Bab 1 - Hidup itu Keras
Kartika tersenyum, menatap dirinya di depan cermin. Jam sudah menunjukan pukul enam pagi, itu artinya dia harus segera berangkat. Tika yang sudah mengenakan jaket kesayangannya, menyambar dua helm miliknya dan segera melajukan motornya.
Pekerjaan Tika setiap pagi adalah mengantarkan dua remaja untuk sekolah dan dua orang dewasa untuk bekerja. Bahkan, Tika hapal tulisan-tulisan yang terpajang di baliho pinggir jalan, saking seringya ia melewati area tersebut.
Tika menghentikan laju motornya didepan pagar rumah mewah yang begitu tinggi. Tika membunyikan klaksonnya, sesaat kemudian seorang perempuan paruh baya berlari membukakan pintu pagar untuknya. Tika kembali melajukan motornya memasuki halaman rumah mewah tersebut.
"Sebentar ya neng Tika, anaknya lagi sarapan," ucap bu Romli seraya tersenyum kepada Tika.
Tika tersenyum dan menjawab, "Iya, Bu ... "
Tika sendiri belum sarapan atau lebih tepatnya dia tidak pernah sarapan.
"Hari ini kuliah Neng?" Tika tersadar dari lamunannya karena pertanyaan Bu Romli barusan, "kuliah, Bu. Hari ini wajib, nggak bisa bolos." Jawabnya sambil terkekeh.
Bu Romli menepuk pundaknya, "Nih, Neng! Kuliah mah nggak usah rajin, yang penting bener!"
"Eta pisan, Bu," sahut Tika seraya tertawa.
(Eta pisan ; Itu banget)
Tika mengalihkan pandangannya pada gadis remaja yang kini berjalan ke arahnya.
"Teh Tikaaa, Maaf ya lama. Aku tadi bangunnya kesiangan." Tika tersenyum, ia menyerahkan helm kepada Novi.
"Iya Nov, santai aja mah."
"Hehe makasih teh. Aku duduknya miring ya? pake rok span soalnya."
"Boleh lah, bisa diatur," sahut Tika.
Novi tersenyum, lalu naik ke atas motor Tika.
"Mangga, Bu. Assalamualaikum," pamit Tika.
Bu Romli menganggukkan kepalanya, "Waalaikumsalam. Hati-hati ya!"
*****
"Bapak ... obatnya sudah di minum?"
"Belum Dit, nanti aja." sahut Anwar—ayahnya.
Radit meletakkan gelas yang dibawanya ke atas meja yang terdapat disamping tempat tidur ayahnya, kemudian membimbing ayahnya untuk bangun dan duduk bersandar di ranjang. Sudah satu tahun lamanya ayah Radit sakit-sakitan. Usianya yang sudah renta membuat seluruh penyakit lebih mudah menyerangnya. Seminggu yang lalu Anwar masuk rumah sakit dan dia baru kembali ke rumah dua hari yang lalu.
"Di minum dulu pak." ucap Radit seraya menyodorkan minum untuk Anwar.
Anwar meraih gelas yang disodorkan Radit dengan tangan gemetar lalu meminumnya.
"Kamu kenapa belum pergi kerja?"
Radit melirik jam yang melingkar di tangannya, lalu tersenyum, "Masih setengah delapan. Ke kantor kan sepuluh menit juga sampe pak."
Anwar menganggukkan kepalanya.
"Sudah sarapan, Dit?"
"Sudah, Pak."
"Hmm, Radit pergi sekarang ya, Pak? Kalau ada apa-apa, telpon Radit aja."
Anwar menganggukkan kepalanya. Radit mencium tangan ayahnya, dan berjalan keluar dari kamar ayahnya.
Radit menuruni tangga, memastikan bahwa rumahnya sudah aman, kompor sudah mati, kemudian menutup pintu dan melajukan motornya. Radit hanya tinggal berdua dengan Ayahnya.
Ibunya meninggal ketika ia masih SMA. Semenjak itu pula Radit terbiasa mengurus semuanya sendiri. Mengurus ayahnya, rumahnya, dan dirinya. Lelah? Tentu saja. Tetapi senyuman ayahnya adalah bahagianya.
*****
"Makasih ya, Tika."
Tika tersenyum seraya mengambil uang dua puluh ribu yang diberikan oleh salah satu penumpangnya. Lumayan ... sehari dapat delapan puluh ribu dari hasil ngojeknya pagi ini, bisa ia gunakan untuk makan hari ini. Meski terkadang Tika memilih untuk berpuasa agar bisa menghemat uangnya sebagian. Semua karena hutang yang harus ditanggungnya.
Dulu, ayah Tika sakit-sakitan. Tabungan orang tuanya habis untuk biaya berobat ayahnya. Namun penyakit ayahnya tak kunjung sembuh. Karena sudah tidak ada biaya lagi untuk berobat, akhirnya Kartika meminjam uang ke rentenir untuk membayar biaya Rumah Sakit. Ayahnya memang memiliki jaminan kesehatan, akan tetapi Rumah Sakit malah memulangkan ayahnya dan menyuruh ayahnya kembali dua minggu lagi sementara saat itu kondisi ayahnya sedang sekarat. Maka Tika memilih meminjam uang untuk biaya berobat ayahnya. Meskipun pada akhirnya sang ayah meninggal, dan meninggalkan tumpukan hutang, tapi tidak apa-apa ... Setidaknya Kartika sudah berusaha untuk kesembuhan ayahnya. Karena bagaimana pun manusia memang hanyalah bisa berusaha, tetaplah Tuhan yang menentukan bagaimana akhirnya.
Tika meminjam uang ke rentenir yang sialnya hobi sekali memburu Tika setiap harinya. Sudah berulangkali ia pindah tempat kost, tetapi tetap saja para penagih hutang itu bisa menemukannya.
Menyebalkan bukan, dikejar-kejar hutang lebih menyeramkan dari pada dikejar-kejar setan.
Masih mending setan, kalau kita membaca do'a, dia pergi. Lah penagih hutang? Hanya akan pergi ketika Tika memberikannya setumpuk uang. Itu pun pergi hari itu saja, besoknya datang lagi penagih yang lain. Terkadang ia benar-benar frustasi, bagaimana caranya untuk melunasi semua hutang yang dimiliki.
Kartika menyudahi lamunannya tentang betapa miris nasibnya. Ia melihat jam di tangannya, masih pukul sepuluh. Kartika kembali memacu sepeda motornya, setelah menjadi tukang ojek, ia akan menjadi tukang pijat bayi.
*****
"Radit ... minta data yang kemarin dikasih pusat."
Radit menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. Baru saja ia hendak bersantai setelah mengetik banyaknya laporan, sudah ada pekerjaan yang baru lagi. tsk! Nasib bekerja hanya menjadi admin ya begini.
"Sabar atuh, Dit. Pikirin duitnya, lumayan kan buat rokok," sahut Dimas, rekannya.
"Saya nggak ngerokok, Dimas."
"Ya, nggak sering," kekeh Dimas.
Radit tertawa, "Senggaknya sebulan sekali bisa dihitung lah berapa kali saya ngerokok."
Dimas mengangkat bahunya, "Awet deh duit kamu," sahutnya.
"Nggak juga. Saya kan Aa rumah tangga. Duitnya ya dipake buat kebutuhan Rumah Tangga."
Dimas mengangguk-anggukkan kepalanya, "Bener juga. Harga beras sekarang berapa Dit?"
Radit melemparkan gulungan kertas tepat pada wajah Dimas. Memang temannya yang satu itu selalu meledeknya dengan bertanya harga-harga sembako. Tentu saja Radit tahu, "Lagi pake yang sepuluh ribu di rumah. Lumayan bagus."
"Pandan wangi berapa sekarang Dit?" Inun ikut-ikutan bergabung, Radit memutar matanya,"Sebelas ribu!"
"Kurma berapa kurma?"
Nah, sekarang malah manajernya yang bertanya.
"Sekalian aja tanya harga daleman di pasar Baru. Bisa sekalian diobralin di sini kalau mau," gerutunya. Mengundang tawa dari semua orang yang berada di sana.
*****
"Tika ... ada dua ratus lagi. Sore ini harus bisa kirim."
Baru saja Tika hendak mengambil kaos dan membuang seluruh benang yang masih menjuntai dan belum terlihat rapi, bosnya sudah datang dan memberikan sebuah kabar buruk untuknya. Tika mengangguk, "Siap om!" sahutnya.
"Oh iya, liatin juga ya bagian leher. Takutnya ada yang jebol jahitannya. Kebetulan pinggirannya juga nggak di obras, sekalian kamu lurusin sama bagian tangannya ya," perintahnya lagi.
Tika kembali mengangguk, tidak ada jalan lain lagi baginya selain menurut dan mengerjakan pekerjaannya dengan patuh. Ia hanya seorang karyawan yang bekerja di bawah telunjuk bosnya, jadi ia memang harus mematuhi dan melaksanakan apa yang sudah diperintahkan.
Ini juga pekerjaan Tika yang lain. Setelah menjadi tukang ojek, lalu tukang pijat bayi, dan sekarang kerja di Konveksi. Tika hanya bekera selama tiga jam di konveksi ini, yang bertugas membuang seluruh benang yang masih ada di bagian leher dan bagian jahitan paling bawah baju.
Tiga jam, dua ratus kaos, dengan beberapa bagian yang harus Tika periksa dengan baik.
Kalau saja Tika tidak ingat akan uang yang akan didapatkannya, Tika pasti sudah kabur dari tempat ini. Sudah nasibnya harus seperti ini. Maka dari itu, kini Tika tengah berusaha membangun nasib yang lebih baik lagi untuk dirinya. Karena Tika percaya bahwa apa yang selama ini dijalaninya adalah langkah awal baginya untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Kartika mempercayai itu begitu yakin dalam hatinya.
****
"Tugas udah belum?" baru saja memarkirkan sepeda motornya, Radit sudah diseroboti pertanyaan seputar tugas yang membuat kepalanya ingin hancur berkeping-keping.
"Tugas yang mana?" tanya Radit.
"Analisis APBN selama lima tahun terakhir. Hari ini dikumpulin." sahut Burhan.
Radit membuang napasnya kasar,"Banyak kerjaan nih, pusing. Tugas belum selesai, nggak inget sama sekali."
"Ya ... sebenernya sebagai mahasiswa kelas karyawan, kita udah banyak keringanan Dit. Kalau masih aja nggak beres, tuh dosen pasti bilang ... resiko kamu, mau kuliah sambil kerja. Nah loh! gimana tuh?"
Radit mengangguk setuju, "Iya juga. Bodo ah. Pasrah aja."
"Ya udah, kita ke kelas sekarang. Udah jam lima lebih."
Benar juga, jam masuk kelas sudah hampir dimulai. Radit mengunci motornya dan berjalan menyusuri parkiran. Baru saja sampai di pintu masuk kampusnya, Tika sudah melambaikan tangan kepadanya dan tersenyum.
"Hai, Kak Radit." sapanya dengan suara yang riang.
Radit tertawa, "Hai dirimu. Kok lesu banget?" tanyanya.
"Buset, badan aku kaaak. Encok parah. Kebayang dong! Buangin benang dua ratus kaos! Belum di QC nya, belum dilipetnya. Ah ... Adek lelah," adunya.
Dasaar ...
Radit mengacak rambut Tika, "Makanya. Kerja tuh di satu tempat," sahutnya. Tika hanya tersenyum tipis, sambil mencoba menenangkan laju jantungnya.
Radit menatap Tika, meringis karena tubuh Tika yang semakin kurus. Tetapi ia membuang jauh-jauh ekspresinya, karena Tika tidak suka dikasihani.
"Kamu masih ngojek?" tanya Radit lagi.
"Masih lah kak! Kalau nggak ngojek, aku dapet uang darimana? Kak Radit mau bantuin aku ngepet?" candanya.
Radit tertawa,"Kamu aja yang keliling, aku jaga lilin."
"Idih, enak bener. Dimana-mana, cowok yang berjuang. Cewek nunggu."
"Benar juga! Kan aku kakakmu ya, Dek? Masa iya, aku yang memberdayakan kamu"
Radit mengucapkannya seraya tertawa, tertawa dengan keras.
Sementara Tika tidak.
Ia hanya tersenyum.
Selebihnya hatinya berdarah, teriris dengan perih karena Radit selalu saja menganggapnya seorang adik.
Padahal ... saudara saja bukan.
Tidak apa-apa, hidup itu perih Tikaaa ...
TBC
bismillahirrahmanirrahim ...
HALLOOOOWWWWW SAYANG SAYANGKU APAKABAR CINTAAA?
AAAKKKK AKU KANGEN NGERUSUH DI NOTIF KALIAN.
AKU KANGEN MENEBAR KEREWELAN DI LAPAK WKWKWK
Btw ini cerita baru aku.
INGAT! Bahwa hidup itu keras wkwk
Dulu ada yang request, beberapa orang minta kalau ceritanya dari manusia biasa aja. NIH AKU KASIH. SI RADIT YANG JADI ADMIN DI KANTOR DAN TIKA YANG KERJANYA SERABUTAN.
Udah baca prolognya? Nyesek ya? hahaha
Itumah prolog aja, kesananya mungkin aja ngakak sampe bersin kan bhahahaha
Aduh kangen banget ini cuap-cuap begini.
Sekarang aku kembali tempur di wattpad ders.. SEMANGAT SEMANGAT.
Untuk cover, udah tiga kali ganti bhahahaha maaf aku pusying soalnya :D
Dan untuk genre, tadinya mau humor lah masa humor si prolognya begitu. mau romance, ah kok romance terus, dan akhirnya jatuh pilihan pada chicklit.
Jadi yang belum tau, chicklit itu menceritakan pada perjuangan seorang wanita gitu ders. Tetep ada romance nya kok, bahasanya juga lbh bebas. Ya gitu lah pokoknya bhahahaha
Buat part ini, aku kasih pengenalan kegiatan mereka dulu.
Tika yang kerja serabutan, sama Radit yang kerja dan jadi aa rumah tangga *UHUK!
Ya udah, sampe jumpa part depan.
Daaah ...
AKU SAYANG KALIAAAAN :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro