu?" tanyanya.

Tika menggeleng, "Nggak sih ... kadang mikir aja, enak kalau di hidupi. Eh tapi kak, kayaknya berasa menjadi beban banget ya kalau di hidupi."

"Menurut aku nggak sih, kenapa wanita harus merasa jadi beban? Itu memang udah ketentuannya begitu Tika."

"Iya juga. Tapi tetep aja kali kak."

"Ya udah kamu sukses dulu aja!" Radit menyemangati dan Kartika tersenyum. Gadis itu menyeruput kembali susunya sementara Radit menatapnya dengan penuh penyesalan.

Harus bagaimana cara Radit menolong Tika? Setidaknya ia ingin meringankan beban gadis itu walau hanya sedikit. Radit sudah menawarkan pekerjaan pada Tika sebenarnya, tetapi hanya bertahan satu minggu saja karena Tika terus menerus di datangi para penagih hutang yang kejam itu.

Pilihan lain tersedia juga di hadapan Radit. Rumahnya, untuk Tika tinggal. Hanya saja ... Tika perempuan, dan ia laki-laki. Bagaimana pandangan orang lain ketika melihat mereka tinggal bersama sementara tak ada ikatan apapun diantara mereka.

Hidup memang kita sendiri yang menjalani, tetapi orang lain ikut berpendapat di dalamnya. Radit tidak mungkin tak menghiraukan orang lain dan menulikan pendengarannya dari gosip orang-orang. Tidak ... lagipula kasihan juga Tika, beban hidup gadis itu pasti akan bertambah.

"Papi Anwar gimana kak?"

Radit tergelak sebentar, selalu merasa lucu ketika Tika memanggil ayahnya dengan cara seperti itu.

"Ya gitu lah, Ka. Masih batuk-batuk," sahutnya.

"Makannya gimana?"

"Makannya lancar sih, biasa kalau orangtua suka banyak maunya macem-macem. Kemarin bapak pengen gorengan, tapi nggak aku kasih."

"Kasian bapak, nggak nikmat kalau nggak nemu gorengan."

"Eta pisan, Tika. Tapi gimana lagi sih."

(Eta pisan : itu banget)

"Kalau Hana gimana?"

Begitu menanyakan pertanyaan tersebut, jantung Tika berhenti sejenak dan serangan rasa sakit mulai muncul dalam hatinya.

"Hana ... ya begitu aja," kekeh Radit.

"Begitu aja gimana sih?"

"Ya, gitu lah."

"Ya, gimana?"

"Ya, gitu. Makin gemesin, hahaha."

Hal yang paling membahayakan di dunia ini adalah rasa penasaran. Ingatlah bahwa sebuah rasa penasaran dapat menghancurkanmu bahkan membunuhmu. Kartika penasaran, dan ia salah mengikuti egonya untuk memuaskan rasa penasarannya.

Tika tahu jawabannya, ia tidak mengharapkan bahwa Radit mengatakan hubungannya selesai, juga tidak mengharapkan Radit lebih memilihnya dibandingkan Hana, Tika tahu dengan jelas apa jawaban Radit yang tentu saja dapat menyakitinya. Hanya saja ... Tika tetap penasaran, ingin mendengar langsung apa jawaban Radit atas pertanyaan yang diajukannya.

Ya, beginilah sekarang ... menyesal? Tentu saja!

"Bayi kali ah, gemesin," ujar Tika.

Radit tertawa, "Kayaknya Hana lebih gemesin."

'SUKA SUKA LO AJA RADIT!!' pekik Tika dalam hatinya.

"Udah malem ah kak, aku mau pulang," ucap Tika tiba-tiba.

Radit melirik jam tangannya, "Oh iya. Udah jam sepuluh."

"Nah, kan! udah ah ... mau pulang. Nanti si bapak kost kunci pintu lagi."

Radit mengangguk, "Iya ... cukup kamu terlantar dulu sekali aja. Sekarang jangan," kekehnya.

Tika tersenyum tipis. Tanpa banyak berbicara, ia melambaikan tangannya pada Radit dan pulang lebih dulu tanpa menunggu Radit mengambil motornya.

*****

Tika ... bapak aku masuk Rumah Sakit lagi.

Tika hampir saja menjatuhkan ponselnya kalau ia tidak ingat cicilan ponselnya masih belum lunas dua bulan lagi. Pesan dari Radit benar-benar membuatnya kepanikan setengah mati. Ayah Radit masuk Rumah Sakit lagi dan itu berarti Radit sedang tidak baik-baik saja sekarang.

Tika menghubungi beberapa nomor di ponselnya.

"Novi, maaf aku nggak bisa nganterin kamu ke sekolah sekarang. Ada urusan penting."

"Teh ... punten ya Tika nggak bisa nganter hari ini. lagi ada urusan."

"Om, aku absen hari ini. kerjaan biar aku beresin nanti malem ya."

Dan setelah selesai meminta izin pada semua orang yang berkaitan dengan pekerjaannya, Tika memacu motornya dengan cepat menuju Rumah Sakit tempat ayah Radit di rawat.

Motornya tiba-tiba saja mati di tengah jalan, Kartika menggiringnya ke sisi jalan dan mencoba menghidupkannya kembali. Tetapi hingga lima belas menit Tika mencoba, motornya tak juga menyala.

Tika berjongkok seraya menjambak rambutnya.

"Apa sih sekarang! orang lagi panik, malah nambah-nambahin panik! Kamu maunya apa?!" pekik Tika pada motornya.

Ini bukan sekali dua kali motor Tika seperti ini. sudah sering sekali, bahkan dulu motornya sempat mati di tengah malam, untung saja Radit menolongnya dengan menjemput Tika. Beberapa bulan yang lalu, motor Tika bahkan tak bisa di starter, ia harus menyalakannya dengan manual kalau hendak menyalakannya.

Hidupnya sudah susah, tapi ada saja hal yang membuat hidupnya semakin susah. Andai saja sabar hadiahnya uang, pasti Tika sudah bisa membeli Freeport sekarang.

"Oke, Tika ... sabar ... cari bengkel. Jangan kayak orang susah!" gerutunya pada dirinya sendiri.

******

"Katanya bapak kamu masuk Rumah Sakit, Dit? Kok kamu masuk kerja?"

Radit menggaruk kepalanya, "Aku kesini buat ambil kerjaan Nun, biar nanti aku kerjain di Rumah Sakit."

Ainun menganggukkan kepalanya, "Ya udah, kamu izin dulu sama ibu manajer."

"Iya, semoga di izinin ya."

"Biasanya juga di izinin Dit, kerjaan kamu kan bagus. Insyaallah lah ..."

Radit tersenyum tipis. Sejak ayahnya sakit memang tidak sekali ia izin kerja seperti ini, dan sebenarnya atasannya juga sudah banyak memperingatinya, hanya saja Radit berusaha untuk menyelesaikan semua pekerjaannya dengan cepat sehingga ia bisa mendapatkan keringanan walau hanya sehari saja.

"Kamu udah sarapan belum, Dit?" tanya Ainun lagi.

Radit menggeleng, "Nggak sempet. Tadi panik bawa bapak ke dokter," sahutnya.

Ainun menggeleng, "Aku bawa sarapan. Kamu makan dulu ya Dit. Jangan lewatin makan, cukup bapak kamu aja yang sakit. Yang urusnya jangan," ucapnya.

Radit tersenyum, "Makasih ya Nun," sahutnya.

Ainun hanya mengangkat bahunya. Bukan apa-apa, ia punya banyak waktu untuk sarapan. Berbeda dengan Radit.

*****

Pukul sebelas siang, Tika sampai di Rumah Sakit dengan tangan kosong. Ia tak sempat membeli sesuatu untuk ia bawa karena kepanikan yang menguasainya.

Radit sedang sibuk dengan laptopnya ketika Tika masuk ke dalam ruangan rawat ayahnya.

"Kak ..." bisik Tika.

Radit mengangkat kepalanya, ia tampak terkejut. "Oh ... Tika? Kamu nggak kerja?"

"Aku nggak ada kerjaan hari ini," kekeh Tika. Tentu saja ia berbohong.

"Tumben, biasanya kamu kalau nggak ada kerjaan suka cari kerjaan."

Benar, seolah-olah Tika haus dan gila akan uang sehingga pekerjaan apapun ia lakukan dalam waktu senggangnya.

"Hari ini pengen liburan kak, makanya nggak ambil kerjaan lain. Oh iya, Papi Anwar gimana?"

Radit menoleh pada ayahnya yang sedang terbaring ketika Tika bertanya padanya, "Ya ... malem batuk-batuk sampe sesek, badan bapak panas juga. Aku panik, langsung bawa bapak ke Rumah Sakit."

Tika menganggukkan kepalanya, Ia mengulurkan tangannya menuju kaki Anwar yang berselimut dan memijat kakinya perlahan, Radit terpaku melihat cara Tika memijat ayahnya. Sejenak pandangannya benar-benar terfokus pada tangan Tika.

"Udah dari tadi kak, tidurnya?" tanya Tika. Segera, Radit mengalihkan tatapannya dari tangan Tika menuju wajahnya.

"Baru banget. semalem nggak tidur."

"Kakak nggak kerja?"

"Ini lagi kerja," sahut Radit seraya mengangkat kertasnya ke udara.

Tika menganggukkan kepalanya, "Ya udah, kerjain gih kak."

"Ini juga mau ngerjain."

'Kakak udah makan?'

'Udah tidur?'

'Kok mukanya pucet banget?'

Pertanyaan-pertanyaan yang melayang-layang di kepalanya tak sempat dan tak mampu untuk Tika ucapkan, ia hanya bisa memandangi Radit seraya berharap bahwa pertanyaannya sudah terjawab dengan keadaan yang baik oleh Radit.

Tika tidak mau, menunjukkan terlalu banyak perhatian untuk Radit. Ia takut ... kalau saja Radit bisa membaca perasaannya. Lagipula ia siapa sih, Tika juga cukup sadar diri untuk tidak terlalu perhatian pada Radit.

Sebuah ide gila terlintas di pikirannya. Bagaimana kalau Tika menikah dengan Radit saja? ia akan membantu mengurus ayah Radit, mengurus Radit juga tentu saja, memastikan gizi pria itu, dan membuat hidupnya lebih ringan lagi, jauh dari kekhawatiran akan kesehatan ayahnya. Seandainya. Haha! Jangan bermimpi Tika! Bahkan jangan mencoba memikirkan hal itu! semua itu tidak akan pernah terjadi!

Cukuplah ia berdiri dari jauh, memastikan bahwa keadaan Radit baik-baik saja. Itu saja sebenarnya. Memang bodoh, tapi kebodohannya membawa ketentraman dalam hidupnya. bayangkan, kalau Tika secara terang-terangan menunjukkan perasaannya ... apa yang akan terjadi? Keberaniannya akan memisahkan dirinya dengan Radit, dan Tika tidak mau itu terjadi.

"A—"

"Radiiiit! Aku bawain kamu makaaaann..."

Belum sempat Tika menyelesaikan ucapannya, lagi-lagi Hana datang dengan begitu riangnya dan membuat Radit melupakan pekerjaannya lalu fokus pada wanita cantik di hadapannya.

Tika membuang napasnya kasar.

Kalau tetap berada di sini, ia bisa jadi obat nyamuk untuk mereka berdua.

"Kamu kok kesini?" tanya Radit.

"Aku sengaja, bawain kamu makan," sahut Hana.

Padahal ... Kartika ingin sekali membuatkan Radit makanan. Sekarang ... Hana malah bergerak lebih dulu hingga membuat Tika tertinggal jauh di belakang.

"Hana, kak Radit ... aku mau pulang dulu deh, nengoknya udahan. Bapaknya juga tidur," kekeh Tika.

Radit mengangguk padanya, "Makasih ya, Dek."

Oh, Shit! Ucapan itu lagi!

"Oke, sama-sama kak!"

"Tika makasih ya udah nemenin pacar aku," kekeh Hana dengan riang.

'PACARAN BISA PUTUS WOY! BISA PUTUS!!! BANGGA AMAT LO BISA JADI PACARNYA. HAH. HUNTU!!!' pekik Tika dalam hatinya.

"Iya, Hana .. selow aja sama aku mah. Hayu ah, aku duluan ya! Assalamualaikum ..." pamit Tika.

Ia berjalan menjauhi lorong ruangan rawat yang di penuhi banyak pasien tersebut dan terduduk di bangku Rumah Sakit yang kosong. Menatap tangan kosongnya, kemudian bergantian menatap atap di atasnya.

Kenapa sih, hidupnya harus seperti ini?

Oke, cukup. Tika tidak boleh meratap. Orang yang meratap adalah orang yang jauh dari kebahagiaan. Sementara Tika bahagia. Ya ... Tika sangat bahagia, dan Tika sangat mencintai hidupnya yang bahagia.


TBC


Aishh kesel yak kapan masuk ke inti hahahaha

Penulis macam apa sih nggak sabaran bener ya wkwk

Readersnya aja selow. Haduh yang sabar ya!

Itu nyalain motor secara manual dibilangnya apa sih? kalau bahasa sunda mah di selah hahaha

Motor aku tuh dulu gitu, sampe capek adek menyelahnya. Tapi suka banyak aa ganteng bantuin nyelah. YUHUWW MODUS BARU CYIIIN HAHAHAHA

Yaudin. Sampe jumpa part depan,

Daaah ...

Aku sayang kalian :*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro