Chapter 5
Hari berikutnya Axa berada di kelas dengan keadaan yang dibencinya. Ia harus kerja sama dengan beberapa teman sekelasnya untuk menyelesaikan lukisan dinding. Perempuan itu awalnya berniat mengerjakannya sendiri saja, tetapi sekali lagi Radit bilang ini harus dikerjakan bersama.
Empat kaleng cat minyak siap di sapu pada dinding. Kuas besar telah Axa pegang. Tangannya hendak mengoleskan pada dinding sebelum sebuah tangan mendahuluinya, warna yang disapukan ada hitam. Axa mengernyit, ia memandang tidak suka pada si pelaku.
"Seharusnya warna terang dulu, kalau hitam gitu 'kan jelek!" bentaknya tidak suka.
Nadine yang tadi mengecat menghentikan geraknya. Entah karena tau ia salah atau karena bentakan perempuan pendiam itu, yang jelas ia begitu terkejut.
"Kan sesuai rencana nanti juga dihitamkan, sih, Xa."
"Enggak gitu, seharusnya dilapisi warna dasar dulu. Ish, kamu!"
"Iya-iya salah, terus gimana ini?" Nadine mengalah, ia memang tidak terlalu mengerti tentang cat-mengecat.
"Ada tiner sama kain enggak terpakai, apus dulu itu."
Mita yang sedari tadi memperhatikan dan juga merupakan bagian tim mereka teringat kain bekas yang ada di lemari. "Ada-ada. Bentar aku ambil."
Siswi yang juga merupakan sekertaris kelas itu bergegas mengambil barang yang dimaksud.
Sedang di sisi lain, laki-laki yang seragamnya telah berantakan dan kancingnya sudah dilepas melihat itu dengan senyum lebar. Ia rasa itu langkah besar Axa akan bisa berbaur dengan teman sekelas. Kembali ia fokus membuat sebuah bingkai tempat nanti salah satu lukisan di pajang.
"Lihatin mulu, suka, ya?"
Saat hendak menyatukan satu bagian kayu dan lainnya dengan paku, Radit dikejutkan pertanyaan tersebut. Untung saja ia tidak latah, lantas malah memukul tangannya. Gio memang hobi sekali bicara tanpa aba-aba, rasanya Radit ingin sekali memukul kepala laki-laki itu dengan palu di tangannya.
"Ngagetin aja."
"Hidih, padahal aku biasa aja ngomongnya. Kecuali emang suka."
"Enggak. Nggak usah ngawur, kerja sono."
***
Padahal baru mulai, tetapi kerjaan Axa sudah banyak selesai. Kurang lebih sudah empat puluh persen rampung dalam empat jam pengerjaan. Ia tersenyum haru, ternyata bisa juga sejago itu. Ia menoleh ke samping kanan kirinya. Mita dan Nadine juga sama seperti dirinya, mengagumi hasil kerja mereka saat ini.
Perempuan itu mengakui bahwa ini bukannya hanya dirinya. Namun, juga mereka berdua yang membantu Axa. Padahal Axa sangat bossy, suka marah-marah padahal hanya kesalahan sedikit. Apa selama ini ialah yang terlalu cemas menghadapi teman-temannya? Pikir Axa.
"Cakep. Padahal aku 'tuh enggak pernah gambar sebagus ini," puji Mita memandang sketsa batik dan candi Borobudur di dinding tersebut.
"Hebat kamu, Xa. Pantes nilai seni selalu bagus." Kali ini pujian datang dari mulut Nadine dan mata berbinar itu melihat Axa kagum.
Ada yang aneh pada perasaan Axa mendapat perlakuan seperti itu. Rasanya seperti rindu yang terobati, atau tentang rasa senang atas pengakuan.
"Berlebihan. Biasa aja," tukas Axa menyembunyikan rasa senangnya. Ia tidak ingin terlalu bahagia dipuji, itu terlihat norak dan belum tentu Mita dan Nadine mengatakan jujur. Ya. Axa memang sulit sekali menerima hal baik, karena itu terlalu asing baginya.
"Axa, mah. Mau merendah untuk meninggi? Jelas cakep gitu kok."
"Hmm." Axa tidak ingin terlalu lama mendengar celoteh kedua orang itu, bisa-bisa ia menunjukkan semu di wajahnya kalau lebih lama mendengar ucapan manis itu. "Aku kamar mandi dulu."
Keadaan sekolah masih ramai meski waktu telah menunjukkan pukul lima sore. Semua kelas dua belas berlomba-lomba mempersiapkan pameran dengan sungguh-sungguh. Selama menelusuri koridor menuju kamar mandi, Axa hanya bisa menunduk. Takut-takut bila ada orang yang akan menatapnya. Sungguh ia benci ditatap, rasanya risi.
Kamar mandi perempuan tidak begitu jauh dari kelas, hanya terpaut empat ruangan. Begitu sampai ia segera membasuh wajahnya, ia sedari tadi sebenarnya mengantuk, sebab biasanya ia selalu tidur siang. Kini berkat acara ini, ia harus merelakan jam tidur siangnya lenyap.
"Weh, yang dibicarakan ternyata ada di sini." Suara cempreng yang Axa kenali membuat ia tersentak dan langsung menoleh ke belakang.
Tere mengernyit melihat respons dan ekspresi yang Axa berikan. "Biasa aja kali lihatnya."
Eca yang punya pertanyaan yang ingin ia sampaikan pada Axa mengambil tempat di sampingnya. "Pas. Selagi cuma kita-kita aja di sini. Aku mau tanya."
Ia menatap Axa penuh selidik membuatnya menjadi merinding. "Kau ada hubungan apa sama Radit?"
Eca dan dua temannya adalah biang gosip di kelas. Axa yakin setelah ini banyak teman-teman di kelas yang akan membicarakan dirinya. Ia rasa sudah cukup ia berada di sana, Mak tanpa menjawab pertanyaan Eca ia melengos pergi dari tempat itu.
Tentunya saja menerima sikap Axa yang begitu, siswi yang bertanya tadi kesal bukan main. "Kan aku cuma tanya, dih sombong amat, sih!"
Tidak terima ia menyusul Axa, diikuti oleh kedua teman Tere dan Febi yang mulai berfirasat buruk. Eca kalau sudah marah bakalan nekat untuk berantem sampai jambak-jambakan. Mereka berdua tidak ingin itu terjadi.
"Ca, jangan main-main." Febi berlari mengejar Eca.
Saat hendak masuk ke kelas sebuah tangan mencekalnya, ia menoleh tajam pada perempuan yang menunjukkan wajah kesalnya. "Sombong amat, sih. Aku cuma tanya, kenapa kau malah pergi?"
"Aku enggak mau jadi bahan gosip kalian," jawab Axa jujur.
Sudah cukup Radit yang mengusiknya, ia tidak ingin menambah keriuhan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya, bukannya menghindari masalah tingkah Axa yang seperti itu mematik emosi Eca yang memang semula hanya ingin bertanya saja.
Dengan cukup keras di pemilik rambut blonde itu mendorong keras bahu Axa sampai perempuan hampir jatuh. "Atas dasar apa kau kepedean bilang gitu. Aku juga malas kali bicarain kau!"
Benar saja dugaan mereka. Terjadi keributan antara anak paling diam dan paling ribut di kelas, Tere menyikut Febi yang tampaknya sudah khawatir.
"Dasar enggak tahu diri! Belagu!" teriak Eca melampiaskan semua kekesalannya.
Axa menegang, perasaan takut tiba-tiba menyergapnya. Apalagi suara Eca yang tinggi memancing semua mata melihat kepadanya. Tubuhnya mulai berkeringat, jantungnya berdebar kencang.
Ia tidak nyaman, ia segera menyambar tasnya. Ia tidak kuat lagi berada di sana, ia ingin pulang saja. Melihat hal itu Radit tidak bisa diam.
"Xa, ini bentar lagi loh. Kok main pulang?" Cegatnya menahan Axa pergi.
"Aku capek," bohong Axa.
"Aku antar."
"Nggak perlu!" bentak Axa, ia sudah hilang kendali, apalagi mata-mata itu masih menatapnya.
"Tapi--" Belum sempat Radit menyelesaikan kata-katanya, Axa sudah bergerak pergi. Bukan Radit namanya bila tidak cekatan menahan Axa.
Ketika lagi-lagi tangannya ditahan, Axa merasa Radit benar-benar menyusahkannya. Ia dengan keras menyerah tangan itu dan mendorong tubuh Radit keras. Berharap bebas, ternyata tindakan itu malah memperparah keadaan. Radit terjatuh mengenai Lukisan yang berjejer sedang dikeringkan.
Alhasil sekitar lima buah kanvas terjatuh, warnanya yang masih basah mudah tercampur dan rusak. Baju Radit menjadi salah satu korbannya. Belum lagi gambar yang sudah berubah bentuk.
"Astaga! Axa!"
Mata-mata yang awalnya hanya memandang penasaran dan bingung berubah marah melihat kejadian yang mengenaskan itu.
Gio bahkan terang-terangan menunjukkan ekspresi emosi dengan tangan yang mengepal.
Tidak ada permintaan maaf atau sejenisnya, malah berlari pergi dengan degup jantung yang semakin menjadi dan peluh yang membanjiri sekujur tubuhnya.
Aku benci keadaan ini lagi!
•••
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro