Chapter 7
Wanita berdaster itu terkejut bukan main saat melihat dua orang berseragam SMA berada di depannya dengan parsel buah di tangan yang berjenis kelamin perempuan. Ia rasa mereka salah alamat, tetapi saat yang laki-laki mengatakan mereka adalah teman Axa, ia kembali terkejut.
"Kalian nggak bohong, kan?" tanya Reemar penuh selidik.
"Enggaklah, Bu. Kita teman sekelas Axa. Udah tiga hari dia nggak masuk, jadi kami perwakilan kelas ingin menjenguk Axa."
Reemar tidak pernah kedatangan tamu yang mengaku teman Axa sebelumnya. Sejak teman satu SMP anaknya itu bertengkar dengan Axa, sepertinya tidak ada lagi yang datang. Walaupun masih syok, wanita yang sebentar lagi berkepala empat itu membawa keduanya masuk. Menyuruhnya duduk di ruang tamu, selagi ia pergi ke kamar Axa untuk memberitahu kabar bahwa ada temannya yang datang.
Perempuan itu masih tertidur ketika Reemar masuk ke kamar, tetapi sepertinya ia terusik dan membuka mata mendapati sang ibu berjalan mendekatinya. Pertama yang dilakukannya pada Axa adalah menyentuh dahi, mengecek suhu, apa sudah ada perubahan setelah pemberian obat panas selama tiga hari ini.
Sudah mendingan, pikir wanita itu merasakan suhunya turun. "Xa, kok enggak cerita akhirnya punya teman?"
Axa bingung terhadap pertanyaan itu. Apa maksud ibunya berucap demikian? hatinya membatin.
"Maksud Mama apa?"
"Tuh, ada teman kamu datang mau nengokin."
Axa buru-buru bangkit dan berjalan keluar, matanya terbelalak melihat Mita dan Radit yang juga melihatnya terkejut. Reemar menyusul dari belakang.
"Nih, anak kenapa tiba-tiba bangun terus lari begitu dah," monolognya.
Mita dan Radit melihat Axa yang tiba-tiba datang masih dengan baju tidur dan wajah kusut khas baru bangun tidur. Belum lagi rambut Axa yang acak-acakan, karena sedari sakit Axa tidak memperdulikan penampilannya.
"Loh, kok langsung bangun, Xa?" tanya Radit memecah kondisi saling tatap-tatapan tidak jelas yang terjadi sudah beberapa detik itu.
Axa masih pucat dan lemas, tetapi kabar yang dibawa sang ibu terlampau mengejutkan. Ia tidak mengerti dengan pikiran kedua manusia itu, sudah lebih dari dua tahun mereka sekelas, ini juga bukan yang pertama kali Axa sakit, tetapi baru kali ini ada yang datang.
"Kenapa datang?"
"Mau jenguk Axa-lah," Mita menjawab.
"Gak perlu. Udah pulang sana."
Reemar mendengar itu langsung heran, "kenapa? Kok temannya datang malah diusir."
"Axa nggak suka mereka di sini, Ma. Usir aja!"
Axa kembali masuk ke kamar dan sengaja membanting pintunya dengan keras. Ia tidak senang seperti namanya, malahan merasa kesal. Apa ini semata karena pameran itu, Axa sungguh tidak mengerti. Ia juga tidak menerima semua keadaan yang mendadak ini.
°°°
"Haduh, saya tidak mengira Axa bakalan berbicara seperti tadi, maaf ya, Nak."
Mita menggeleng, ia merasa itu biasa saja mengingat Axa memang sering berbicara seperti tadi. "Enggak apa-apa, kok, Bu. Mungkin Axa kesal kami mengganggu istirahatnya."
"Bukan, ini pasti karena ia masih trauma akan masa lalunya."
Radit dan Axa saling berpandangan. Fakta baru yang mereka dengar itu membuat mereka seketika menatap Reemar penasaran. Tahu mereka ingin cerita lebih lanjut, Reemar mengehela napas berat. Ini akan sulit, dan pastinya Axa tidak akan terima ia menceritakan hal tersebut pada mereka. Namun, siapa yang akan mengerti tingkah anaknya itu bila alasannya tidak diberitahu?
"Semua karena kesalahpahaman."
Siang itu, Reemar menceritakan kisah yang mengakibatkan Axa bisa seperti itu.
---
"
Masih marah?" Axa memalingkan wajah begitu Reemar masuk ke kamarnya.
Waktu sudah menunjukkan tidak lagi siang, dari jendela terpancar cahaya jingga. Sudah berapa lama Axa mendekam dalam kamar? pikir gadis itu, ia malas keluar takut Mita dan Radit masih di sana. Ia sungguh kesal dengan ibunya yang malah menerima mereka ke rumah.
"Xa, kamu nggak boleh begitu. Mereka baik, kok. Nggak semua orang sama seperti Irene."
Axa berdecak tidak suka saat nama itu kembali ia dengar. Ia benci. Ia tidak salah, ia yakin. Sebab apa yang dituduhkan Irene pada saat itu hanya kekeliruan dan bahkan gadis itu tidak menerima penjelasannya. Ia benci. Dari banyaknya teman SMP Axa, tidak satu pun ada membela dirinya. Dan itu cukup bagi Axa untuk tidak mempercayainya yang namanya manusia. Ya ... Kecuali orang tua dan dirinya sendiri.
"Mama lihat mereka benar-benar tulus peduli sama ka--"
"Mama nggak ngerti! Axa yang ngejalanin, Axa yang di-bully. Mama nggak tahu rasanya ditatap jijik!" teriak Axa frustasi.
Reemar mengerti ketakutan Axa, tetapi ia juga tidak ingin anaknya itu terlarut-larut dalam ketakutan itu. Ia percaya bahwa masih ada yang akan menerima Axa apa adanya. Manusia memang banyak yang jahat, tetapi pasti ada juga yang baik.
"Sudah selama ini, Xa. Kamu enggak capek terus sendiri?"
"Nggak."
Punya anak keras kepala memang harus punya kesabaran ekstra. Reemar menatap Axa dengan muka memelas. "Kali ini aja, Xa. Coba berikan kesempatan pada orang lain untuk memahami dirimu."
Axa diam, ia tidak ingin berurusan dengan drama manusia. Pasti nanti di akhir dirinya yang jadi korban, diremehkan karena tidak memiliki penampilan semenarik teman-teman yang lain, tidak pintar, tidak kaya, siapa yang mau berteman dengan manusia seperti itu? Cocoknya Axa jadi bahan ejekan saja.
"Mama mohon, sekali saja. Kalau memang mereka nyakitin kamu, mama yang akan turun tangan."
"Ma ... Axa masih takut."
"Kamu akan selamanya takut kalau tetap kayak gini. Ayo keluar mereka masih menunggu kamu dari tadi."
Axa tidak bergeming, tidak ada secuil pun niat ia menuruti ucapan ibunya. Ia tidak akan jatuh pada lubang yang sama, hanya keledai yang melakukan itu, pikirnya. Ia malah kembali merebahkan diri.
"Axa! Kok malah tidur lagi? Kalau gitu mereka Mama suruh masuk?"
Axa langsung terduduk. "Jangan, Ma." Memejamkan mata dan menarik napas, akhirnya Axa kalah. "Baik aku keluar."
Reemar tersenyum bahagia, ia bangga berhasil membujuk Axa si kepal bati itu. "Sebelumnya kamu rapihin dulu itu penampilan, anak gadis kok gitu."
Seketika Axa sadar dan tadinya ia sudah ingin membuka pintu berjalan berbalik dan menatap bayangan dirinya pada cermin yang lengket di lemari. Ia kembali sadar berarti tadi ia juga berpenampilan seperti itu keluar, bodohnya ia.
---
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro