Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 2


Sebelumnya aku ingin meminta maaf karena apdetan yang lamaaa bangeeet...🙇‍♀️🙇‍♀️

Dan terimakasih buat kalian yang masih setia nungguin part selanjutnya. Bukan disengaja, tapi keadaan yang sulit dijelaskan 😁😁

Authornya sekarang lagi (uueek...uueekk..uueekk) jadi harap maklum. Moodnya susah dapat. Apalagi sekarang sudah hampir memasuki bulannya. Perasaan bercampur antara penasaran (efek anak pertama) dan parno. Semoga semua lancar-lancar (mohon doanya) dan moodnya selalu ada, jadi part selanjutnya bisa cepat dipublish...

Yang kesal karena lama nungguin, mohon maaf ya🥰🥰🥰

Part yang ini agak lebih panjang dari part sebelumnya. Semoga kalian suka. Jangan lupa vote dan komen selalu...

Selamat membaca😘😘😘











Larisa serius menjalankan hukumannya. Sejuta kata maaf tidak berguna di telinganya. Ketika aku berbicara, ia menganggapku makhluk halus, tidak terdengar dan tidak terlihat. Setiap pagi kami selalu bertemu saat sarapan. Larisa dengan wajah cueknya membuatku geram, geram ingin menarik kepalanya ke bawah ketiakku dan memaksanya membuka blokiran kontak namaku di ponselnya.

"Kamu serius nggak mau kerja di kantor papa, Sa?" tanya tante Becca sembari menuangkan jus jeruk ke gelasnya. Aku, om Hanun dan Tante Becca sudah lebih dulu berada di meja makan, Larisa terlambat. Aku tahu dia sengaja, mungkin kekesalannya padaku belum reda. Tak ada yang mau bertanya kenapa, karena tahu Larissa akan memberi jawaban asal versinya. Masuk akal atau tidak, dia tidak perduli. Baginya, selama tidak merugikan siapapun tak masalah ia bertindak sesukanya.

"Untuk sekarang belum, Ma," ujarnya santai, kursi tempatnya biasa duduk berderit ketika ditarik. Ia duduk di sana, sedikitpun tidak melirikku. "Nggak papa kan, Pa?" Kedikan bahu om Hanun sebagai jawaban. "Isa, pengin fokus buat kue aja. Jadi koki kudapan sangat menyenangkan. Lagipula di kantor aku belum terlalu dibutuhkan." Beberapa bulan lalu Larisa lulus kuliah. Kelihatannya walau lulusan bisnis, ia lebih senang memasak kue. Larisa memang hobi membuat kue. Kuakui kue buatannya sangat enak. Tak jarang aku disogok dengan kue-kue buatannya itu. Ketika melihatnya memanggang kue di dapur dengan celemek terikat di leher dan bertelanjang kaki, pikiranku melanglang buana entah kemana. Apalagi ketika sebagian sulur rambutnya basah karena keringat, melekat di kening dan pipinya. Aku harus jujur, saat itu kue-kue lezat itu tak ada apa-apanya.
"Aku sudah menemukan toko yang cocok, aku akan bekerja di sana."

"Kalau masih hal yang positif," mulai om Hanun, sarapannya hampir selesai. "Papa nggak akan larang. Di kantor masih ada Ben, biar dia yang handle. Suatu saat akan ada waktunya kamu ikut membantu, untuk sekarang kamu boleh melakukan hobimu."

"Makasih, Pa."

Selama aku mengenal om Hanun, beliau merupakan orang yang bijaksana. Sifatnya tidak memaksa. Sama seperti yang dilakukannya pada Larisa, aku pun tidak pernah dipaksa bekerja di perusahaannya. Atas kemauanku sendiri aku ikut membantu.

Sarapan akhirnya selesai dengan menyisakan aku dan Larisa di meja makan. Om Hanun dan Tante Becca sudah pergi dengan urusannya masing-masing. Sebenarnya nasi di piringku sudah habis sejak tadi. Aku memang sengaja tidak meninggalkan meja makan, aku ingin bicara berdua dengan nona yang suka merajuk ini. Larisa bisa benar-benar mengabaikanku, padahal aku duduk tepat di depannya.

Aku berdehem, awalnya pelan kemudian semakin kuat.

Suara kunyahan sereal di mulut Larisa terdengar berisik, seoalnya ia sengaja melakukannya. Ia menyuapkan sereal bercampur susu ke mulut sembari memperhatikan ponsel. Hari ini adalah hari ke empat dia pura-pura tidak melihatku.

"Nggak baik makan sambil main hape, Sa." Usiaku dan Larisa terpaut enam tahun, lumayan banyak. Jadi jika dia bersikap manja padaku aku bisa memakluminya, sedari kecil dia memang begitu. Hingga kemudian terbawa sampai sekarang.

Demi Tuhan, dia tidak mendengarku. Atau dia mendengar, tapi pura-pura tidak sadar. Kunyahan serealnya malah tambah berisik. Sesekali bola matanya membulat menatap ponsel sambil giginya menggigit sendok. "Ck, ck," ia berdecak melihat apa yang ada di benda tipis tersebut.

''Sa!"

"Ya, ampun!" Lagi-lagi karena apa yang dilihatnya di ponsel.

"Sampai kapan kamu marah sama kakak?"

Krik...krik...krik

"Udah hampir seminggu, Sa."

"Kok bisa, ya?"

"Kakak udah minta maaf, Larisa. Kamu mau kakak bagaimana supaya blokiran itu kamu buka?"

Krik..krik...krik

"Kakak janji nggak akan mengulangi kesalahan yang sama. Sekarang kamu buka blokirannya ya, Sa."

Kali ini Larisa menggeleng, masih tidak mau melihatku dan dengan tatapan fokus ke benda sialan di tangannya. "Laki-laki jaman sekarang, gampang banget buat janji." Benda di tangannya berdering. "Ya, Nic? Oh ok ok, aku OTW." Larisa meninggalkan mangkuk serealnya yang masih berisi dan juga...aku.

Aku terpelongo begitu dia hilang dari pandanganku. Entah kenapa aku merasa sindiran Larisa tadi bukan ditujukan untuk orang yang ada di ponselnya. Kalau begitu untuk siapa? Dan siapa itu Nic?

*****

"Tumben terlambat." Belum ada lima menit aku duduk di kursiku, Alice datang. "Butuh secangkir kopi?"

Aku yakin itulah yang terlihat di wajahku saat ini. Sesudah Larisa menyebut nama Nic, aku segera mengejarnya. Tapi Larisa sudah masuk ke BMWnya dan melaju keluar pagar. Nama Nic membuat pikiranku tidak tenang. Setahuku Larisa tidak punya teman dekat laki-laki. Caranya memanggil nama laki-laki itu, seakan mereka sudah sering berbicara. Di dalam perjalanan ke kantor pun, hal tersebut masih memenuhi isi kepalaku.

"Boleh!" Menganggukkan kepala, tanganku bergerak melonggarkan dasi yang terasa seperti mencekikku.

Sebelah alis Alice terangkat, begitupun bibirnya. "Ada masalah dengan tuan putri?"

"Hah?" tatapanku naik menatap wajahnya, Alice melebarkan senyum. Dia tahu bagaimana aku memperlakukan Larisa dan bagaimana Larisa sangat manja padaku. Kugelengkan kepala. "Hanya kurang tidur saja."

"Oh!"

"Kapan jadwalku ke pabrik?" Lebih baik menyibukkan diri dengan pekerjaan daripada terus memikirkan Larisa.

"Lusa, Ben. Hari ini kamu harus makan siang dengan investor baru yang minggu lalu kita bicarakan."

Jam makan siang masih lama. "Kunjungan ke pabrik majukan saja, pagi ini kita pergi. Masih ada waktu untuk makan siang dengan investor."

"Baiklah!"

Aku membiarkan Alice yang menyetir, lagipula dia senang melakukannya. Sambil mengobrol dengannya aku mencoba menelepon Larisa, hasilnya masih sama. Tanpa kusadari aku menghela napas, Larisa sangat keras kepala.

Kurasakan tatapan Alice terhadapku. "Lagi ada masalah? Jujur saja, Ben. Kamu menganggapku seperti orang lain saja. Kita udah lama berteman. Kamu bisa cerita."

"Bukan apa-apa, Lice!"

"Baiklah, kalau kamu nggak mau cerita."

Kami tiba di pabrik. Alice memarkir mobil di parkiran khusus staf. Aku turun lebih dulu. Dengan kedua tangan di saku, pandanganku memindai bangunan di hadapanku. Sejak lulus kuliah, aku sering kesini. Bahkan saat masih di sekolah menengahpun om Hanun sering membawaku. Ia mengenalkanku pada bebeberapa orang yang setia bekerja untuknya, dan memberitahuku proses kerja pabrik. Aku menyukai kegiatan tersebut, bagiku hal itu merupakan sebuah pembelajaran dan menjadi pengalaman.

Setelah Alice berdiri di sampingku, kami berjalan bersama masuk ke pabrik. Sepatu Alice berbunyi saat menapak lanti, rok pensilnya yang ketat tak menyulitkannya melangkah. Ia tampil sempurna untuk seorang sekretaris. Dagunya terangkat tinggi, namun sengaja berjalan sedikit di belakangku.

Ran, salah satu staf di pabrik, terlihat senang ketika melihatku. Ran juga temanku semasa sekolah. Ia menghampiriku dan Alice.

"Kebetulan kamu datang, Ben!" Rautnya berubah kesal. "Gihon membuat kembali bertingkah."

"Gihon?" Aku menoleh ke samping, meminta jawaban pada Alice.

"Aku nggak tahu Gihon ada di pabrik, Ben."

Perhatianku kembali ke Ran. "Apa yang dilakukannya?"

"Sebaiknya kamu masuk supaya melihatnya sendiri. Ada pekerja yang melakukan kesalahan kecil. Menurutku bukan kesalahan fatal, masih bisa diperbaiki hanya dengan peringatan. Tapi Gihon memaki seperti orang gila. Kamu tahu sendiri bagaimana Gihon. Dia selalu bersikap seakan pabrik ini miliknya. Aku sudah berusaha menenangkannya dan memberi penjelasan, tapi aku yang hanya staf biasa nggak punya kuasa melarangnya. Egonya terluka jika orang sepertiku menasehatinya."

Kutinggalkan Ran setelah kalimat terakhirnya, Alice mengikutiku, berusaha mensejajarkan langkah kakiku yang panjang. Di belakangku Alice terkesiap melihat Gihon menampar pekerja berseragam biru muda. Aku juga melihatnya. Kakiku berhenti berjalan, aku ingin melihat sejauh mana tindakan Gihon.

"Kau dipecat!" Teriak Gihon.

Wanita itu menangis. "Tolong jangan pecat saya, Pak. Saya punya anak yang harus diberi makan. Lagipula yang terjadi tadi tidak sepenuhnya salah saya, mesinnya memang bermasalah. Saya juga tidak mengerti kenapa bisa begitu."

"Jangan menyalahkan mesin, tolol." Pelototan Gihon membuat wanita berurai airmata tersebut semakin menciut. "Otakmu yang salah."

"Mesinnya sudah sering seperti itu, pak. Kalau tidak percaya, tanya pekerja lain. Saya tidak mengada-ada, pak."

"Maksudmu aku yang tidak merawat mesin-mesin ini? Hah?" Gihon berkacak pinggang. "Kau manusia tidak berguna, pabrik ini tidak memperkerjakan manusia tolol sepertimu. Mulai sekarang kau dipecat! Kau dipecat."

Wanita itu mulai menangis lagi, ia seakan ingin bicara namun urung. Kemudian ia menunduk dengan tangan terlipat di perut. Kuduga usianya di awal tigapuluhan.

Perlahan aku mendekati mereka, pekerja lain tidak ada yang berani membuka suara. Pilihan hanya diam, kalau tidak akan bernasib sama dengan wanita itu.

"Tidak ada yang dipecat sebelum aku memeriksa apa sebenarnya yang terjadi," suaraku membuat dua dua orang itu menoleh. Tatapan Gihon berubah garang. Aku tidak takut padanya. "Siapa namamu?" tanyaku pada si wanita.

"Desy, Pak."

Aku mengangguk. "Biar aku yang mengurusnya, Gihon."

Gihon tidak terima. "Aku sudah memecatnya," ujarnya dingin.

"Aku yang memutuskan," balasku tak kalah dingin. "Posisiku lebih tinggi darimu, kalau kau lupa."

Aku tak mungkin melewatkan tangannya yang terkepal. "Kau akan membuat pabrik ini bangkrut jika memperkerjakan orang-orang tolol."

"Aku tidak bilang mempertahankannya begitu saja. Aku akan memastikan dia bersalah lebih dulu. Pekerja juga punya hak, kita tidak boleh asal memecat mereka."

Dengusan keluar dari mulut Gihon. "Teruslah berlagak seperti malaikat, kau sangat ahli melakukannya." Ia pergi sambil menggerutu, aku mengabaikannya.

Alice kusuruh membawa Desy ke ruanganku yang biasa kupakai saat datang ke pabrik. Sementara itu aku ke ruang produksi. Ada beberapa pekerja yang sedang beristirahat.

''Selamat pagi, Pak."

Aku mengangguk. "Kalian menyaksikan apa yang terjadi pada Desy tadi?" Mereka diam, ada yang saling sikut. Jelas sekali mereka takut. "Katakan saja yang sebenarnya, saya tidak akan memecat siapa yang mau berkata jujur. Sebenarnya apa yang terjadi?" Ketika mereka masih diam, aku merubah pertanyaanku. "Kalian mau orang yang tidak bersalah dipecat?" Semuanya menggeleng.

"Yang terjadi bukan salah Desy, pak." Akhirnya salah seorang dari mereka bicara. "Akhir-akhir ini mesin produksi memang sering rusak, semua prosesnya jadi lambat, bahkan berhenti tiba-tiba. Desy membuat beberapa produk rusak karena berusaha mencapai target. Sebab jika target tidak terpenuhi pak Gihon pasti marah-marah."

Selesai berbicara dengan beberapa pekerja, aku menemui Alice dan Desy. Penjelasan yang sama kudapat dari Desy. Kemudian aku menyuruhnya keluar dari ruanganku.

"Saya tidak dipecat, pak?" Matanya berbinar.

"Tidak. Kembalilah bekerja."

"Terimakasih, pak."

"Kenapa tidak ada yang memberitahuku kalau mesin di pabrik sudah banyak yang rusak?" Yang kuingat aku pernah menandatangani proposal untuk mencairkan uang membeli mesin produksi.

"Belum ada dua tahun kita mengganti mesin-mesin produksi, Ben?" Terang Alice, juga sedikit bingung.

"Siapa yang menghandle proyek itu?"

"Gihon."

"Dia belum menggantinya."

"Gihon pasti berpikir nggak ada orang yang tahu, Ben."

"Gihon harus mengembalikan uang itu. Jika tidak dia harus keluar."

****

Pertemuan dengan investor baru berjalan dengan baik. Setelah makan siang kami membicarakan peluang-peluang yang akan mendatangkan keuntungan besar pada mereka jika mau berinvestasi di Gahanu grup.

Alice banyak membantu. Cara berbicaranya yang cerdas dan pemikirannya yang luar biasa, mampu meyakinkan pihak investor. Mereka setuju menanamkan modal pada kami.

Pertemuan tersebut sampai sore. Aku dan Alice tidak kembali ke kantor. Alice kuantar lebih dulu baru kemudian aku pulang.

Di garasi hanya ada mobil Larisa. Aku melewati pintu utama, dan langsung mencium aroma lezat kue. Larisa pasti sedang beraksi di dapur.

Tas kerjaku kuletakkan di sofa, kuhampiri dirinya di dapur.

"Sore, cantik." Senyuman andalanku tersungging, berharap ia luluh. Seperti biasa saat di dapur memasak kue, Larisa selalu bertelanjang kaki. Celemek andalannya tergantung di leher. Kali ini tak ada rambut yang terlepas dari ikatannya.

"Sore!"

Nada suaranya masih cuek. Walau begitu, kucoba mendekatinya lagi. "Aku mencium aroma kue lezat." Sengaja aku mengendus-endus di dekat wajahnya. Open pemanggang berisi kepingan kue berwarna coklat.

"Itu karena aku sedang memanggang kue. Kalau memanggang daging pasti bukan aroma kue yang tercium." Dingin sekali. Larisa bertubuh mungil, berwajah manis dan berkulit putih bersih. Aku tidak tahu dimana dirinya menyembunyikan tanduk.

"Ada yang bisa kucicipi?" Dia diam. Itu berarti aku dijinkan. Ada kue yang sudah masak di atas meja. Kuambil beberapa keping. "Bentuknya cantik. Sama seperti gadis yang membuatnya."

"Hhmm."

"Rasanya juga enak, Sa." Yang ditanganku sudah masuk semua ke mulut. Ketika aku akan mengambil kepingan lain Larisa memukul tanganku.

"Jangan banyak-banyak."

"Ya ampun, Sa. Biasanya kakak boleh makan sepuasnya." Lagi-lagi dia diam. "Kamu orangnya pendemdam, ya!" Segera aku memperoleh pelototannya. "Kakak udah minta maaf, udah berjanji nggak akan mengulangi kesalahan yang sama. Tapi kamu masih nggak mau maafin kakak."

Membasuh tangannya dengan air, Larisa mengeluarkan kue dari open. "Baiklah, aku maafin kakak."

"Buka blokiran, ya!"

"Itu beda."

"Berarti maaf kamu nggak tulus."

"Iya. Iya. Nanti kubuka!" Ia membersihkan loyang yang kosong kemudian memperhatikanku. "Tapi kakak harus janji, kakak mesti cerita kalau punya pacar."

"Kenapa?"

"Nggak kenapa-napa! Itu adalah syaratnya."

"Kalau kakak nggak mau?"

"Aku maksa!"

"Gunanya buat kamu apa, Sa?"

"Nggak ada!"

"Lah, terus?"

"Kakak mau blokirannya dibuka atau nggak?"

Kalau sudah seperti itu, aku tidak punya pilihan lain.


*****


"Kakak lagi ngapain?" Larisa membuka pintu kamarku sedikit, wajahnya yang tidak cuek lagi mengintip di sela pintu.

"Nggak ngapa-ngapain." Aku sedang membalas email sambil menonton TV. Aku bangkit dari posisi tiduranku. Sejak Larisa melancarkan aksi diamnya, dia tak pernah datang ke kamarku. Dalam malam ini dia datang, jujur aku senang. "Masuk, Sa."

"Aku bawakan coklat panas dengan roti coklat." Sebuah nampan berada di tangannya. Larisa mengenakan selop rumah dan piyama biru langit. Rambutnya dibiarkan terurai. Ia tampak manis. "Issa letakkan dimeja, ya."

"Makasih, Sa."

"Sama-sama."

"Kamu mau kemana?" Tanyaku saat dia berjalan menuju pintu. Kupikir dia akan menemaniku di sini, hal yang biasa dilakukannya ketika tak ada pekerjaan lain.

"Issa ada janji sama teman, kak."

"Malam-malam begini?" Aku tahu nada suaraku aneh, dan sekarang masih pukul setengah delapan. "Temanmu yang mana?"

"Kakak belum kenal, tapi..."

"Nggak boleh!"

"Bentar aja, kak."

"Laki-laki atau perempuan?"

"Laki-laki."

"Nggak boleh."

"Kak."

"Om dan Tante belum pulang, kakak nggak mau ngarang-ngarang alasan saat nanti mereka tanya kamu dimana." Tentu saja itu mengada-ada.

"Kakak nggak usah bohong, bilang aja aku pergi bertemu teman."

"Tetap nggak boleh."

"Kak.

"Nggak boleh, Issa."

Kakinya menghentak di lantai. "Pokoknya aku mau pergi."

"Kamu pergi kakak marah." Semoga dia takut. Demi apa aku bisa marah pada Larissa.

"Terserah!!!" Aku sudah menduga Larisa tidak takut.

*****


Larisa masih di kamar saat temannya datang. Tentu saja temannya itu laki-laki. Berkacamata dan bertubuh kurus. Kuakui wajahnya lumayan.

"Larissanya ada, Om?"

Aku mengerjap. Inginnya aku mengkorek kupingku demi memastikan bahwa aku tidak salah dengar apa yang dikatakan pemuda berkaca mata ini. Dia memanggilku om?

"Kamu siapa?" Tak kubiarkan dia masuk. Pintu kubuka setengah, dengan tanganku menghalanginya masuk. Di belakangnya terparkir mobil sport mengkilap.

''Nama saya Nicky, Om. Saya temannya Larisa."

"Larissa nggak ada di rumah."

"Tapi barusan dia bilang sedang di rumah."

"Kamu telat! Dia sudah pergi."

"Sama siapa, Om?"

"Mana kutahu! Sebaiknya kamu pulang."

"Yaudah, Om. Saya permisi."

"Hm." Pintu kukunci, saat itulah Larisa datang.

"Teman Issa udah datang ya, kak?"

"Udah pulang."

"Loh?"

"Dia berubah pikiran." Aku juga tidak tahu pikiran apa yang berubah.

"Kok gitu?"

''Mana kakak tahu." Aku mengendikkan bahu sambil meninggalkan pintu, dalam hati tersenyum senang. Rupanya Larisa tidak percaya, ia mengejarku.

"Kakak mengusir Nicky, ya?"

"Kakak nggak suka dengan temanmu itu, Sa."

Kepalan tangannya mendarat di punggungku. "Aku nggak suka Alice, tapi kakak masih bertemu dengannya."

Oke, dia tidak bermain adil. "Alice sekretarisku, Sa. Kami bekerja sama."

"Nicky temanku." Larisa berkeras.

"Si kacamata itu memanggilku om, aku ngak suka."

"Alice menyebutku manja!" Ia bersedekap. "Aku juga nggak suka."

"Kamu kan memang sedikit manja, Sa."

Raut wajahnya berubah. Baiklah aku salah bicara. Ada asap di sekitar kepalanya. "Memang kakak pikir kakak nggak mirip om-om?"

Astaga! Sedikitpun dia tidak mau kalah.






Bersambung....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro